Saudaraku sebangsa dan setanah air, bangsa Indonesia yang cinta perdamaian dan anti kekerasan. Hari-hari ini kita tengah menantikan eksekusi mati bagi tiga orang dedengkot teroris yang enam tahun lalu meluluhlantakkan Bali. Sebuah pulau dengan segudang keindahan alam dan tradisi—mereka bilang syirik—yang menjadi kebanggan kita bersama.
Kita, bersama para korban bom terkutuk itu, tentu berbesar hati dengan ketegasan Kejagung. Kita salut dengan aparat yang berani dengan tegas melaksanakan vonis mati tersebut, meski dinilai cacat hukum. Peduli amat dengan prosedur hukum. Apalagi, kehormatan kita di mata bangsa Barat, sedang dipertaruhkan dengan jadi-tidaknya eksekusi ini.
Namun saudaraku, saya merasakan keanehan-keanehan semenjak mengawasi berita persiapan ekseksusi ini. Peranan media massa yang memblow-up kasus ini demikian besar. Televisi berlomba-lomba menyiarkan secara langsung dari berbagai tempat yang dianggap terkait. Mulai dari Bali, Lamongan, Nusakambangan, hingga Banten. Koran pun tak pernah bergeser dari tema ini, meski Tuan Charles bertandang ke negeri ini dan Mr Obama naik tahta presiden AS.
Statemen Bapak Hendarman Supanji yang demikian tegas, didukung sikap Polri yang menyiapkan ribuan pasukan di Nusakambangan, mestinya menimbulkan kengerian tersendiri di mata para terpidana mati tersebut, maupun keluarganya. Bagaimana tidak ngeri, sementara hampir seluruh dunia juga sangat menanti-nantikan proses yang sudah tertunda selama enam tahun!
Namun kenyataan berbicara lain. Kematian memang sudah tampak di ambang pintu. Mereka pun sudah diisolasi dalam sel khusus. Aroma kedatangan malaikat pencabut nyawa sudah tercium. Namun sama sekali tak terlihat gurat-gurat kesedihan dan kegelisahan. Mereka masih setia dengan kebiasaannya untuk berceramah, berwasiat dan memprovokasi pengikutnya. Mereka juga menyampaikan pesan seputar pengurusan jenazah mereka. Harus begini… harus begitu… jangan begini… tidak boleh begitu… Sungguh mengherankan manusia model Amrozi Cs ini.
Kematian, yang semua kita ingin lari menghindar daripadanya, justru disambut dengan senyum kewiraan. Bahkan, kematian—mereka sering bilang mati syahid—semacam inilah yang dirindukan? Merindukan kematian? Memang benar-benar aneh!!!
Saya tergelitik untuk sekadar mengetahui bagaimana filosofi kematian menurut Amrozi Cs. Mengapa mereka bangga menyambut kematian. Mengapa mereka tak pernah sudi meminta ampun (grasi), padahal jika itu ditempuh, bisa jadi menyelamatkan mereka dari incaran regu tembak Densus 88 yang terkenal hebat—setelah sering bekerjasama, meski sedikit disetir-setir oleh pihak asing. Ajaran macam apa yang dapat membuat orang-orang seperti Amrozi Cs menganggap kehidupan dunia ini begitu remeh bila dibandingkan dengan kehidupan setelah di dunia.
Amrozi Cs menghadapi kematian sebagai sesuatu yang wajar dan tak perlu dirisaukan. Seperti orang yang melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya berteduh sebentar di bawah sebuah pohon. Padahal, bagi saya, bukankah dunia ini adalah segala-galanya?
Mereka akan kedatangan malaikat pencabut nyawa, tapi reaksinya seperti hendak menyambut tamu agung. Mereka sebentar lagi bakal merasakan pedihnya timah panas merobek jantung, tetapi sepertinya mereka marasa hanya bakal merasa dicubit saja. Mereka akan berpisah dengan anak dan istri, tetapi merasa akan mendapat 70 bidadari… Sungguh, Islam yang aneh. Islam yang sangat berbeda dengan apa yang saya lihat dalam kehidupan kawan-kawan kita yang menamakan diri Islam Moderat maupun Islam Liberal.
Tenang, sabar dan tak ada sedikitpun rasa gentar. Itulah yang saya—dan Anda juga—potret dalam ketiga sosok terpidana mati yang sering diliput media. Sikap yang aneh juga saya temukan pula pada diri keluarga dan simpatisan mereka. Ibu, saudara dan kerabat dan lingkungan tempat tinggal mereka sama sekali tidak merasa malu dengan keberadaan mereka yang nyata-nyata kita nobatkan sebagai teroris, biang keonaran dan sumber segala bencana.
Sama sekali tak ada penyesalan keluarga atas tindakan mereka bertiga yang sepakat kita anggap sebagai criminal. Padahal, biasanya keluarga penjahat akan minder dan meliput muka, seolah ingin dianggap tak mempunyai hubungan kerabat dengan pelaku kejahatan.
Demikian pula dengan beberapa elemen masyarakat simpatisan Amrozi Cs. Kok bisa-bisanya beberapa elemen masyarkat yang sama sekali tak mempunyai pertalian darah, yang hanya kebetulan merasa satu agama dengan mereka bertiga…tiba-tiba menjadi pendukung yang mengelu-elukan mereka bertiga sebagai pahlawan. Mereka menyebut sebagai Kafilah Syuhada.
Magnet macam apa yang dimiliki oleh Amrozi Cs sehingga mampu menyihir mereka melakukan tindakan-tindakan yang mengherankan. Mewakafkan berhektar-hektar tanah untuk makam, bersumpah membalas kematian mereka, memasang spanduk tanda dukungan kepada mereka, dan lain sebagainya. Pusing!
Bersamaan dengan “filsafat dan seni menyambut kematian” yang saya rasakan, hati saya pun menyimpan sebuah kekecutan. Bahwa sepertinya yang bakal mati…yang bakal tak lagi berfungsi hanyalah jasad mereka bertiga. Sementara, virus pemikiran mereka (yang sering disebut dengan jihad) telah terlanjur menginveksi di banyak kalangan pendukung mereka. Hingga, apa yang ditulis dalam poster gelap di Surabaya beberapa hari lalu layak kita khawatirkan: Mati Tiga, Tumbuh Tiga Ribu.
Karenanya, hati saya ciut. Padahal sebelumnya sempat berbunga-bunga dengan judul-judul yang diekspos media: Di Lembah Nirbaya Amrozi Akhirnya… Ajal Amrozi Cs Tinggal Tunggu Hari… Inilah Detik-detik Ajal Amrozi… Kini, kata-kata itu menjadi onggokan jargon tanpa makna. Tak lagi membanggakan saya, juga siapapun yang merindukan eksekusi ini.
Oleh: Mustafir