(Arrahmah.com) – Beredarnya postingan di media sosial adanya sekelompok remaja alay yang berasal dari Metro Bandar lampung saat memperagakan shalat dengan membuka aurat di sebuah Mesjid dinilai sangat melecehkan syariat Islam. Kepolisian telah berupaya mengejar dan mengusut kasus penistaan agama Islam tersebut agar tidak meresahkan umat dan ormas Islam. (Republika.co.id)
Alay merupakan gejala-gejala yang terjadi ditengah pemuda dan pemudi Indonesia yang ingin diakui statusnya di tengah teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan dan gaya berpakaian, sekaligus meningkatkan kenarsisan yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya. Salah satu kegiatan yang mempertontonkan kenarsisan ala remaja alay adalah dengan melakukan selfie atau mengunggah video kegiatan keseharian mereka.
Namun tren selfie yang kebablasan yaitu aktifitas semacam ini jelas meresahkan masyarakat. Mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan lelucon atau senda gurau, fenomena ini telah bergeser dari sekedar mengeksiskan diri kemudian mengarah pada aktivitas penistaan agama. Generasi alay telah menjangkit remaja kita sejatinya ini merupakan persoalan generasi yang mengkhawatirkan dan tak bisa kita biarkan. Agama, entitas paling sakral sekalipun telah berani mereka lecehkan.
Ada beberapa persoalan yang harus dievaluasi kenapa mereka berbuat seperti itu ? Rapuhnya moral remaja pada saat ini adalah salah satu korban dari sistem sekuler yang mengungkung masyarakat kita saat ini membuat kehidupan serba sempit. Berbagai krisis terus mewarnai kehidupan masyarakat, mulai dari krisis politik yang berujung konflik, krisis ekonomi, krisis moral dan budaya, krisis sosial dan lain-lain. Hal ini diperparah dengan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Kenyataan ini mau tidak mau berdampak pula pada kehidupan keluarga muslim. Kehidupan muslim ikut terjebak pada kehidupan yang materialistik dan individualistik.Hal di atas juga membuktikan kegagalan sistem pendidikan ala sekuler. Telah banyak kasus kotroversi yang dilakukan remaja bahkan tidak jarang menyerempet ke arah kriminalitas atau tindak kejahatan. Kurangnya perhatian dari keluarga juga turut mempengaruhi degradasi moral remaja.
Kapitalisme yang menghasilkan kemiskinan dan kesulitan hidup telah mengantarkan pada pelalaian dan fungsi keluarga. Berganti peran dan tugas antar anggota keluarga sudah mulai jamak dilakukan. Ibu berperan sebagai ayah yang mencari nafkah, sedang ayah berdiam diri di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Anak-anak yang seharusnya dilindungi dan diberi pendidikan sudah banyak yang dipekerjakan untuk mencari nafkah. Tak hanya itu, orientasi yang dibangun keluarga pun sudah makin keliru. Fungsi ekonomi menjadi orientasi utama sembari dikesampingkan fungsi lainnya.
Selama ini, analisa terhadap permasalahan keluarga yang pada akhirnya memunculkan sederet masalah remaja biasanya hanya berkutat pada beratnya beban ekonomi yang ditanggung keluarga. Kemiskinan menjadi fokus perhatian yang akhirnya banyak menginspirasi munculnya beragam kebijakan bagi penyelesaian masalah keluarga. Padahal persoalan keluarga sesungguhnya bukan hanya kemiskinan, namun juga hancurnya nilai-nilai mulia keluarga dan pelalaian tugas serta fungsi keluarga. Tingginya tingkat perceraian, kenakalan remaja, atau pun pergaulan bebas dan sebagainya tentu tak dapat dipandang dari sisi ekonomi semata.
Kenakalan remaja juga dipengaruhi oleh kurikulum pendidikan yang berlaku saat ini dimana pendidikan masih berorientasi pada hasil atau nilai, bukan proses bagaimana mereka belajar. Hal tersebut telah memicu banyak penyimpangan perilaku siswa seperti mencontek atau membeli kunci jawaban. Karena yang mereka kejar adalah hasil bukan proses. Akhirnya bukan pembenahan moral yang dihasilkan tapi justru sebaliknya pembentukan karakter siswa hanya sebatas slogan, karena prestasi siswa dinilai hanya sebatas dari prestasi akademis. Kasus lima remaja di Lampung ini bukti nyata bagaimana sistem pendidikan kita belum menyentuh akar permasalahan generasi. Ditambah lagi perubahan kurikulum hampir selalu berubah ketika menterinya mengalami reshuffle.
Paradigma berfikir sebagian besar orang tua saat ini, karena juga bagian dari hasil pendidikan yang “hasil oriented“, meletakkan standar kesuksesan anak masih pada aspek materi. Orang tua sibuk mencari uang demi anaknya agar bisa masuk sekolah favorit namun melalaikan aspek pendidikan mental dan kepribadian anak. Banyak yang masih beranggapan bahwa anak yang sukses adalah anak yang mendapatkan nilai akhir sekolah yang tinggi. Anak yang sukses adalah anak yang nantinya mampu mendatangkan materi sebanyak-banyaknya bagi orang tua tanpa memikirkan perilaku yang benar yang harus dimiliki oleh anaknya, pola pikir materialistik ini sangat berbahaya bagi pendidikan anak dan pembinaan anak.
Kurikulum pendidikan dengan beban belajar yang berat mendorong banyak orang tua menjejali anaknya dengan memasukkan anaknya untuk les tambahan di luar jam sekolah dengan harapan agar anaknya mendapatkan nilai yang bagus, mereka lupa dengan norma agama yang harus dimiliki anak sejak usia dini dan anak pun sudah lelah dengan pelajaran. Banyak anak-anak dan remaja yang masih tergantung pada orang tua mereka malas untuk melakukannya sendiri dan lebih parah lagi menjadi generasi alay karena terbiasa mendapatkan fasilitas dari orang tua. Kematangan berfikirnya tidak terbentuk bahkan mereka cenderung individualistik dan abai terhadap lingkungan sosialnya, inilah buah dari sistem kapitalistik.
Islam mewajibkan setiap muslim, laki-laki dan perempuan, menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan rumah tangga. Berdasarkan hal ini, maka orang yang berpegang teguh pada akidah Islam akan senantiasa terikat dengan aturan-aturan Islam, termasuk dalam membangun rumah tangga, mendidik anak dan menjalaninya. Motivasi dalam berkeluarga adalah semata-mata berharap mendapatkan ridha-Nya. Keberhasilan materi bukan hal yang utama. Setiap perintah Allah kan dilaksanakan sekalipun berat, penuh rintangan dan halangan serta tidak terbayangkan keuntungan materinya. Sebaliknya semua yang dilarangnya akan senantia dihindari walaupun menarik hati, menyenangkan, dan menjanjikan kesenangan materi.
Islam meletakkan fungsi keagamaan sebagai fungsi yang paling utama dalam keluarga, bersumber dari fungsi inilah, keluarga menghidupkan fungsi reproduksi, edukasi, melindungi dan kasih sayang . Fungsi ekonomi, sosial dan rekreatif akan tumbuh sendiri bila fungsi-fungsi yang disebut sebelumnya dilaksanakan sebaik-baiknya.
Islam memandang laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah yang memiliki peluang sama untuk menjadi orang bertakwa, sehingga ada hukum-hukum yang dibebankan kepada laki-laki dan perempuan tidak berbeda seperti kewajiban shalat 5 waktu, shaum di bulan Ramadhan, tholabul i’lmi, dakwah dan lain-lain. Namun di satu sisi Islam juga memberikan aturan yang berbeda antara laki-laki dan perempuansesuai dengan fitrah dan karakteristiknya. Laki-laki wajib mencari nafkah, berjihad, shalat Jum’at, menunaikan perwalian, sedangkan perempuan tidak wajib. Sebaliknya perempuan terikat dengan hukum-hukum tertentu seperti wajib meminta izin kepada suami, mengenakan jilbab dan kerudung, wiladah (melahirkan), radha’ah(menyusui) hadhanah (pengasuhan), ber’iddah dan sebagainya.
Membina keluarga dengan kepribadian Islam, pada hakikatnya di dalam keluarga merupakan pendidikan sepanjang hayat. Pembinaan dan pengembangan kepribadian serta penguasaan yang dilakukan melalui pengalaman hidup sehari-hari dan dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di keluarga, terutama ibu dan bapaknya. Begitu pentingnya pendidikan anak sejak dini dalam keluarga akan tertanam secara kuat di dalam diri seorang anak, sebab, pengalaman hidup pada masa-masa awal umur manusia akan membentuk ciri-ciri khas, baik dalam tubuh maupun pemikiran, yang bisa jadi tidak ada yang dapat mengubahnya sesudah itu.
Sudah saatnya kita kembali pada aturan Islam yang mempunyai sistem pendidikan yang memiliki pondasi yang kuat dalam penanaman akidah yang kuat dan mengakar yang akan mampu mencetak generasi tangguh dalam menghadapi arus global bukan generasi alay yang abai terhadap kondisi sesama. Dengan Islam akan menghasilkan generasi yang tangguh, gemilang dan menjadi pejuang Islam. Semua ini tidak mungkin diperoleh dalam sistem yang sekuler, oleh karena itu sudah semestinya kita bersama-sama untuk mewujudkan kehidupan Islami dengan penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan dengan mewujudkan kembali Khilafah Rasyidah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Riyati
(*/arrahmah.com)