JAKARTA (Arrahmah.com) – Hasil penelitian yang dilakukan Charta Politika terhadap 6 surat kabar nasional sepanjang tahun 2010 menunjukkan, dua partai besar, Golkar dan Demokrat, menjadi dua partai yang sangat vokal dalam merespon dua kasus yang menjadi isu terpopuler tahun ini.
Dua isu terpopuler yang dirilis Charta Politika adalah kasus Bank Century dan kasus Gayus Tambunan. Tetapi, kedua partai itu “menyukai” isu yang berbeda. Golkar “suka” Century, Demokrat “suka” kasus Gayus Tambunan.
Direktur Riset Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan, para politisi dan partai Golkar mendominasi intensitas pernyataan tertinggi dalam kasus Bank Century. Politisi Golkar Bambang Soesatyo, Priyo Budi Santoso dan Idrus Marham masuk dalam lima besar politisi yang paling sering bersuara soal kasus penggelontoran dana Rp 6,7 triliun yang berakhir “lengsernya” Sri Mulyani dari kursi Menteri Keuangan.
“Secara partai politik, Golkar menempati urutan pertama yang intensitas pernyataannya paling banyak, kemudian PDI Perjuangan dan Demokrat, khusus untuk kasus Bank Century,” kata Yunarto dalam jumpa pers “Political Reviews 2010: Panggung Politik Sandera?”, di Jakarta, Senin (27/12/2010).
Isu kasus Bank Century ini, lanjut Yunarto, menjadi populer karena banyaknya turunan “sub-isu” pemberitaan dari kasus ini. Diantaranya, Pansus Angket Kasus Bank Century, barter politik, perseteruan Sri Mulyani vs Ical, dan lain-lain. Isu ini juga menunjukkan posisi politik (tone) yang jelas berbeda diantara 2 partai terbesar dalam koalisi pendukung (Golkar vs Demokrat).
Adapun dalam kasus dugaan mafia pajak yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak Gayus H Tambunan, intensitas pernyataan politisi Demokrat paling mendominasi. Disusul Partai Golkar dan PDI Perjuangan.
Menurut Yunarto, isu kasus ini menjadi populer karena banyak dikaitkan dengan pemberitaan terhadap beberapa institusi hukum yaitu Polri, Kejaksaan, KPK dan Satgas Mafia Hukum. “Isu ini dihiasi oleh ramainya pernyataan Partai Demokrat dan Golkar dibanding partai lainnya,” jelas Yunarto.
Konfliktual yang muncul dari kasus ini, dinilai Yunarto karena dari sisi tone pemberitaan masuk pada turunan pemberitaan politik, terutama dalam masalah dugaan keterkaitan perusahaan grup Bakrie.
Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, siapa yang tidak mengenal pria yang sekarang duduk dalam kursi pesakitan karena ulahnya menggelapkan uang dari para wajib pajak.
Sebelumnya, nama Gayus pasti asing di telinga masyarakat karena mantan pegawai Ditjen Pajak golongan III A ini dianggap bersih dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Kemudian masuklah laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencurigai adanya jumlah besar dalam rekening Gayus. Padahal seperti diketahui, sebagai pegawai Ditjen Pajak golongan III A ini hanya berpenghasilan Rp8 juta per bulan.
Beranjak dari kecurigaan itu, akhirnya PPATK melaporkan hasil tersebut kepada penyidik Bareskrim Mabes Polri untuk ditindaklanjuti.
Setelah menjalani beberapa kali pemeriksaan diikuti oleh pemeriksaan para saksi, akhirnya Gayus disidangkan dengan dakwaan pasal money laundring, tindak pidana korupsi dan penggelapan di Pengadilan Negeri Tangerang.
Entah mengapa, dari tempat sidang yang sudah berbeda dari tempat perkara (di Direktorat Jendral Pajak, Gatot Subroto) saja sudah terlihat aneh, ternyata melalui fakta persidangan, semuanya terbongkar.
Mulai dari pemeriksaan, dakwaan pasal yang dikenakan Gayus, sampai dengan rekayasa kepemilikan uang Gayus yang mencapai Rp28 miliar itu direncanakan.
Aktornya hingga saat ini masih belum diketahui, terduganya adalah mantan kuasa hukum Gayus yakni Haposan Hutagalung. “Saya merasa dijebak sama Haposan, dan saya korbannya Haposan,” ujar Gayus beberapa waktu lalu saat di persidangan.
Ternyata dari penyidik Bareskrim, oknum jaksa, hakim dan pengacaranya sendiri diduga menerima uang masing-masing Rp5 miliar untuk mengurus kasus Gayus agar nantinya bisa divonis bebas, dalam putusan yang akan disampaikan hakim PN Tangerang.
Alhasil, harapan Gayus divonis bebas pun terwujud berkat lobi yang maksimal dari Haposan Hutagalung, sang kuasa hukum yang doyan berdalih ini.
Sementara itu, dua penyidik Bareskrim (Kompol Arafat Ernanie dan AKP Sri Sumartini) yang menangani kasus Gayus sudah divonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan Arafat pun telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi namun ditolak.
Hal tersebut di atas membuktikan adanya sebuah praktik mafia hukum di dalam tubuh penegak hukum di Indonesia. Sayang, hingga kini para petinggi Mabes Polri belum “tersentuh” dan bahkan belum ditetapkan sebagai tersangka padahal namanya kerap disebut dalam kesaksian di persidangan. Mereka adalah Brigjen Raja Erizman dan Brigjen Edmon Ilyas.
Dan satu hal lagi yang terpenting, ketika pihak kepolisian dan hakim (Hakim Muthadi Asnun) pun sudah diputuskan bersalah oleh majelis hakim, tetapi oknum jaksa sampai sekarang belum satupun ditetapkan sebagai tersangka. Padahal nama-nama seperti Jaksa Cirus Sinaga, Jaksa Fadil Regan, dan Jaksa Poltak Manulang diduga terlibat dalam pembuatan surat rencana penuntutan (rentut) yang akhirnya bocor ke tangan Gayus, lalu disebarluaskannya ke publik.
”Dalam rentut ini berisi, masa tahanan satu tahun dan masa percobaan satu tahun. Di sini tertulis jelas nama Jaksa Cirus,” ungkap Gayus ketika itu.
Jalannya persidangan, Gayus seolah dibentuk menjadi pribadi yang polos oleh tim kuasa hukum, sehingga mengesankan Gayus adalah korban dan dirinya yang menjadi whistle blower yang harus dibela dan dihukum dengan putusan yang dianggap wajar.
Kasus satu belum selesai, sementara kasus kepemilikan uang sebesar Rp28 miliar pun sudah masuk persidangan dan masuk tahap pledio. Gayus dituntut oleh JPU PN Jaksel selama 20 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair enam bulan penjara.
Tuntutan maksimal JPU ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh Gayus, karena dirinya menilai JPU tidak cermat dalam menyusun tuntutan yang tidak disertai fakta persidangan.
Gayus yang kala mendengarkan tuntutan untuk kali pertamanya mengenakan baju koko (muslim lelaki) putih itu menuturkan harapannya untuk mendapat vonis bebas dari majelis hakim yang diketuai oleh Albertina Ho. Sebab, menurutnya Albertina pernah memutus bebas seseorang walaupun pernah dituntut 17 tahun penjara oleh JPU.
”Ada satu contoh kasus yakni kasus Andi Wahab, JPU menuntut Andi Wahab dengan 17 tahun penjara tetapi divonis bebas oleh hakim Albertina. Saya yakin Ibu Albertina sangat tegas dan tertib, saya sangat berharap hal tersebut akan terulang juga kali ini. Saya yakin majelis hakim sangat berani dan mampu melakukan hal tersebut dan memutus perkara benar seadil-adilnya,” harap Gayus usai sidang tuntutan.
Permasalahannya saat ini adalah Gayus baru menghadapi peradilan dalam kasus kepemilikan uang Rp28 miliar, sementara Gayus masih harus menghadapi perbuatannya di pengadilan dalam kasus yang berbeda.
Di antaranya yang terbaru yaitu menyuap Kepala Rutan dan petugas Mako Brimob, untuk bebas plesiran ke Bali maupun bolak-balik pulang ke rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Serta terkait kasus uang sebesar Rp75 miliar yang diakui sebagai hasil “kerja kerasnya” membantu perusahaan yang terlilit pajak, di mana hingga kini masih terus diproses.
Akankah orang-orang di belakang Gayus (baik dari pajak dan penegak hukum lainnya) mampu terendus hingga memperoleh hukuman yang seharusnya diterima. Semuanya dikembalikan lagi kepada siapa yang mau menuntaskan korupsi dan mafia hukum bangsa ini. (sm/arrahmah.com)