Oleh : Nur Fitriyah Asri
(Arrahmah.com) – Gagal. Itulah, prediksi awal semua ahli kesehatan. Ternyata benar, Indonesia gagal menangani pandemi Covid-19. Jauh sebelumnya sudah diingatkan, promosi new normal yang dibuat pemerintah Indonesia bisa menjadi bumerang yaitu memperburuk situasi dan kondisi. Tidak hanya kesehatan masyarakat, tapi juga ekonomi. Faktanya sekarang ini menghadapi resesi ekonomi. Karena semua itu dilakukan sebelum virus Corona bisa dikendalikan, sudah memberikan pelonggaran atas pembatasan sosial di masa pandemi.
Menurut Kementerian Luar Negeri RI, 59 negara menutup pintu bagi masuknya WNI terkait tingginya angka Covid-19 di Indonesia.
Intinya pemblokiran 59 negara terhadap WNI seharusnya menjadi koreksi besar bagi Presiden Jokowi.
Dunia internasional sudah tidak ada kepercayaan lagi dalam penanganan Covid-19 di Indonesia.
Sesungguhnya kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan beberapa faktor, yaitu:
Pertama, sejak awal presiden dan menterinya tampak terlalu meremehkan virus Corona. Bahkan dibuat gurauan, lucu-lucuan, bahkan memamerkan kesombongannya.
Kedua, penangannannya tidak focus, sering berganti-ganti kebijakan, mencerminkan pemimpin yang tidak profesional. Dampaknya, baik aparat, tenaga medis dan rakyat dibuat bingung. Rakyat menjadi ragu bahkan tidak percaya harus bersikap bagaimana.
Ketiga, terlambat memutus mata rantai penyebaran Covid-19, ini bukti tidak mempunyai kepekaan dan kepribadian yang tegas. Justru membuka keran lebar-lebar untuk tenaga aseng China yang diketahui sumber Corona. Juga membuka tempat-tempat wisatawan, mall-mall dan lainnya. Merupakan ciri pemimpin boneka, berpihak pada pemilik modal.
Keempat, tidak maksimal mengedukasi rakyatnya, sehingga banyak yang tidak memahami bahayanya Covid-19.
Kelima, tidak kompak dalam koordinasi sehingga berantakan. Ironisnya malah dipertontonkan dihadapan rakyatnya. Otomatis hilang kewibawaannya sebagai pemimpin. Dampaknya rakyat tidak akan taat dan tidak percaya pada pemimpinnya.
Itulah bukti, negara demokrasi yang selama ini dibanggakan gagal menghadapi pandemi Corona (Covid-19).
Bingung mencari solusi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut bahwa negara yang menganut sistem pemerintahan otokrasi (dipimpin satu orang) atau oligarki (dikuasai oleh sekelompok orang), misalnya China dan Vietnam, lebih berhasil menangani pandemi Covid-19. Karena mudah mengendalikan perilaku masyarakat dalam menghadapi pandemi, dengan menggunakan cara-cara yang keras (memaksa).
Sedangkan, penganut negara demokrasi (Amerika Serikat, India, Indonesia) tidak bisa memaksakan rakyatnya. Oleh sebab itu, kesulitan menerapkan protokol kesehatan. Padahal, tindakan yang dilakukan sederhana yaitu menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) dan 3T (testing, tracking, dan treatment). Faktanya sulit dilakukan. (cnnIndonesia.com. 3/9/2020)
Pernyataan dan pendapat Tito sungguh menyesatkan, hanya demi mempertahankan sistem demokrasi.
Kepatuhan masyarakat hanya alasan yang dicari-cari, padahal hanya untuk menutupi borok demokrasi.
Memang fakta, bahwa menurut kantor berita Xinhua, China di seluruh Provinsi Hubei termasuk ibu kotanya Wuhan bebas dari pandemi Covid-19, selama 32 hari.
Namun, sebulan kemudian berita AFP melaporkan, pada tanggal 11 Mei 2020 menyebutkan ada 17 kasus baru Covid-19, muncul di Shulan. Sehingga pemerintah China memutuskan untuk memberlakukan karantina wilayah atau lockdoown di kota itu.(BBC.NEWS. 7/5/2020)
Artinya keberhasilan China dalam memutuskan mata rantai penularan Covid-19 menggunakan syariat Islam. Itulah rahasia keberhasilannya.
Masihkan bertahan dengan sistem demokrasi yang jelas-jelas gagal, dan masih mencari solusi yang lain?
Bukankah syariat Islam telah menunjukkan keberhasilannya?
Menunggu apalagi, terbukti semakin hari jumlah yang terpapar Covid-19 terus melonjak naik. Hingga per hari ini tanggal 11 September 2020, total 215.000 kasus. Sembuh 152.000, meninggal dunia 8.650. (CNN Indonesia, 11/9/2020)
Sementara Ketua Tim Mitigasi PB IDI dr. M. Adib Khumaidi menyampaikan berita duka, mengatakan sampai hari ini sudah 114 dokter meninggal dunia karena Covid-19. (jpnn.com. 12/9/2020)
Allah telah mewahyukan kepada insan mulia Nabi Muhammad saw. sebagai suri tauladan yang baik, menerapkan syariah kafah dalam negara khilafah. (QS. al-Baqarah [2]: 208), termasuk bagaimana caranya menyelesaikan wabah.
Di zaman Rasulullah, pernah terjadi wabah kusta yang menular dan mematikan, belum diketahui obatnya. Kemudian Rasulullah melakukan karantina atau isolasi terhadap penderita untuk mencegah penularan dan memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. Beliau bersabda, “Jauhilah penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.” (HR. Ahmad)
Pernah di suatu daerah terjangkit penyakit Tha’un, Rasulullah saw. memperingatkan dan bersabda:
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya.Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan hal itu, syariah mewajibkan negara untuk mengatur penduduk wilayah yang dilanda wabah, diperintahkan untuk berdiam diri di rumahnya, juga berdiam di negeri atau wilayahnya. Mencakup juga transportasi. Tidak keluar kecuali ada keperluan yang mendesak. Protokol ini penting sekali untuk memutus rantai penyebaran penyakit dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dan dari satu orang ke orang lainnya.
Manakala pemimpin menyeru untuk diberlakukan lockdown atau karantina, maka protokol itu merupakan tanggung jawab syar’i semua anggota masyarakat dan hukumnya wajib. Ketaatan atau kepatuhan itu karena dorongan iman, bukan ketakutan terhadap sanksi.
Dengan begitu, akan membuahkan keberhasilan, tanpa memunculkan masalah baru. Walhasil, pandemi Covid-19 dapat dihentikan penyebarannya dengan izin Allah.
Allah berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS.
al-Hasyr [59] : 7)
Wallahu a’lam bish shawab.
*) Pengurus BKMT Kabupaten Jember.
(*/arrahmah.com)