Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd
(Guru dan Aktivis Politik Islam)
Menjelang hari raya Idulfitri kelangkaan gas melon kembali terjadi. Akibatnya masyarakat mengalami kesulitan dalam memperoleh gas elpiji. Padahal dalam menghadapi hari raya, masyarakat perlu mempersiapkan berbagai hidangan hari raya. Kelangkaan tersebut terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Dilansir dari kompas.com pada 5 April 2024, stok gas LPG ukuran 3 kilogram (gas melon) di wilayah Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah menghilang. Informasi yang diperoleh, terdapat 8 Kecamatan di Kabupaten Pemalang yang mengalami kelangkaan gas melon yaitu Kecamatan Watukumpul, Belik, Moga, Pulosari, Randudongkal, Warungpring, dan Kecamatan Bantarbolang.
Selain dari terjadi kelangkaan, gas elpiji 3 kg tersebut juga mengalami kenaikan harga. Dilansir dari radar Pekalongan pada 17 April 2024, tak hanya langka, banyak masyarakat di beberapa platform mengeluh jika harga gas melon melambung hingga ke harga Rp40 Ribu. Di beberapa pengecer yang masih memiliki stok, harga gas melon melonjak jauh di atas harga normal. Situasi ini menambah beban bagi warga yang ingin merayakan hari raya dengan tenang.
Sungguh sangat mengherankan jika masyarakat Indonesia kesulitan memperoleh salah satu sumber energi tersebut. Padahal Indonesia merupakan salah satu negara terkaya dari sisi sumber daya energi primer baik yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak, gas dan batu bara maupun yang dapat diperbaharui seperti energi biomassa. Sebagaimana diketahui bahwa gas alam adalah bahan bakar fosil dalam wujud gas yang terbentuk dari sisa-sisa hewan, tanaman, serta mikroorganisme. Sisa-sisa tersebut tersimpan selama jutaan tahun di bawah permukaan bumi.
Indonesia sendiri dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan flora dan fauna. Inilah mengapa terdapat beberapa daerah di Indonesia sebagai penghasil gas alam terbesar seperti Provinsi Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Papua Barat dan Kepulauan Riau. Meskipun demikian, potensi alam yang dimiliki bangsa ini tidak selaras dengan kesejahteraan masyarakatnya. Sungguh disayangkan, masyarakat justru kesulitan dalam memperoleh dan menikmati hasil kekayaan alam negerinya.
Hal demikian tidak mengherankan apabila potensi tersebut tidak dikelola dengan baik oleh penguasa. Pengelolaan kekayaan alam yang melimpah tersebut justru diserahkan kepada swasta dan asing. Dalam produksi gas, sebagian besar diikat oleh kontrak yang bersifat jangka panjang. Disisi lain, sejumlah produksi ladang gas di negeri ini lebih banyak diekspor ke manca negara seperti ke Jepang, Korea Selatan dan AS. Dengan sistem kontrak tersebut, alokasi untuk domestik menjadi minim.
Kondisi tersebut merupakan sebuah fakta terang benderang bahwa kondisi energi bangsa Indonesia sedang terjajah. Kondisi ini muncul karena jeratan ideologi kapitalisme dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang menyebabkan negara tidak memiliki kedaulatan energi.
Berbeda dengan konsep dalam agama Islam yang menetapkan bahwa sumber energi yang jumlahnya melimpah masuk ke dalam kategori milik publik yang pengelolaannya oleh negara dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, [yakni] air, api, dan padang gembala.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
“Api” dalam hadis ini dikiaskan sebagai sumber daya yang menghasilkan kalor, termasuk energi fosil, terbarukan, maupun nuklir. LPG dan gas alam termasuk ke dalamnya. Seluruh sumber energi ini menjadi milkiyyah ‘ammah karena dibutuhkan bersama oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kebijakan seperti ini hanya bisa diambil oleh negara yang memiliki visi dan misi kuat, yaitu negara yang mengambil syariat Islam sebagai landasannya. Hanya negara yang berlandaskan syariat Islamlah yang bisa mengelola SDA dengan baik. Sebab, kebijakan pengelolaan berbagai sumber daya alam seperti LPG atau gas akan pas jika dikelola berdasarkan syariat Islam. Hanya melalui konsep yang demikianlah, bangsa ini dapat mewujudkan kedaulatan energi.
Wallahualam bish shawab