TAIZ (Arrahmah.id) – Kedua belah pihak yang terlibat dalam perang selama delapan tahun di Yaman saling menuduh satu sama lain melakukan serangan yang memecah jeda pertempuran dan membahayakan perundingan perdamaian yang telah mendapatkan momentum, lansir Reuters.
Kelompok Syiah Houtsi di Yaman telah melawan koalisi pimpinan Saudi sejak 2015 dalam konflik yang telah menewaskan ratusan ribu orang dan membuat 80 persen penduduk bergantung pada bantuan.
Juru bicara Houtsi, Mohammed Abdulsalam, mengatakan koalisi membunuh 12 tentara kelompok tersebut dalam sebulan terakhir di sepanjang perbatasan Saudi. “Meskipun kami menganggap insiden pelanggaran gencatan senjata sebagai hal yang disesalkan… kami menekankan pentingnya memasuki fase perdamaian yang serius,” katanya kepada Reuters.
Syiah Houtsi yang bersekutu dengan Iran menanggapi tuduhan membunuh dua personel tentara Bahrain dan melukai beberapa lainnya pada Senin (25/9/2023) dalam serangan pesawat tak berawak di perbatasan selatan Arab Saudi.
Aliansi yang dipimpin Arab Saudi mengutuk serangan tersebut dan mengatakan serangan tersebut terjadi setelah serangan Houtsi lainnya terhadap unit distribusi listrik dan kantor polisi di dekat perbatasan.
“Tindakan bermusuhan dan provokatif yang berulang-ulang seperti itu tidak sejalan dengan upaya positif yang dilakukan untuk mengakhiri krisis ini,” kata juru bicara koalisi, Jenderal Turki Al-Malki.
Amerika Serikat juga mengutuk serangan itu, kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Matthew Miller, yang mengatakan para pejabat AS telah berhubungan dengan rekan-rekan Bahrain.
“Serangan yang tidak beralasan ini mengancam masa tenang terpanjang sejak perang di Yaman dimulai,” kata Miller pada konferensi pers, seraya menegaskan bahwa hanya kesepakatan antara warga Yaman yang dapat menyelesaikan konflik tersebut.
Utusan Khusus PBB untuk Yaman, Hans Grundberg, mendesak kedua belah pihak untuk menahan diri secara maksimal dan mengatakan ketegangan militer di perbatasan Yaman telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa, termasuk hilangnya nyawa warga sipil, selama beberapa bulan terakhir.
“Setiap pembaruan eskalasi militer yang ofensif berisiko membuat Yaman kembali ke dalam siklus kekerasan dan melemahkan upaya perdamaian yang sedang berlangsung,” kata Grundberg.
Yaman telah menikmati tahun yang relatif tenang seiring perundingan mendapatkan daya tarik. Para pejabat Saudi dan Houtsi bertemu selama lima hari di Riyadh awal bulan ini dan akan bertemu lagi.
Kantor berita Bahrain, BNA, mengatakan upacara militer diadakan setelah jenazah kedua prajurit itu tiba pada Selasa (26/9).
Sekutu koalisi, Uni Emirat Arab, mengatakan serangan terhadap tentara Bahrain menunjukkan pengabaian terhadap hukum internasional dan memerlukan “tanggapan pencegahan”.
Riyadh dan Abu Dhabi melakukan intervensi dalam perang saudara di Yaman setelah kelompok Houtsi menguasai ibu kota, Sana’a, dan menggulingkan pemerintah yang diakui secara internasional pada 2014.
Perundingan perdamaian difokuskan pada pembukaan kembali pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Houtsi dan Bandara Sana’a, pembayaran gaji pegawai negeri, upaya pembangunan kembali dan batas waktu bagi pasukan asing untuk pergi. (zarahamala/arrahmah.id)