Oleh Hanif Kristianto
Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur
(Arrahmah.com) – Pada medio 100 hari pemerintahan Jokowi-JK, rakyat dibuat geger melihat pejabat negara saling sandera. KPK vs Polri, Perpanjangan Kontrak PT Freepot, Pertemuan Jokowi dan Prabowo, dan sederet persitiwa yang membuat rakyat marah. Peristiwa ini jika dirangkai akan menjadi sebuah drama menarik yang layak tonton bagi rakyat. Bisa jadi rakyat akan bergumam, “Indonesia Tak Ubah Seperti Pewayangan. Geger Indonesia Rakyat Disia-sia.”Selama ini drama yang disajikan masih berupa babak awal yang memang menarik. Lambat laun rakyat mulai bosan karena lakon itu-itu saja.
Untuk kesekian kalinya, serangkaian peristiwa menjadi bukti bahwa demokrasilah yang melahirkan ketidakstabilan pada kehidupan Indonesia. Khususnya bagi mayoritas umat Islam. Sutradara bagi Indonesia ini sudah memahami bahwa lakon pemerintahan mempunyai aib yang siap dibuka. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menyandera hingga akhir riwayatnya. Buka-bukaan aib menunjukan bahwa tujuan lakon pemerintahan adalah untuk kekuasaan, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Tak dapat menjadikan diri pribadi sebagai lakon, dia pun menyewa lakon bayaran untuk menjadi pemain utama. Selanjutnya didampingkan dengan orang-orang yang mempunyai kepentingan. Sutradara pun mencari orang kaya untuk membiayai drama dan menarik tiket kepada rakyat. Jadilah sebuah drama yang melelahkan selama bertahun-tahun. Jika rakyat sudah bosan, dibuatlah drama baru atau ulangan. Tak ayal, rakyat pun kian emoh dengan yang namanya politik. Itu bukan urusan rakyat. Biarlah orang yang memerintah mengurusi politik. Akibatnya sikap rakyat yang apatis dan kehilangan kiritis tak mampu berbuat apa-apa. Meski rakyat terus diperdaya.
Publik harus cerdas
Negeri salah urus itu salah siapa? Orangnya atau sistemnya? Dua hal itu sering didiskusikan. Sebelum mendiskusikan keduanya, terlebih dahulu dilihat sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. Sistem Politik Demokrasi dan Ketatanegaraan Republik. Garis besar dan dasar pun dibangun dari sistem tersebut. Kedaulatan rakyat senantiasa diagungkan dalam kedua sistem. Arti kedaulatan rakyat bahwa rakyatlah yang mampu menentukan corak dan model negara ini. Kemudian kedaulatan itu diserahkan kepada wakil rakyat.
Kedaulatan rakyat lahir dari J.J Rousseau sebagi lanjutan filsafat yang bersumber pada perasaan. Ajaran kedaulatan rakyat berpangkal tolak pada hasil penemuannya bahwa tanpa tata tertib dan kekuasaan, manusia akan hidup tidak aman dan tidak tentram. Tanpa tata tertib manusia merupakan binatang yang buas “homo homini lupus” dan kehidupan itu berubah menjadi perang antar sesama manusia “bellum omnium contra omnes”. Selanjutnya Rousseau berpendapat kedaulatan itu merupakan fiksi, karena rakyat dapat mewakilkan kekuasaanya dengan berbagai cara. Hal ini dilakukan dengan mewakilkan kepada seorang saja atau beberapa orang. Kepada suatu korps pemilih, bahkan dapat turun temurun. Kedaulatan sebenarnya tidak terdapat lagi pada rakyat, tapi pada seseorang, beberapa orang, pada korps pemilih atau raja yang secara nyata menjalankan kekuasaannya (Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, M Kusnardi dan Harmaly Ibrahim:125).
Rakyat dalam sistem saat ini dijadikan tumbal. Ucapan “kesejahteraan rakyat”, “kedaulatan rakyat”,”dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”, serta ungkapan berembel-embel rakyat merupakan jebakan intelektual. Rakyat harus cerdas dan mulai berfikir benarkah ungkapan itu untuk rakyat? Jangan-jangan yang dimaksud rakyat adalah istrinya, anaknya, keluarganya, dan segelintir orang di sekitarnya. Mereka kan juga dari rakyat? Begitu kilah mereka.
Sistem demokrasi memang tak semanis jargonnya. Adapun praktiknya pejabat pemerintah merupakan petugas partai. Konsekuensi dari sistem republik adalah keberadaan lebaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Tak jarang orang yang menduduki ketiga lembaga dari kolaborasi akademisi-politisi, birokrasi-politisi, dan pengusaha-politis. Mengingat melalui partai mereka menduduki jabatan prestisius. Intinya partai sebagai kendaraan antara menuju kekuasaan. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, rakyat hanya dijadikan stempel agar penguasa menjabat sesuai konstitusi. Meski mereka pun sering inkonsistensi. Hal semacam inilah yang membuat rakyat seharusnya berfikir cerdas. Jangan sampai mereka dijadikan sapi perah ketika pemilu tiba. Setelahnya rakyat dijadikan sepah yang akhirnya dibuang.
Pembentukan kesadaaran politik harus dimulai dari berfikir. Mengindera fakta kerusakan yang ada. Serta berupaya mengganti dengan solusi terbaik. Solusi yang memang bukan sekadar pemanis atau dari manusia belaka. Butuh solusi fundamental yang tak dapat tergantikan oleh waktu. Upaya mengikuti setiap peristiwa juga tidak dapat ditinggalkan. Kesungguhan menganalisis peristiwa dengan sudut pandang tertentu akan melahirkan suatu kesimpulan. Benar atau tidak fakta yang terjadi? Tidak cukup sekadar berfikir itu, namun juga berfikir siapa di balik peristiwa itu. Karena terkadang peristiwa itu dijadikan pengecoh untuk manuver yang lebih penting dalam skala prioritas pemerintah. Meski publik diberikan informasi melalui media, namun data yang diberikan sekadar kulit. Apa yang terjadi jika semua diungkap di media publik. Bisa-bisa bubrah negeri ini.
Oleh karena itu, sistem demokrasi dan tatanan negara republik akhirnya melahirkan pejabat yang tidak amanah, serta aturan yang serba salah dan mudah diakali. Tidak ada rasa iman sama sekali, karena kedua sistem itu dibangun berdasar pemisahan antara agama dari kehidupan kenegaraan. Kalaulah rakyat kecewa karena terlanjur memilih pemimpin yang ada itu hanya salah satu bukti. Bukan juga solusi jika hanya sekadar mengganti pemimpin tapi sistem masih sama. Yang seharusnya dilakukan ketika orang dan pemimpin ini sama rusak. Maka digantilah dengan sistem yang baik dan melahirkan orang baik. Siapapun akan sepakat, bagaimana pun negeri ini memoleh demokrasi dan ketatanegaraan sesuai konstitusi, namun kenyataanya belang itu akan ada karena keduanya dibangun dari asas yang salah.
Ganti sistem dan rezim
Ungkapan “turunkan presiden A” tatkala gagal memenuhi janjinya sering terucap bagi orang yang meluapkan kekesalannya. Mereka sering lupa bahwa tidaklah mudah untuk secepat itu mengganti rezim. Kalaulah kudeta dijadikan jalan, yang terjadi rakyat jadi korban sebagian kerakusan orang karena syahwat kekuasaan. Selama konstitusi dibangun atas dasar demokrasi, selama itu pula ada mekanisme dalam pergantian rezim. Adapun untuk merubah sistem maka haruslah dirubah dasar konstitusinya.
Jangan sampai ungkapan kekesalan hanya sebagai bentuk luapan emosi berlebihan. Apalagi tanpa didasari jalan peta yang tepat sehingga terwujudlah perubahan yang diinginkan. Ganti rezim dengan sistem sama tidak akan berarti apa-apa. Begitu pula ganti sistem dengan rezim yang tidak amanah rakyat pun dibuat kecewa. Cara menuju perubahan sistem dan rezim bukanlah dengan model pragmatisme. Lebih dari itu perubahan ini dilakukan dengan manyatukan pemikiran, pengkajian, dan dukungan dari sistem yang akan dijadikan alternatif. Ada ijtihad politik yang juga didukung, tidak hanya oleh rakyat tapi juga militer sebagai pemilik kekuatan.
Maka ada dua usaha yang perlu dilakukan. Pertama, usaha untuk mencerdaskan rakyat dan tokoh dengan politik yang sahih. Kedua, menyadarkan militer dengan fakta yang rusak kemudian mengajaknya berfikir without box.Intinya kedua usaha itu diajak untuk berfikir lebih jauh bahwa Islam mempunyai solusi dan sistem politik yang sahih. Harus ada penjelasan mengenai perbedaan mendasar sistem politik demokrasi dengan sistem politik Islam. Serta sistem tata negara republik dengan tata negara khilafah. Begitu pula disertai dengan hujjah yang sahih. Jangan sampai ketika menjelaskan perbedaan kedua hal itu terjadi keabu-abuan pemahaman. Apalagi sampai menyamakan. Padahal kedua hal itu dibangun berdasar asas berbeda. Demokrasi dibangun dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), sedangkan Islam berdasar aqidah Islam (wahyu Allah). Sistem republik menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan kekuasaan di tangan rakyat. Artinya rakyat berhak menaikan dan menurunkan pemimpin, serta menentukan hukum berdasar akal manusia yang terbatas. Adapun sistem Islam (Khilafah) menegaskan kedaulatan ada di tangan syara’ (Allah Swt) dan kekuasaan di tangan rakyat. Artinya penguasa dipilih untuk melaksanakan dan menerapkan hukum Allah Swt yang menciptakan manusia.
Satu pertanyaan bagi semuanya: sistem mana yang terbaik? Dari manusia yang lemah atau dari Allah Swt Dzat yang mengatur manusia dan alam semesta? Maka ganti rezim dan sistem bukan hal yang utopia. Kesadaran rakyat yang ada jika dibingkai dengan pemikiran dan pergerakan akan menjadi amunisi bagi gerakan yang menginkan perubahan ke arah Islam. Keculasan, kebobrokan, dan sikap koruptif pejabat negara semakin menurunkan derajat mereka. Ingatlah, umat manusia mempunyai kemuliaan dan sesuai fitrahnya ingin diatur dengan kebaikan. Maka sadarlah bahwa kalian mempunyai negara yang diwariskan Rasulullah yakni Khilafah ‘ala minhajin nubuwah. Negara yang tak akan membuat parodi dan drama. Bukan pula negara yang membuat rakyat sia-sia. Namun, khilafah adalah negera yang akan menerapkan syariah Allah dan keberkahan itu akan meliputi semua. Inilah esensi Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin.
(*/arrahmah.com)