Oleh: K. Subroto
(Arrahmah.com) – Aliansi Jawa-Cina adalah sebuah fakta sejarah yang terlupakan, dan berusaha ditutup-tutupi atau bahkan berusaha dihapus dari ingatan orang Jawa maupun Cina keturunan. Usaha itu terjadi sejak era penjajah Belanda. Belanda berusaha sekuat tenaga agar kedua etnis ini melupakan hubungan harmonis dan kerja sama dalam melawan penjajah Belanda yang membuat penjajah saat itu kalang kabut. Bahkan berusaha ditanam bibit permusuhan dan saling curiga, agar persekutuan Jawa-Cina tidak terulang lagi dan bisa mengancam kekuasaan penjajah Belanda di pulau Jawa dan Nusantara.
Di era Snouck bahkan perkawinan campuran Jawa-Cina atau Pribumi-Cina dipersulit. Hal itu disengaja agar jangan sampai terjadi perkawinan campur yang berujung kedekatan hubungan sosial antara cina-Jawa yang bisa membentuk aliansi politik yang berpotensi mengganggu kestabilan politik penjajah Belanda.
Selain itu dalam status kewarganegaraan juga dibedakan. Cina dan Eropa mempunyai kelas lebih tinggi dan hak-hak istimewa dibanding pribumi Jawa. Perbedaan kelas dan hak yang berbeda membuat warga keturunan Cina merasa lebih tinggi martabatnya sehingga enggan bersosialisasi dengan penduduk pribumi, Jawa. Sebaliknya orang Jawa –yang merasa dimarjinalkan dan diperlakukan berbeda dengan warga keturunan Cina- merasa bahwa warga keturunan Cina dengan hak-hak istimewa mereka telah bekerjasama dengan penjajah kafir Belanda untuk menindas dan menjajah pribumi. Sehingga timbul sikap permusuhan dan saling curiga diantara kedua etnis yang dahulu pernah seperjuangan melawan Belanda.
Kenapa Belanda begitu takut dan khawatir dengan terulangnya aliansi Jawa- Cina? Belanda begitu takut dan khawatir karena dahulu pasukan gabungan Jawa- Cina telah berhasil membuat porak poranda pertahanan pasukan penjajah. Geger pacinan atau perang sepanjang (karena orang Cina dipimpin Kapiten Sepanjang) yang berlangsung selama empat tahun (1740-1743) terjadi hampir di seluruh pulau Jawa. Perang ini sering juga disebut sebagai Perang Jawa (Java War), perang terbesar yang pernah dilakukan VOC melawan orang Cina dan Jawa setelah perang melawan Sultan Agung lebih dari seratus tahun sebelumnya (1628).
Pembantaian berdarah di Batavia tahun 1740 dengan korban meninggal lebih dari 10.000 orang baik laki-laki, wanita maupun anak-anak itu telah memicu perang besar di kota-kota besar pulau Jawa. Mulai dari Batavia, Karawang, Cirebon, pesisir pantai Utara-Tegal, Pekalongan, Semarang, Kudus, Purwodadi, Rembang hingga Lasem, Tuban, Surabaya hingga Pasuruan. Perang juga berkobar dan menghancurkan pusat-pusat pertahanan pasukan Belanda di daerah-daerah kekuasaan Mataram di Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, hingga Pacitan, Madiun dan Malang. Perang besar ini disebut-sebut membuat kompeni Belanda hampir angkat kaki dari Jawa.
Pembantaian oleh VOC terhadap orang-orang Cina dan kemudian pemberontakan yang dilakukan oleh orang Cina terhadap VOC sebenarnya hanya sebagai pemicu perang. Karena bibit permusuhan dan akumulasi dari masalah yang timbul dari hubungan VOC-Jawa (Mataram Kartasura) sudah lama tumbuh di kalangan elit maupun kalangan bawah masyarakat Jawa. Mereka menilai hubungan VOC-Jawa bukan hubungan yang didasari kesetaraan, saling menghormati dan saling menguntungkan, tetapi hubungan yang tidak seimbang, ketidak adilan dan tidak saling menguntungkan dan menzalimi kepentingan pribumi. Pihak Jawa sering diperalat untuk kepentingan dan keuntungan VOC.
Perasaan diperlakukan tidak adil dan terzalimi itu kemudian menemukan momentum untuk membalas dan melawan perlakuan VOC ketika pada saat yang sama orang-orang Cina juga merasakan hal serupa dan mereka melakukan perlawanan. Perasaan yang sama akhirnya menghasilkan kerjasama antara orang Jawa dan Cina melawan VOC. Sunan Paku Buwono II memutuskan untuk bergabung dengan milisi Cina untuk mengusir VOC dari tanah Jawa.
Para pembesar istana, para bupati dan para pemimpin pasukan Cina diminta untuk sumpah setia (baiat) di hadapan Sunan untuk mengusir Kompeni dari tanah Jawa. Untuk membantu perlawanan, bahkan Sunan bersama patihnya, Notokusumo menyerukan perang semesta, untuk melakukan perang sabil terhadaap VOC dan kepentingannya. Diserukan pada para Bupati di seluruh Jawa, rakyat Mataram serta Tentara VOC yang muslim untuk melakukan perang sabil melawan VOC.
Sunan yang bimbang, gagal memanejemen chaos yang terjadi saat itu sehingga berimbas memicu kehancuran dan keruntuhan Kartasura. Ketika seruan perang semesta, seruan perang sabil mulai membuahkan hasil dengan bergabungnya banyak elemen masyarakat Jawa melawan Kompeni, justru Sunan berubah pikiran dan berbalik memihak VOC.
Saat pemimpin Jawa (Sunan Paku Buwono II) berubah pikiran dan menghentikan perlawanan begitu melihat tanda-tanda kekalahan di Semarang, sebagian pembesar Istana dan para prajuritnya serta banyak milisi Jawa yang bergabung dengan Cina menolak kebijakan Sunan. Mereka bertekad meneruskan perang sabil yang dulu diserukan Sunan, bahkan mereka berbalik melawan Sunan yang dianggap sebagai pengkhianat dan tidak konsisten dengan perkataannya.
Dengan sikap dan perbuatannya itu Paku Buwono II dianggap tidak pantas menjadi pemimpin di negara Islam Kartasura, pemimpin tertinggi orang Jawa, maka mereka kemudian mengangkat Sunan yang Baru yaitu Raden Mas Garendi yang bergelar Sunan Amangkurat V, yang sering juga disebut sebagai Sunan Kuning. Dengan jumlah kekuatan yang semakin besar, karena banyak orang Jawa yang terpanggil dan menjadi tentara milisi untuk melawan penjajahan, mereka berhasil mengalahkan pasukan Paku Buwono II dan merebut istana Kartasura.
Menghadapi kenyataan itu, Paku Buwono II semakin shock dan merasa tidak punya pilihan lagi selain mengabdi pada Kompeni. Maka Sunan menyetujui syarat bantuan yang diajukan VOC yang isinya secara tidak langsung menyerahkan kedaulatan Mataram pada Kompeni, asalkan ia dibantu untuk merebut kembali ke tahtanya.
Pasukan Gabungan, VOC, Pakubuwono II dan Madura akhirnya berhasil mengusir Sunan Kuning dan para pengikutnya dari Kartasura. Pasukan Madura yang tiba lebih dulu di istana yang telah dikosongkan Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) kemudian menjarah semua isi istana tanpa meninggalkan sedikitpun.
VOC menjadi pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa geger pacinan ini. Mereka berhasil memanfaatkan chaos yang terjadi untuk kepentingannya, sehingga semakin menguatkan cengkeramannya pada Mataram dan Jawa pada umumnya. Wilayah pesisir menjadi miliknya, semua pendapatan Mataram dari sektor pajak telah diambil alih oleh Kompeni, demikian juga hak mengangkat para pejabat Mataram yang semula hak sunan sudah beralih menjadi hak Kompeni, singkatnya; kedaulatan Mataram sudah ada di tangan VOC.
Executive Summary Laporan Khusus Lembaga Kajian Syamina Edisi 8/ Juni 2017
(*/arrahmah.com)