JENEWA (Arrahmah.com) – Genosida terus berlangsung terhadap Muslim Rohingya di Myanmar dan pemerintah semakin menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik untuk membangun demokrasi yang berfungsi penuh, kata seorang penyelidik PBB.
Marzuki Darusman, ketua misi pencarian fakta PBB di Myanmar, mengatakan sekitar 250.000 hingga 400.000 orang Rohingya yang tetap tinggal di negara mayoritas Buddha itu setelah penindasan brutal tahun lalu “terus menderita” larangan dan penindasan paling parah.
“Kekejaman terus terjadi hari ini,” kata Darusman kepada wartawan ketika dia bersiap untuk memberi penjelasan kepada Dewan Keamanan PBB mengenai situasi Myanmar pada Rabu (24/10/2018).
“Ini adalah genosida yang sedang berlangsung.”
Ada tekanan global yang meningkat pada Myanmar untuk bertindak menyusul operasi militer di negara bagian barat Rakhine yang mendorong sekitar 700.000 Rohingya menyeberangi perbatasan ke Bangladesh, di tengah tuduhan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan penyiksaan.
Pemerintah Myanmar menolak laporan PBB setebal 440 halaman mengenai tindakan keras itu, yang menyimpulkan bahwa para pemimpin militer harus dituntut atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida untuk peran mereka dalam penumpasan tersebut.
Myanmar menyebut penyelidikan PBB “cacat, bias dan bermotif politik”.
Pengarahan Darusman kepada Dewan Keamanan mengundang keberatan enam dari 15 anggotanya termasuk Cina, yang merupakan tetangga dan sekutu Myanmar, serta Rusia.
Darusman mengatakan kepada dewan bahwa laporan misi tentang tindakan keras itu menunjukkan “bencana hak asasi manusia” yang akan mempengaruhi Rohingya untuk “generasi yang akan datang, jika tidak selamanya”. Dia mendesak dewan untuk meminta pertanggungjawaban Myanmar.
“Kedaulatan nasional bukanlah izin untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida,” kata Darusman. “Orang Rohingya dan semua orang Myanmar, kenyataannya seluruh dunia, sedang melihatmu untuk mengambil tindakan.”
Myanmar telah membantah melakukan kekejaman terhadap Rohingya, mengatakan militernya melakukan tindakan yang dapat dibenarkan terhadap pemberontak yang telah menyerang pos keamanan di wilayah tersebut.
Duta Besar PBB di negara itu mengatakan Myanmar tidak akan pernah menerima untuk dirujuk ke Pengadilan Pidana Internasional. (Althaf/arrahmah.com)