Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara*)
(Arrahmah.id) – Ada berita di detiknews dengan judul, “Ganjar Ancam Pecat Guru yang Marahi Siswi SMA soal Jilbab”, dan di detikjateng dengan judul, “Siswi Dimarahi gegara Jilbab, Ganjar Ancam Pecat Guru SMAN 1 Sumberlawang”. Beberapa informasi yang didapatkan dari berita tersebut adalah:
- Ada seorang guru di sebuah SMA Negeri di Jawa Tengah, yang menasihati seorang siswi muslimah yang tidak pakai jilbab.
-
Orangtua si siswi menyatakan sang guru memarahi anaknya dan cenderung melakukan perundungan.
-
Ganjar Pranowo menyatakan sang guru sudah diminta menandatangani surat pernyataan, dan jika sang guru mengulangi perbuatannya maka Ganjar akan memecatnya.
Baik, sekarang kita coba lihat siapa dan apa yang salah di sini. Pihak-pihak yang terlalu tenggelam dalam perseteruan politik praktis, mungkin akan menjadikan peristiwa ini sebagai bahan serangan terhadap Ganjar, yang selama ini digadang-gadang jadi salah satu bakal calon presiden yang berkontestasi di 2024. Namun kita patut bertanya, apa salah Ganjar di sini?
Mari kita baca potongan berita dari detikjateng tersebut, “Kendati demikian, sekolah negeri tidak memiliki aturan tertulis yang mewajibkan siswinya yang beragama islam memakai jilbab. Suwarno juga menyadari hal tersebut.”
Dari potongan berita di atas, bisa dipahami bahwa sang guru telah melakukan ‘pemaksaan’ kepada si siswi, bahkan menyuruh si siswi untuk bertaubat, sebagaimana keterangan orangtua siswi tersebut. Padahal berjilbab atau tidak, itu bukan kewajiban di sekolah tersebut. Sang guru telah mewajibkan perkara yang tidak diwajibkan oleh sekolah tersebut, dan tentu oleh aturan negara. Itu juga yang membuat Ganjar, sebagai gubernur Jawa Tengah, mengancam memecat sang guru.
Terlepas apakah ada perundungan atau tidak (menurut pengakuan sang guru, dia hanya menyampaikan dengan kata-kata biasa, tidak membentak atau memojokkan), namun kemungkinan nasihat sang guru itu dilandasi oleh pemahamannya, bahwa seorang muslimah yang sudah baligh selayaknya menutup aurat secara sempurna, termasuk memakai jilbab (baca: kerudung).
Sayangnya sang guru mungkin lupa, bahwa kerudung bagi muslimah itu ‘hanya’ kewajiban agama (Islam) saja, bukan sebuah kewajiban menurut hukum positif negara, dan juga bukan kewajiban administratif di sekolah tempat dia bekerja.
Dia lupa, di negeri ini, kewajiban agama tidak selalu selaras dengan kewajiban menurut hukum positif. Demikian juga, hal yang diharamkan oleh Islam, belum tentu dilarang dan ilegal oleh negara. Legal dan halal, serta ilegal dan haram, yang jika mengikuti penjelasan Imam Al-Ghazali harusnya selaras, karena kekuasaan dan diin itu harusnya saling menunjang, faktanya di negeri ini tidak berlaku.
Di negeri ini, sangat mungkin hal yang legal oleh negara sebenarnya haram dalam agama, dan hal yang ilegal menurut negara sebenarnya boleh bahkan bisa jadi wajib menurut agama.
Ya mau bagaimana lagi, tokoh rujukan para pembesar negeri ini dalam mengatur negara bukan Asy-Syafi’i, Al-Mawardi atau Al-Ghazali.
*Direktur Ma’had Al-Mubarak Banjarmasin, Direktur Ma’had Online Lit Tafaqquh Fid Diin – MATIN.
(*/arrahmah.id)