TRIPOLI (Arrahmah.com) – Rezim Moammar Gaddafi dikabarkan telah menawarkan gencatan senjata kepada NATO melalui utusan PBB Abdul-Ilah al-Khatib yang berkunjung ke Tripoli pada Minggu (15/5/2011). Tawaran ini muncul sehari sebelum Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mempertimbangkan penerbitan surat penahanan untuk sejumlah petinggi Libya atas tuduhan pelanggaran HAM berat.
Usai bertemu dengan Al-Khatib, Perdana Menteri Libya Baghdadi Mahmudi mengatakan Libya menginginkan penghentian segera pembomban NATO sebagai imbalan tawaran gencatan senjata ini.
Mahmudi mengatakan Pemerintah Libya memiliki komitmen menjaga persatuan wilayah dan kebebasan rakyatnya dalam menyelesaikan masalah politik negeri itu tanpa ancaman pemboman.
Mahmudi bahkan menuding NATO yang memaksakan zona larangan di Libya telah melakukan aksi kekerasan termasuk pembunuhan politik, blokade laut tanpa dasar, menyerang sasaran sipil dan menghancurkan infrastruktur.
Utusan khusus PBB Abdul-Ilah al-Khatib melakukan kunjungan sehari ke Tripoli, Minggu (15/5) selain untuk mendesak dilakukannya gencatan senjata juga meminta agar akses bantuan untuk warga diperluas.
Sementara itu, dalam berita yang dilansir BBC, pesawat-pesawat terbang NATO menghancurkan sebuah depot minyak di kota penting Ras Lanuf, Minggu (15/5) malam waktu setempat. Serangan ini terjadi setelah Inggris mengusulkan agar NATO memperluas target serangan di wilayah yang dikuasai Moammar Gaddafi.
Deputi Menteri Luar Negeri Libia Khaled Kaim mengecam keras serangan itu dan menggambarkan serangan udara NATO itu sebagai sebuah provokasi.
Selain menyerang depot bahan bakar di Ras Lanouf, pesawat-pesawat tempur NATO juga menyerang barak-barak militer dan fasilitas radar di kota Boukamache 17 km dari perbatasan Tunisia.
Sedangkan di Misrata, pasukan pemberontak mengklaim mereka sudah berhasil sepenuhnya menguasai kota pelabuhan penting di wilayah barat Libia itu. Misrata sejauh ini adalah satu-satunya kota di wilayah barat Libia yang dikuasai pasukan pemberontak. Pertempuran sengit terus terjadi antara pasukan pemerintah dan pemberontak demi memperebutkan kota Misrata. Akibatnya tak kurang dari 1.000 orang tewas di kota tersebut. (rasularasy/arrahmah.com)