ANTAKYA (Arrahmah.id) — Gempa besar kembali mengguncang Turki dan Suriah pada Senin (20/2/2023). Gempa Turki – Suriah terjadi hanya dua pekan setelah bencara serupa meluluhlantakan daerah perbatasan yang menewaskan lebih dari 47.000 orang serta menghancurkan ratusan ribu rumah.
Gempa Turki – Suriah kemarin berkekuatan magnitudo 6,4 terjadi berpusat di dekat kota Antakya di Turki selatan dan dirasakan hingga Suriah, Mesir, dan Lebanon. Pusat gempa berada di kedalaman 10 kilometer, menurut Pusat Seismologi Mediterania Eropa (EMSC).
Walikota Hatay Lutfu Savas mengatakan, seperti dilansir Reuters (21/2), bahwa dia menerima laporan beberapa orang terjebak di bawah reruntuhan setelah gempa terbaru. Tiga orang tewas dan lebih dari 200 lainnya cedera, kata Menteri Dalam Negeri Suleyman Soylu.
Di Samandag, Otoritas Penanggulangan Bencana dan Darurat AFAD negara itu melaporkan satu orang tewas. Penduduk setempat mengatakan lebih banyak bangunan runtuh namun sebagian besar warga sudah melarikan diri setelah gempa bumi awal. Gundukan puing dan furnitur yang dibuang berjejer di jalan-jalan yang gelap dan terbengkalai.
Salah seorang penduduk, Muna Al Omar mengatakan dia berada di tenda di sebuah taman di pusat Antakya ketika tanah mulai naik lagi. “Saya pikir bumi akan terbelah di bawah kaki saya,” katanya sambil menangis sambil menggendong putranya yang berusia 7 tahun.
Beberapa jam sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan dalam kunjungan ke Turki. Ia mengatakan bahwa Washington akan membantu selama diperlukan untuk menangani kerusakan akibat gempa.
Korban tewas akibat gempa dua minggu lalu naik menjadi 41.156 di Turki. Diperkirakan angka korban tewas masih terus bertambah. Sebanyak 385.000 apartemen telah hancur atau rusak parah dan banyak orang masih hilang.
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengatakan pekerjaan konstruksi di hampir 200.000 apartemen di 11 provinsi yang dilanda gempa di Turki akan dimulai bulan depan. Total bantuan kemanusiaan AS untuk mendukung respons gempa di Turki dan Suriah telah mencapai US$ 185 juta, menurut Departemen Luar Negeri AS. (hanoum/arrahmah.id)