Idul Adha yang seharunya semarak dengan suka cita ternyata mendadak geger. Beberapa orang Nashr ani, di Depok dikabarkan ‘membaptis” 72 anak-anak Muslim
Menjelang Idul Adha 1427, kampung Lio-Depok geger. Pasalnya seorang laki-laki, bernama Sugito, yang selama ini dipercaya warga setempat, membawa 72 anak-anak Muslim ke Gereja Bethel, Depok.
Rabu tanggal 26 Desember 2006, sekitar pukul 3 sore, anak-anak SD dan SMP kumpul di Rumah Singgah “Bina Tulus Hati”, RT3/RW19, Kampung Lio Depok. Menurut rencana, mereka akan diajak jalan-jalan oleh Pak Sugito dan teman-temannya. Tak jelas, kemana mereka akan dibawa.
Anak-anak yang jumlahnya 72 orang itu, berangkat dengan Metro Mini. Setelah berputar-putar, sekitar jam 16.30 mereka sampai di sebuah gereja Depok. “Namanya gereja Bethel,”ujar Iis kelas 2 SMP, yang ikut dalam rombongan itu.
Sesampai di gereja itu puluhan anak-anak itu disuruh duduk di dalam gereja. Di ruangan gereja itu, sudah ada puluhan anak-anak lain, entah dari mana. Selain itu, di depan anak-anak berdiri laki-laki dan perempuan dewasa yang jumlahnya sekitar 10 orang.
“Kita disuruh menyanyi puji Yesus,”ujar gadis kecil Muslimah itu di depan aktivis ormas-ormas Islam Depok, di Masjid Baiturahman, Kampung Lio, Depok, Ahad lalu (31/12/2006). Bagaimana nyanyiannya? “Diantaranya : Dia lahir untuk kami, dia raja di atas raja, “ujarnya.
Melihat acara di dalam gereja seperti itu, beberapa anak Muslim melarikan diri terbirit-birit ke luar ruangan gereja. Anak-anak Muslim yang lain, mungkin takut, tetap duduk mengikuti acara yang dipimpin seorang ibu itu. Mereka kemudian disuruh berdoa dan seorang ibu kemudian mendatangi masing-masing anak itu dan memegang kepalanya. “Bunyinya kira-kira: Semoga Tuhan memberkati dan roh Kudus membimbingmu. Tuhan Kami nggak ingin kamu kalah..kalau kamu ikut Tuhan Kamu kamu kalah, kalau kamu ikut Tuhan Kami kamu menang,”ungkap anak-anak belia itu.
Setelah acara-acara itu, mereka pulang. Sebelum balik ke rumah naik bis yang sama, mereka diberi bingkisan. “Kita semua diberi bingkisan yang isinya pakaian,”ungkap Sita, 12 tahun, siswi kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah yang juga ikut dalam rombongan itu. Penjelasan Sita ini diamini oleh Indah (13 th) dan Lusi (12 tahun). Acara di gereja yang berlangsung dari sore sampai malam itu, memaksa anak-anak Muslim tidak dapat melaksanakan shalat maghrib.
Melihat kejadian di gereja yang tidak wajar itu, anak-anak laki-laki dan perempuan itu mengadu ke orangtuanya. Dan menjadi ramailah kampung itu. Setelah berembuk secara cepat akhirnya warga membentuk tim untuk mengusut tuntas kasus “kristenisasi” ini. Mereka kemudian melaporkan Sugito ke kepolisian Pancoran Mas, Depok. Sugito ditahan. Tapi ketika warga Muslim setempat memproses pengaduan untuk Sugito ini, tiba-tiba Sugito sudah bebas dan kabarnya, terbang ke Yogya. Entah siapa yang membebaskan.
Kampung Lio, memang bukan kampung berkecukupan. Banyak masyarakat dhuafa di situ. Di wilayah itu terdapat puluhan keluarga pemulung, anak jalanan dan lain-lain. Di situlah sekitar tahun 2004, Sugito dan kawan-kawannya bergerak membuat Rumah Singgah Bina Tulus Hati. Sekitar 119 anak-anak laki dan perempuan, kelas setingkat SD-SMP dibina di situ. Mereka diajari baca Al Qur’an (Iqra’) dan pelajaran-pelajaran umum. Sebagian pengajarnya ada mahasiswa-mahasiswa Nashrani dari Universitas Indonesia. “Yang non Muslim itu ngajar pelajaran-pelajaran umum,”jelas Iis.
Karena merasa dikhianati oleh Sugito, marahlah warga Muslim. Kini Rumah Singgah itu ditutup. Dan warga mengambil alternatif melanjutkan kegiatan anak-anak itu, di Masjid Baiturrahman, Kampung Lio, yang kini masih dalam tahap pembangunan.
Dalam silaturahmi Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Depok dengan Tim Independen kasus itu, FPI Depok dan pengurus masjid Baiturrahman disepakati untuk melanjutkan bantuan beasiswa ke anak-anak dhuafa itu.
“Puluhan anak-anak itu perlu diberi bantuan agar mereka tetap dapat melanjutkan sekolahnya,”ujar Insan Mokoginta, Ketua Umum DDI Depok yang baru. [nuim/cha/Hidayatullah.com]