KHARTOUM (Arrahmah.com) – Uni Afrika telah memutuskan untuk menangguhkan partisipasi Republik Sudan dalam semua kegiatan organisasi, setelah kudeta militer pada Senin dan penangkapan perdana menteri serta pembubaran pemerintah sipil.
Pada Rabu (27/10/2021), Uni Afrika menyatakan dalam sebuah komunike bahwa Sudan akan ditangguhkan dari kegiatan blok 55 negara. Dokumen tersebut mencatat bahwa penangguhan akan tetap berlaku sampai “pemulihan” dari otoritas transisi yang ditugaskan untuk membimbing negara menuju pemerintahan yang demokratis pada tahun 2023.
Dalam sebuah tweet, Departemen Perdamaian dan Keamanan Urusan Politik Uni Afrika menyatakan bahwa mereka menyambut baik pembebasan Perdana Menteri Abdalla Hamdok setelah penangkapannya selama kudeta, tetapi mengatakan “pemulihan Otoritas Transisi yang dipimpin sipil” adalah prasyarat bagi partisipasi baru Sudan di Uni Afrika.
Mereka juga menuntut pembebasan segera para menteri dan pejabat sipil Sudan yang masih ditahan.
Pada Senin, Ketua Komisi UA Moussa Faki Mahamat menyerukan militer Sudan untuk menghormati hak asasi manusia ketika ribuan orang turun ke jalan setelah kudeta, di mana Hamdok dan anggota pemerintah transisi lainnya ditangkap.
Hamdok ditahan selama serangan menjelang fajar oleh pasukan yang setia kepada militer negara itu. Tak lama setelah itu, Abdel Fattah al-Burhan, panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Sudan, menyatakan keadaan darurat dan membubarkan pemerintah.
Burhan, yang sebelumnya juga memimpin Dewan Berdaulat yang menjalankan negara itu, berjanji untuk melanjutkan transisi Sudan ke pemerintahan sipil setelah pemimpin lama Omar al-Bashir digulingkan dari kekuasaan pada 2019 setelah berbulan-bulan kerusuhan dan protes.
Hamdok telah dikembalikan ke rumahnya, tetapi kantornya mengatakan bahwa dia tetap berada di bawah “pengamanan yang ketat.”
Puluhan ribu orang turun ke jalan untuk memprotes kudeta. Banyak lagi yang mengambil bagian dalam gerakan pembangkangan nasional dan pemogokan, menuntut kembalinya pemerintah sipil. (Althaf/arrahmah.com)