MANILA (Arrahmah.com) – Sembilan pemberontak komunis Filipina tewas, setelah pihak berwenang menggelar operasi pemberantasan komunis di Filipina pada Ahad (7/3/2021). Operasi tersebut dilakukan setelah Presiden Filipina Rodrigo Duterte meminta agar komunis dihabisi.
Menurut keterangan Kepolisian Filipina, kesembilan pemberontak itu tidak mereka bunuh dengan sengaja. Mereka mengklaim melakukannya sebagai bentuk bela diri karena para pemberontak tidak kooperatif saat hendak ditangkap. Total, kata Kepolisian Filipina, mereka seharusnya menangkap 18 orang hidup-hidup.
“Kami memiliki surat penangkapan untuk 18 orang, namun beberapa di antaranya melawan yang berujung pada kematian mereka,” ujar Kepolisian Filipina, sebagaimana dilansir Al Jazeera.
Sebelumnya pada Jumat (5/3) Duterte meluncurkan suatu langkah pembalasan terhadap pemberontak komunis di Mindanai. Menurut Duterte, para komunis tersebut adalah ancaman yang harus segera disingkirkan. Oleh karenanya, ia meminta para tentaranya untuk segera menangkap atau menghabisi mereka jika melawan.
“Saya telah mengatakan kepada pihak Militer dan Kepolisian bahwa jika mereka terjebak di dalam baku tembak dengan komunis, maka mereka diperbolehkan untuk membunuh,” ujar Duterte tegas soal pembasmian komunis.
“Jika ada yang meninggal, pastikan tubuh mereka diterima oleh anggotanya keluarganya. Lupakan HAM, itu perintah saya. Saya tidak takut dimasukkan ke penjara,” imbuhnya.
Namun, Kelompok Karapatan dan Partai Pemuda Kabataan tidak mempercayai klaim Kepolisian Filipina. Menurut mereka, para pemberontak itu dieksekusi, bukan hendak ditangkap. Sebab, beberapa orang yang dinyatakan tewas sebelumnya sempat dikabarkan hilang.
Sebagai contoh, kelompok Karapatan mendapati Chai dan Ariel menghilang bersama anaknya beberapa jam sebelum mereka ditemukan tewas. Status sang anak masih belum diketahui hingga sekarang.
“Militer dengan mudahnya menurut kepada Presidennya untuk terus membunuh, membunuh, dan membunuh,” ujar Sekretaris Jenderal Karapatan, Cristina Palabay.
Organisasi Non Pemerintah Human Rights Watch (HRW), memiliki kecurigaan yang sama. Menurut mereka, operasi “penangkapan” yang terjadi pada Ahad (7/3) lebih seperti operasi penyerangan yang terkoordinir.
“Insiden pembunuhan ini jelas bagian dari kian brutalnya kampanye pemerintah untuk menghabisi pemberontak komunis. Ancamannya terhadap komunis bisa memicu berbagai insiden berdarah seperti yang terjadi pada Perang Terhadap Narkotika,” ujar Deputi Director HRW Asia, Phil Robertson. (rafa/arrahmah.com)