GAZA (Arrahmah.id) – Lebih dari dua juta warga Palestina di Gaza kini terperangkap dalam bencana kemanusiaan yang semakin parah. Blokade yang dilakukan oleh “Israel” dengan menutup perbatasan dan menghalangi masuknya bantuan telah menyebabkan krisis kelaparan yang mengancam nyawa warga.
Memasuki bulan kedua sejak dimulainya blokade ini, ancaman kelaparan semakin nyata. Pasokan makanan dan bantuan dasar hampir habis, sementara sistem kemanusiaan di Gaza telah runtuh sepenuhnya.
Cindy McCain, Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia PBB, menyatakan bahwa programnya telah kehabisan stok pangan di Gaza, dan situasi semakin kritis. Ia memperingatkan bahwa jika “Israel” terus menghalangi bantuan, lebih banyak warga Gaza akan terjerumus ke dalam kelaparan. McCain menyerukan penghentian tembakan dan membuka akses bagi pekerja kemanusiaan untuk segera membantu warga Gaza.
Di tengah tragedi ini, kemarahan meluas di kalangan Palestina dan warga Arab di seluruh dunia, yang menyuarakan kecaman terhadap kebisuan dunia internasional dan ketidakmampuan dunia Arab untuk menyelamatkan Gaza. Mereka mendesak tindakan konkret untuk menekan “Israel” membuka perbatasan dan membiarkan bantuan kemanusiaan masuk sebelum terlambat.
Seorang aktivis, Adham Abu Suleima, melalui platform “X” menulis, “Gaza tercekik kelaparan, sementara dunia hanya diam. Tepung habis, makanan habis, pasar kosong, dan jiwa-jiwa padam. Dua juta orang menunggu sepotong roti atau seteguk air, namun yang mereka temui hanya kematian perlahan. Ini bukan kelaparan, ini adalah pemusnahan.”
Aktivis lainnya, Yusuf Abu Zuraik, menyampaikan kesedihannya, “Apa yang bisa kami katakan kepada kalian? Perut kosong, orang tak bersalah mati kelaparan… Tidakkah seruan mereka menyentuh hati kalian? Tidakkah tergerak hati kalian dengan tangisan anak-anak di bawah reruntuhan?”
Khaled Safi, melalui platform yang sama, menggambarkan situasi ini sebagai, “Gambar mengejutkan dari kelaparan yang melanda Gaza pada awal tahun 2025, setelah 18 bulan perang yang dilakukan oleh penjajah terhadap dua juta orang yang terkurung, dengan bantuan dari para tiran Arab, kebisuan internasional, dan konspirasi Barat.”
Banyak yang menggambarkan pilihan yang dihadapi warga Gaza sebagai “tiga jalan kematian”: “Mereka akan mati karena serangan udara, mati tercekik, atau mati kelaparan.”
Situasi ini bukan hanya sebuah perang, tetapi sebuah mesin kematian yang merenggut nyawa, menutup pintu harapan, dan mencegah masuknya makanan, menghapus hak hidup dan nilai-nilai kemanusiaan. “Israel”, yang tidak puas hanya dengan bom dan peluru, kini membuka front baru untuk menghabisi Palestina dengan kelaparan.
Seorang pengguna media sosial menulis, “Gaza hidup dalam kelaparan yang belum pernah disaksikan umat manusia sebelumnya. Banyak keluarga yang tak lagi memiliki makanan untuk bertahan hidup dan memberi makan anak-anak mereka.”
Para aktivis bertanya-tanya, “Dari tragedi mana kita harus memulai? Pembakaran orang di tenda mereka? Jasad yang tergeletak di jalan? Kelaparan anak-anak dan dahaga ibu-ibu? Rumah-rumah yang dibakar dan dihancurkan? Harga-harga yang melambung tinggi dan hilangnya kebutuhan hidup? Atau tenda-tenda yang tidak mampu menutupi apapun dan merendahkan martabat wanita?”
Roti kini menjadi barang langka di Gaza, menggantikan makanan sehari-hari yang semakin sulit ditemukan, sementara bahan makanan habis dan aktivitas memasak terhenti.
Apa yang terjadi di Gaza telah melampaui batas genosida menuju penghinaan terhadap martabat manusia, di tengah kebisuan internasional yang memalukan dan ketidakberdayaan yang menakutkan.
(Samirmusa/arrahmah.id)