JISH AL-SUGHUR, SURIAH (Arrahmah.com) – Gelombang protes terkait kematian warga sipil oleh pasukan keamanan saat menembaki pengunjuk rasa mulai berdatangan di Suriah dari kota selatan Deraa Maret, banyak pertanyaan tentang peristiwa berikutnya yang akan terjadi di Suriah dan masyarakat internasional terkait gelombang protes selama “gejolak Arab”.
Sejak saat itu, peristiwa makin buruk, namun minggu ini menandai titik penting dalam krisis kemanusiaan yang semakin mengerikan karena kurangnya respon dari Dewan Keamanan PBB.
Pada hari Minggu, pasukan Suriah pindah ke kota barat laut Jisr al-Shughur, setelah pemerintah menyatakan bahwa “gerombolan bersenjata” telah membunuh setidaknya 120 pasukan keamanan dan tentara di sana pada awal Juni.
Saat ini setidaknya 7.000 orang dari kota dan sekitarnya telah melarikan diri ke Turki mencari keselamatan, demikian laporan menurut Kantor PBB Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR). Sementara itu laporan dari sumber lain menyebutkan jumlah pengungsi berkisar antara 5.000 hingga 8.500 orang.
Kurangnya liputan media
Dalam laporan OHCHR menyatakan, bahwa helikopter tempur telah digunakan di Jisr al-Shughur yang berpenduduk sekitar 50.000 orang.
Nadim Houry, peneliti senior di Human Rights Watch (HRW), mengatakan kepada IPS dari Beirut bahwa setelah mereka mencapai Turki, banyak para pengungsi Suriah yang dirawat di kamp-kamp yang didirikan oleh Bulan Sabit Merah Internasional Turki, dan mendapatkan makanan dan perawatan medis.
Yang menjadi masalah adalah bahwa pemerintah Turki tidak ingin para pengungsi berbicara kepada media, kata Houry. Di Suriah, kurangnya akses media – karena pemerintah telah melarang wartawan memasuki negara itu – telah melarang berbagai upaya untuk memberitakan segala hal yang terjadi selama tiga bulan terakhir.
Houry menekankan bahwa mereka yang meninggalkan rumah mereka, namun tetap di Suriah jauh kurang beruntung dibandingkan rekan-rekan mereka di Turki. Mereka hidup di bawah keadaan “lebih berbahaya” dan hujan lebat dengan hanya bertahan di bawah tenda-tenda darurat dari terpal plastik, demikian ungkap beberapa sumber.
Di Suriah, banyak orang menunggu untuk masuk ke Turki untuk menuju kamp-kamp yang dibangun Bulan Sabit Merah Internasional. Sedangkan yang lain menunggu untuk kembali ke rumah mereka.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon memuji pemerintah Turki atas kemurahan hati dan menyatakan bahwa PBB tetap “siap membantu” jika diminta oleh otoritas Turki.
Pengungsi lain telah berkumpul di Libanon dan Yordania, tetapi jumlah mereka lebih kecil dan terutama hidup dengan keluarga besar, setelah melarikan diri dari Suriah sebelum minggu terakhir ini. Di Lebanon, jumlah pengungsi belum terlalu besar, dan saat ini dalam kondisi baik-baik saja, jelas Houry kepada IPS.
Situasi yang ‘sangat mengkhawatirkan’
Lebih dari 1.200 orang, sebagian besar dari mereka warga sipil, telah tewas dalam protes yang berakhir kekerasan sejak Maret, dan lebih dari 10.000 orang telah ditahan.
Navi Pillay, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, hanya bisa mengutuk penindasan tersebut, dan menyebutnya “benar-benar menyedihkan bagi pemerintah manapun mencoba untuk memukul penduduknya menjadi tunduk, dengan menggunakan tank, artileri dan penembak jitu”.
Berulangkali Pillay meminta kepada pihak berwenang Suriah agar diizinkan adanya tim pencari fakta ke Suriah, namun permintaan tersbut telah diabaikan. Sementara itu dalam laporan OHCHR pada Rabu, menyebutkan bahwa peristiwa terakhir di Suriah merupakan “pelanggaran hak asasi”.
Beberapa daftar laporan adanya “pelanggaran hak asasi manusia” termasuk “melanggar kebebasan ekspresi dan bertindak”, “penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam memadamkan demonstran, penahanan sewenang-wenang, eksekusi, penyiksaan dan perlakuan kejam atau tidak manusiawi lainnya”.
Laporan ini juga mencatat bahwa “pasukan keamanan Suriah secara langsung memblokir distribusi pasokan makanan penting di lokasi tertentu”.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB telah menolak keras melakukan resolusi, yang dirancang oleh Inggris pekan lalu, untuk mengutuk tindakan keras dan pelanggaran HAM di Suriah.
Negara-negara tertentu, seperti Rusia dan Cina, menentang resolusi dengan alasan bahwa hal itu bisa memberikan justifikasi untuk melakukan intervensi militer. Negara anggota yang bersikap hati-hati karena pada faktanya resolusi Dewan Keamanan pada Libya digunakan untuk membenarkan intervensi NATO di sana.
Analis juga menyebutkan hubungan Rusia dan Cina dalam bidang militer dan ekonomi dengan Suriah disebut-sebut sebagai alasan untuk oposisi mereka. Menurut Houry, Afrika Selatan, Brasil, dan India juga “ragu” untuk mendukung resolusi, takut bahwa hal itu hanya akan menjadi kontribusi ketidakstabilan lebih lanjut di Suriah.
Houry menyebut “penindasan secara sistematis” yang terus mengakibatkan kehancuran dan penderitaan. “Kenyataan bahwa Dewan Keamanan tidak dapat memutuskan dengan satu suara makin memperpanjang situasi,” katanya.
Houry berharap: Protes tidak akan memprovokasi kekerasan. “Saya pikir itu kenyataan bahwa sekarang ada orang yang benar-benar menentang Presiden Assad dan Partai Ba’ts. Dan dalam negara satu partai, semacam perbedaan pendapat tidak akan ditolerir.” (rasularasy/arrahmah.com)