Sejak awal bulan Rajab, kita biasa mendengar para ustadz mengajarkan dari mimbar-mimbar pengajian doa yang katanya biasa dibaca oleh Nabi Muhammad SAW di bulan tersebut. Doanya berbunyi:
( اَلَّلهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ )
“Ya Allah, limpahkanlah berkah kepada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan!”
Di bulan Sya’ban ini, doa tersebut semakin sering diajarkan dalam berbagai majlis taklim dan khutbah Jum’at. Di benak para pendengar ceramah dan khutbah Jum’at akhirnya tertanam sebuah keyakinan bahwa doa tersebut benar-benar berasal dari Nabi SAW, biasa diucapkan oleh beliau, dan tidak afdhal jika kita tidak membacanya sebelum datangnya bulan suci Ramadhan.
Sebagai seorang muslim, tentu berdoa adalah bagian dari ibadah yang senantiasa kita lakukan, terlebih pada waktu-waktu, kesempatan-kesempatan, dan tempat-tempat yang mustajabud da’wah. Namun berdoa juga memiliki berbagai syarat, sunah, dan adab yang selayaknya kita jaga. Di antaranya adalah membiasakan diri membaca doa-doa yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam hadits-hadits yang shahih.
Selain itu, kita tidak boleh gegabah meyakini atau mengamalkan sembarang doa dengan mengklaim doa tersebut berasal dari ajaran Nabi SAW, apalagi rutin beliau amalkan.
Setidaknya ada tiga alasan untuk berhati-hati dalam berdoa;
Pertama, doa adalah ibadah dan sebaik-baik cara ibadah (termasuk cara dan lafal doa) adalah apa yang telah diajarkan langsung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam hadits shahih.
Kedua, doa-doa dalam Al-Qur’an dan hadits shahih adalah jawami’ul kalim, yaitu perkataan dan kalimat-kalimat yang ringkas namun sudah mencakup semua kebaikan dunia dan akhirat yang dibutuhkan oleh manusia. Sementara doa-doa gubahan manusia biasa (baik gelarnya ulama, syaikh, habib, ustadz, tuan guru, teungku, dst) bisa jadi isinya baik, namun tidak memenuhi kriteria jawami’ul kalim.
Ketiga, mengklaim doa-doa tertentu sebagai doa yang berasal dari Rasulullah SAW atau biasa beliau baca, padahal sebenarnya bukan berasal dari beliau SAW, dikhawatirkan termasuk dalam kategori berdusta atas nama Rasulullah SAW. Minimal bisa disebut tidak berhati-hati dalam meriwayatkan hadits alias meriwayatkan hadits tanpa memiliki pengetahuan yang cukup atas keshahihan atau kedha’ifan hadits tersebut.
Tidak diragukan lagi, gegabah dalam meriwayatkan hadits dha’if seringkali menjadi pintu gerbang terjadinya berbagai bid’ah dalam beragama. Oleh karenanya, pada sahabat dan tabi’in sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Imam Muslim dalam muqaddimah Shahih Muslim meriwayatkan beberapa hadits dan perkataan para ulama salaf tentang wajibnya berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dan besarnya dosa orang yang tidak berhati-hati dalam meriwayatkan hadits.
Kembali kepada doa yang diklaim oleh banyak pihak sebagai doa yang ma’tsur (berasal dari Nabi Muhammad SAW) di atas, bagaimana status hadits tersebut? Untuk menjawabnya, berikut ini kita sampaikan jawaban Syaikh Sulaiman bin Nashir al-Ulwan, seorang ulama besar hadits di Arab Saudi yang hafal kutub tis’ah.
Pertanyaan:
Fadhilah syaikh Sulaiman bin Nashir al-Ulwan hafizhahullah Ta’ala, bagaimana pendapat para ulama tentang hadits “Ya Allah, limpahkanlah berkah kepada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan”?
Jawaban Syaikh Sulaiman bin Nashir al-Ulwan:
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam musnadnya (1/259) dan Al-Bazzar (Kasyful Astar no. 616) dari jalur Zaidah bin Abi ar-Ruqad dari Ziad an-Numairi dari Anas bin Malik R.A
عن أنس بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال ( اَلَّلهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ ) .
Dari Anas bin Malik RA. berkata: Jika telah masuk bulan Rajab, Nabi SAW membaca doa: “Ya Allah, limpahkanlah berkah kepada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan!”
Dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi bernama Zaidah bin Abi ar-Ruqad, seorang perawi yang haditsnya tidak shahih.
Tentang status perawi ini, imam Al-Bukhari berkata: Ia seorang munkarul hadits (haditsnya sangat lemah).
Dalam kitab Adh-Dhu’afa’ (para perawi hadits yang lemah), Imam An-Nasai mengatakan: Ia adalah seorang munkarul hadits.
Imam Abu Daud berkata: Aku tidak mengenal haditsnya.
Imam Ibnu Hibban berkata: Ia meriwayatkan hadits-hadits yang munkar (sangat lemah) dari para tokoh yang terkenal. Haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah (dalil landasan beramal) dan tidak boleh ditulis kecuali untuk i’tibar (dikomparasikan dengan hadits riwayat para perawi yang lain. Jika riwayatnya sesuai dengan riwayat para perawi yang tsiqah, maka haditsnya boleh ditulis. Jika riwayatnya menyelisihi riwayat para perawi yang tsiqah, maka riwayatnya tertolak-edt)
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali menyebutkan hadits ini dalam kitabnya, Lathaiful Ma’arif hlm. 234 dan mengomentarinya: Hadits ini lemah.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Tabyinul ‘Ajab bimaa Warada fi Fadhli Rajab hlm. 18 menyebutkan hadits ini lemah karena perawi Zaidah yang statusnya munkarul hadits bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini (tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya dari jalur lain).
Tidak ada hadits shahih yang mengkhususkan bulan Rajab dengan amalan ibadah tertentu, baik berupa doa, puasa, sedekah, maupun umrah menurut pendapat yang benar. Karena sesungguhnya Nabi SAW melaksanakan umrah pada bulan Dzulqa’dah sebagaimana dijelaskan oleh hadits Anas bin Malik dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Sebagian orang menyangka bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada tanggal 1 Rajab. Ini pendapat yang keliru.
Sebagian lainnya menyangka bahwa Nabi Muhammad SAW diisra’kan pada malam 27 Rajab. Tidak ada satu riwayat pun yang shahih tentang hal itu (bahwa isra’ dan mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab-edt).
(Pendapat yang menyatakan peristiwa isra’ dan mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun 10 kenabian adalah keliru, karena isra’ dan mi’raj terjadi setelah wafatnya Khadijah, sementara Khadijah meninggal pada bulan Ramadhan tahun 10 kenabian, bukan pada bulan Rajab. Terdapat beberapa pendapat lain mengenai waktu terjadinya isra’ dan mi’raj, namun tidak terdapat satu riwayat shahih pun yang menegaskan secara pasti waktunya. Menurut syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq al-Makhtum, alur cerita surat Al-Isra’ mengindikasikan bahwa isra’ dan mi’raj terjadi pada tahun-tahun akhir sekali sebelum peristiwa hijrah ke Madinah–edt) Wallahu a’lam.
Sulaiman bin Nashir al-Ulwan
14 Rajab 1421 H
Walhasil, kita dianjurkan untuk banyak beramal shalih dan berdoa di bulan Sya’ban ini. Namun meyakini secara khusus bahwa doa di atas adalah doa yang berasal dari Rasulullah SAW dan biasa beliau baca di bulan Rajab serta Sya’ban adalah keyakinan yang keliru karena tidak didukung oleh dalil yang shahih.
Lantas doa apa yang selayaknya kita sering baca di bulan kelalaian ini? Silahkan membuka buku-buku yang mengajarkan doa-doa dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih, niscaya Anda akan menemukan begitu banyak doa jawami’ul kalim yang selayaknya Anda baca.
Buku-buku ringkas seperti Hishnul Muslim dan Ad-Du’a wa ar-Ruqa (DR. Sa’id bin Ali Al-Qahthani), atau buku-buku tebal seperti Al-Adzkar An-Nawawiyah (Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i) bisa menjadi buku pegangan Anda. Buku-buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh banyak penerbit Islam di tanah air dengan beragam judul. Tentu masih banyak buku-buku lain yang mengajarkan doa-doa dari Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
Selamat belajar dan semoga Allah SWT membimbing kita untuk mampu berdzikir, berdoa, bersyukur dan beribadah kepada-Nya sesuai tuntunan yang diajarkan oleh Rasul-Nya SAW. Amien yaa Rabb al-‘alamin.
Wallahu A’lam bish showab..
(muhibalmajdi/arrahmah.com)