Saat itu tanggal sepuluh bulan Ramadhan. Rasulullah SAW sedang berpuasa, begitu juga kaum Muslimin. Sebuah peristiwa besar dan menentukan dalam sejarah Islam akan segera terjadi. Rasulullah SAW bersama sekitar sepuluh ribu personil pasukan kaum Muslimin membelah gurun sahara menuju Mekkah.
Mereka akan memberi ‘pelajaran’ kepada kaum musyrikin Mekkah yang telah menginjak-nginjak perjanjian Hudaibiyyah, menyerang serta membunuh orang-orang yang sedang ruku dan sujud. Rasulullah SAW telah menunjuk Abu Rahm Al Ghifari sebagai amir sementara di Madinah. Seluruh kaum Muhajirin dan Anshar turut serta bersama Rasulullah, begitu juga dari Bani Sulaim dan Bani Muzainah, kabilah-kabilah yang telah masuk Islam dan harus dilindungi.
Ketika tiba di Al-Kudaid, tempat antara Usfan dengan Amaj, Beliau SAW membatalkan puasanya dan terus berjalan hingga berhenti di Marru Adz-Dzahran. Sementara itu orang-orang Quraisy tidak mendengar informasi seputar beliau dan apa yang akan beliau lakukan dan tidak menyadari musibah besar yang ditakdirkan akan menimpa mereka.
Di daerah tersebut pasukan kaum Muslimin yang dalam kondisi puncak berhenti, memancangkan kemah-kemah, menyalakan api obor di pusat perkemahan sehingga membuat terang benderang lembah pasir yang membentang luas tersebut. Peperangan hebat akan melanda kota Mekkah dan bila hal itu benar-benar terjadi, pasti akan menghancurkan kaum musyrikin yang selama ini selalu memusuhi kaum Muslimin.
Musyrikin Mekkah Mengkhianati Perjanjian Hudaibiyyah
Pasca berlakunya Perjanjian Hudaibiyyah kaum Muslimin sibuk menyebarluaskan ajaran Islam kepada setiap orang yang masih mau berfikir. Meski pun perjanjian tersebut mengandung hal-hal yang menguntungkan dan hal-hal yang merugikan, kaum Muslimin tetap menepatinya.
Berbeda dengan musyrikin Quraisy yang congkak dan keras kepala sehingga berani mengkhianati Perjanjian Hudaibiyyah. Dalam butir perjanjian tersebut telah disetujui adanya gencetan senjata selama sepuluh tahun. Selama masa itu, kedua belah pihak tidak akan saling menyerang dan semua orang akan terjamin keamanannya. Apabila ada orang dari pihak Quraisy menyeberang ke pihak Muhammad tanpa seizin walinya, ia harus dikembalikan kepada Quraisy. Sebaliknya, bila ada pengikut Muhammad yang menyeberang ke pihak Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada Muhammad.
Beberapa waktu setelah diberlakukannya perjanjian tersebut, kabilah Banu Khuza’ah menyatakan bersekutu dengan kaum Muslimin, sedangkan kabilah Bani Bakr menyatakan diri bersekutu dengan kaum musyrikin Quraisy. Pengkhianatan Perjanjian Hudaibiyyah diawali oleh musyrikin Quraisy yang bersekutu dengan Bani Bakr untuk kemudian menyerang orang-orang Bani Khuza’ah yang berada dalam perlindungan kaum Muslimin. Dalam penyerangan tersebut beberapa orang dari Bani Khuza’ah tewas.
Karena tidak siap berperang, orang-orang Bani Khuza’ah mencari perlindungan di daerah haram (daerah di Mekkah yang di dalamnya tidak diperbolehkan adanya tindakan kekerasan). Akan tetapi mereka terus dikejar dan dibunuh oleh orang-orang Bani Bakr yang menerima bantuan materil dan moril dari orang-orang Quraisy.
Pada saat orang-orang Bani Bakr sadar telah melakukan tindakan kekerasan di dalam daerah haram, beberapa orang diantaranya bertanya kepada pemimpinnya, Naufal bin Mu’awiyah : “Kita telah memasuki daerah haram, bagaimanakah tuhan-tuhan anda?” Naufal tanpa ragu-ragu menjawab : “Hai orang-orang Bani Bakr, hari ini tidak ada tuhan…lampiaskan pembalasan kalian…!”
Orang-orang Bani Khuza’ah ketakutan mendengar musuh telah menghalalkan tindak kekerasan di dalam daerah haram. Mereka segera mengirimkan ‘Amr bin Salim sebagai utusan menghadap Rasulullah SAW untuk melaporkan peristiwa yang sedang dihadapi kaumnya. Setibanya di Madinah ia langsung menghampiri Nabi SAW yang saat itu sedang duduk di dalam masjid di hadapan kaum Muslimin. “Amr bin Salim menyampaikan keluh kesahnya kepada Nabi SAW atas tindakan orang-orang Bani Bakr yang telah menginjak-injak perjanjian, menyerang serta membunuh orang-orang yang sedang ruku dan sujud. Selain itu ia juga menyampaikan aspirasi kaumnya, Bani Khuza’ah agar Rasulullah SAW bersedia membantu mereka sebagai sekutu yang sedang menghadapi pengejaran musuh.
Menanggapi keluhan dan aspirasi Bani Khuza’ah, Rasulullah SAW berkata : “Hai Amir bin Salim, kalian akan tertolong.”
Beberapa waktu kemudian, orang-orang Quraisy merasa telah berbuat kekeliruan. Berangkatlah Abu Sufyan ke Madinah untuk berusaha memperbaiki keadaan yang telah dirusak oleh kaumnya dengan kembali kepada perjanjian yang telah diperkosa kehormatannya.
Setibanya di Madinah ia langsung ke rumah anak perempuannya, Ummu Habibah, yang merupakan isteri Nabi SAW. Tetapi ketika ia hendak duduk di atas sehelai tikar, tikar itu dilipat oleh Ummu Habibah. Mendapat perlakuan seperti itu Abu Sufyan berkata : “Hai Habibah, aku tidak tahu, apakah engkau lebih menyukai aku daripada tikar itu ataukah lebih menyukai tikar itu daripada diriku?!”
Ummu Habibah menjawab : “Tikar ini adalah tikar Rasulullah, sedangkan ayah seorang musyrik dan najis!” Abu Sufyan kesal dan jengkel mendapat perlakuan seperti itu dari anaknya sendiri dan berkata : “Sepeninggalku engkau akan ditimpa musibah!” Kemudian ia keluar hendak menemui Rasulullah SAW di tempat lain. Ia mengajak Beliau SAW bercakap-cakap, tetapi Beliau tidak mau menjawab sama sekali.
Abu Sufyan kemudian meminta bantuan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan lalu kepada Umar Ibnul Khattab agar membicarakan masalah yang diabaikan saja oleh Rasulullah SAW. Kedua sahabat dekat Rasulullah SAW juga tidak merespon keinginan Abu Sufyan, bahkan Umar Ibnul Khattab mengatakan : “Demi Allah, sekiranya aku tahu engkau berbuat kesalahan walaupun sebutir pasir, tentu engkau kuperangi!”
Akhirnya Abu Sufyan menemui Ali bin Abi Thalib, yang kemudian memberikan solusi: “Demi Allah, hai Abu Sufyan, Rasulullah SAW telah menghendaki sesuatu dan kami tidak dapat mempersoalkan hal itu dengan beliau…” Ali bin Abu Thalib kemudian menyarankan supaya Abu Sufyan lebih baik pulang saja ke Mekkah, dan akhirnya Abu Sufyan langsung pulang ke Mekkah dan memberitahu kaumnya mengenai jalan buntu yang dialaminya selama berada di Madinah.
Sementara itu di Madinah Rasulullah SAW memberitahu kaum Muslimin agar bersiap-siap, dan kepada mereka pun telah diberitahu bahwa Beliau hendak berangkat ke Mekkah. Mereka dipesankan supaya bersungguh-sungguh dan cermat dalam melakukan persiapan. Beliau berdoa:
“Ya Allah, kumpulkanlah mata-mata Quraisy, jangan sampai mendengar berita tentang keadaan kami agar kami dapat menyerang mereka di negeri mereka sendiri secara tiba-tiba.”
Kaum Muslimin menyambut hangat perintah Nabi SAW. Mereka mulai mengerahkan kekuatan untuk menghadapi peperangan mendatang. Mereka sadar, tidak lama lagi akan tiba saat yang menentukan dalam perjuangan melawan kaum musyrikin Mekkah.
Pelajaran Berharga Kasus Hathib bin Abi Balta’ah
Di saat seluruh kaum Muslimin sedang mempersiapkan diri untuk menyerang dengan tiba-tiba Mekkah, terjadilah sebuah peristiwa yang sarat dengan hikmah dan pelajaran. Salah seorang dari kaum Muslimin angkatan pertama, veteran Perang Badar, Hatihib bin Abi Balta’ah diketahui mengirim sepucuk surat kepada kaum musyrikin Quraisy yang membocorkan rencana keadatangan Rasulullah SAW ke Mekkah dengan membawa pasukan.
Ali bin Abi Thalib menceritakan pengalamannya mengenai peristiwa itu sebagai berikut :
“Rasulullah SAW memerintahkan kami bertiga, yaitu aku, Zubair, dan Al Miqdad : “Berangkatlah kalian ke sebuah raudhah (padang rumput) bernama Khakh. Di sana ada seorang perempuan sedang dalam perjalanan ke Mekkah membawa surat. Ambillah surat itu dari tangannya!” Kami berangkay dengan kuda dan setibanya di tempat itu kami jumpai perempuan yang dimaksud oleh Nabi SAW. Kami minta kepadanya supaya mau mengeluarkan surat yang disembunyikan. Ia menyahut bahwa ia tidak membawa surat. Akhirnya kami tekan: “Keluarkan surat itu, kalau tidak engkau akan kami telanjangi!” Ia terpaksa mengeluarkan surat itu yang dibawanya dari dalam kantong dan menyerahkannya kepada kami. Kami kemudian segera pulang menghadap Rasulullah SAW…
“Ketika dibuka teryata terdapat tulisan : Dari Hathib bin Abi Balta’ah kepada kaum musyrikin di Mekkah memberitahu mereka tentang beberapa rencana yang hendak dilakukan oleh Rasulullah SAW. Hathib kemudian dipanggil dan ditanya oleh Rasulullah: “Hai Hathib, apa maksud suratmu ini?” Ia menjawab: ” Ya Rasulullah, jangan buru-buru menghukum diriku. Aku mempunyai hubungan erat sekali dengan orang-orang Quraisy. Dahulu aku pernah menjadi sekutu mereka sekalipun bukan aku yang menjadi tulang punggungnya. Di antara orang-orang Muhajirin yang bersama anda banyak yang mempunyai sanak famili di Mekkah yang menjaga keluarga dan harta benda yang mereka tinggalkan. Sekalipun orang-orang Quraisy itu tidak mempunyai hubungan silsilah denganku, namun aku menginginkan supaya ada beberapa diantara mereka yang mau menjaga kaum kerabatku. Aku berbuat demikian itu samasekali bukan karena aku telah murtad dan bukan pula karena aku ingin menjadi kafir setelah aku memeluk Islam…”
Rasulullah SAW kemudian berkata kepada para sahabatnya:
“Orang ini telah mengatakan yang sesungguhnya kepada kalian!” Umar Ibnul Khattab menyahut : “Ya Rasulullah, biarlah kupenggal saja leher orang munafik itu!” Rasulullah cepat menjawab : “Dia turut serta dalam perang Badr! Apakah engkau tahu, kalau-kalau Allah SWT meninggikan martabat orang yang turut serta dalam perang Badr, lalu Allah bertitah: Berbuatlah sekehendak kalian, kalian Kuampuni…!”
Sehubungan dengan kasus ini Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia yang kalian berikan (keterangan-keterangan mengenai Muhammad) berdasarkan perasaan kasih sayang. Sesungguhnya mereka itu mengingkari kebenaran yang datang kepapda kalian, dan mereka telah mengusir Rasul serta mengusir kalian kerena kalian beriman kepada Allah, Tuhan kalian. Jika kalian benar-benar hendak keluar untuk berjuang di jalan-Ku dan ingin memperoleh keridlaan-Ku (janganlah kalian berbuat sedemikian itu). (Janganlah) kalian memberitahukan secara rahasia (keterangan-keterangan tentang Muhammad) kepada mereka karena kasih sayang. Aku Maha Mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan (secara terang-terangan). Dan barangsiapa diantara kalian melakukannya, maka sesungguhnya ia telah sesat dari jalan yang lurus.” (QS Al Mumtahanah : 1-4)
Jelas, dalam kasus ini Hathib bin Abi Balta’ah telah melakukan kesalahan fatal, membocorkan rahasia serangan kaum Muslimin ke Mekkah. Ancaman hukuman terhadap kasus semacam ini juga sangat berat, dimana Umar Ibnul Khattab bahkan hendak memenggal kepalanya. Tetapi Hathib bin Abi Balta’ah tertolong karena niat yang ada dalam hatinya bukanlah untuk mengkhianati Nabi SAW dan kaum Muslimin, melainkan hanya ingin mendapatkan perlindungan dan kasih sayang sebagaimana diungkapkan Al Qur’an. Selain itu ia juga tertolong karena reputasi baiknya di masa lalu, termasuk keikutsertaannya dalam perang Badr. Dengan ini Islam mengajarkan kepada kita supaya jangan sekali-kali menjadikan musuh sebagai teman setia dan juga jangan melupakan kebajikan orang yang pada suatu ketika berbuat kesalahan.
Inilah Kemengan Besar Kaum Muslimin
Sekembalinya Abu Sufyan dari Madinah, penduduk Mekkah dicekam perasaan cemas dan gelisah. Saat itu, ‘Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW) berfikir hendak memeluk Islam bersama seluruh keluarganya dan hendak meninggalkan Mekkah berhijrah ke Madinah. Dalam perjalanan ke Madinah, Abbas dan anggota-anggota keluarganya berpapasan dengan Rasulullah yang bersama pasukan Muslimin sedang bergerak menuju Mekkah.
Selain Abbas dan keluarganya, berangkat pula Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muthalib (bukan Abu Sufyan bin Harb) dan Abdullah bin Abi Umayyah. Dua-duanya berpapasan dengan Rasulullah SAW di Abwa. Dua orang itu dahulu yang paling keras memusuhi Beliau SAW sewaktu masih berada di Mekkah. Mengingat perbuatan mereka yang sangat jahat di masa lampau, Beliau SAW memalingkan muka tidak sudi melihat mereka.
Ali bin Abi Thalib menyarankan kepada Abu Sufyan bin Al Harits supaya terus menghimbau Rasulullah. Kepadanya Ali berkata : “Datangilah beliau dari arah depannya dan katakan kepada beliau apa yang zaman dahulu pernah dikatakan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf kepadanya:”Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melimpahkan keutamaan kepada anda atas diri kami, dan kami adalah orang-orang yang telah berbuat salah (QS Yusuf : 91). Sebab beliau tidak akan rela mendengar jawaban lebih baik dari itu.” Abu Sufyan bin Al Harits lalu berbuat sesuai dengan saran Ali dan teryata Rasulullah menjawab : “Hari ini (sekarang) tiada bahaya mengancam kalian! Semoga Allah mengampuni kesalahan kalian, dan Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang!” (QS Yusuf : 92)
Alangkah gembiranya Abu Sufyan bin Al Harits mendengar ucapan Rasulullah SAW itu hingga dari mulutnya terlontar beberapa bait sya’ir yang menunjukkan kegembiraan hatinya atas hidayah yang telah diterimanya dari orang yang pernah diusirnya sendiri, dan berjanji akan berperang malawan kaum musyrikin membela agama Allah dan Rasul-Nya. Demikian sya’ir Abu Sufyan bin Al Harits :
‘Aku bersumpah, ketika aku membawa bendera perang musyrik
Pasukan berkuda Lata mengalahkan pasukan berkuda Muhammad
Aku seperti orang yang berjalan di malam hari yang gelap dalam keadaan bingung
Dan sekarang aku telah mendapatkan petunjuk dan diberi petunjuk
Aku diberi petunjuk oleh pemberi petunjuk selain diriku
Orang yang pernah aku usir bersama Allah telah mendapatkanku
Dulu aku bersungguh-sungguh menghalang-halangi manusia dari Muhammad
Aku tetap dihormati kendati aku tidak bergabung dengan Muhammad
Bukan orang musyrik namanya bila tidak berkata dengan hawa nafsu
Kendati ia punya pikiran kotor dan berkata dusta
Aku ingin keridhaan mereka
Dan aku tidak dekat dengan kaum jika aku tidak diberi petunjuk di semua tempat
Katakan kepada Tsaqif, aku tidak ingin menyerang kalian
Dan katakan kepada Tsaqif, silakan ancam orang selain aku
Aku tidak ikut dalam pasukan yang menangkap Amir
Itu bukan ulah lisan dan tanganku
Kabilah-kabilah datang dari tempat jauh
Mereka datang dari Saham dan Surdad (nama tempat di wilayah ‘Ikk)’.”
Sebagai tanggapan, Rasulullah SAW menepuk-nepuk punggung Abu Sufyan bin Al Harits seraya berkata : “Ya…engkaulah yang bersama kawan-kawanmu telah mengusirku!”
Sementara itu Abbas yang juga hendak mencari perlindungan dan masuk Islam melihat tiga tokoh musyrikin Quraisy keluar mencari berita dan ingin mencari tahu apa yang sedang direncanakan oleh pasukan yang datang dari Madinah. Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Hati-hatilah hai orang-orang Quraisy pagi ini. Demi Allah, jika Rasulullah memasuki Makkah dengan kekerasan dan sebelum itu mereka (orang-orang Quraisy) tidak datang meminta jaminan keamanan kepada beliau, maka itu adalah kehancuran mereka sepanjang zaman”.
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, ‘Setelah itu, aku duduk di atas Baghal milik Rasulullah yang berwarna putih dan keluar dengan menaikinya. Ketika aku tiba di pohon ‘Arak, aku berkata, ‘Mudah-mudahan aku dapat bertemu salah seorang pencari kayu bakar, atau penggembala unta, atau penggembala kambing, atau orang yang mempunyai keperluan pergi ke Makkah, yang bisa menjelaskan kepada mereka keberadaan Rasulullah, kemudian mereka datang kepada beliau untuk meminta jaminan keamanan kepada beliau sebelum beliau memasuki ke tempat mereka dengan kekerasan’.
Demi Allah, aku terus berjalan di atas baghal milik Rasulullah dan mencari salah satu dari orang yang aku cari. Tiba-tiba aku mendengar ucapan Abu Sofyan bin Harb dan Budail bin Warqa’ yang sedang tukar pendapat. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Aku tidak pernah melihat api dan markas tentara seperti pada malam ini’. Budail bin Warqa’ berkata, ‘Demi Allah, itu adalah kabilah Khuza’ah yang sedang menyalakan api’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Api kabilah Khuza’ah dan markasnya tidak sebesar itu’.
Aku mengenali suara Abu Sofyan bin Harb. Aku berkata, ‘Hai Abu Handzalah’. Abu Sofyan bin Harb juga mengenali suaraku, kemudian ia berkata, ‘Hai Abu Al-Fadhl’. Aku berkata, ‘Ya betul’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, apakah gerangan yang menimpamu?’ Aku berkata, ‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, inilah Rasulullah sedang bersama pengikutnya. Demi Allah, hati-hatilah orang-orang Quraisy pada pagi ini’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, bagaimana cara menghindar dari itu semua?’ ‘Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, beliau pasti memenggal lehermu. Oleh karena itu, naiklah di belakang baghal ini, hingga aku membawamu ke tempat Rasulullah, kemudian engkau meminta jaminan keamanan untukmu kepada beliau’.
Abu Sofyan bin Harb pun naik di belakangku, sedang kedua temannya pulang ke Makkah. Aku membawa Abu Sofyan bin Harb dan setiap kali aku melewati api kaum Muslimin, mereka bertanya, ‘Siapa orang ini?’ Ketika mereka melihat Baghal milik Rasulullah dan aku berada di atasnya, mereka berkata, ‘Paman Rasulullah sedang mengendarai Baghal beliau’. Aku terus berjalan hingga melewati api Umar bin Khaththab. Ia berkata, ‘Siapa ini?’ Ia mendekatiku dan ketika ia melihat Abu Sofyan bin Harb, ia berkata, ‘Abu Sofyan musuh Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menaklukkanmu tanpa perjanjian sebelumnya.
Ketika Umar bin Khaththab berlari menuju tempat Rasulullah, sedang aku memacu Baghal hingga mendahului Umar bin Khaththab seperti halnya hewan pelan yang mendahului orang yang jalannya pelan. Aku turun dari baghal kemudian masuk ke tempat Rasulullah dan pada saat yang sama Umar bin Khaththab masuk ke tempat beliau. Umar bin Khaththab berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah Abu Sofyan. Allah telah menaklukkannya tanpa perjanjian sebelumnya. Oleh karena itu, izinkan aku memenggal lehernya’. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah melindungi Abu Sofyan bin Harb’. Setelah itu, aku duduk dekat Rasulullah dan memegang kepala beliau sambil berkata, ‘Demi Allah, pada malam ini tidak boleh ada orang lain selian diriku yang berbicara denganmu’. Ketika Umar bin Khaththab banyak bicara tentang Abu Sofyan bin Harb, aku berkata, ‘Tahan dirimu hai Umar. Demi Allah, seandainya Abu Sofyan bin Harb berasal dari Bani Adi bin Ka’ab, engkau tidak akan berkata seperti tadi. Engkau berkata seperti tadi, karena engkau tahu bahwa Abu Sofyan bin Harb berasal dari Bani Abdu Manaf’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Tahan dirimu, hai Al-Abbas. Demi Allah, ke-Islamanmu ketika engkau masuk Islam itu lebih aku sukai daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam. Aku juga tahu kalau ke-Islamanmu itu lebih disukai Rasulullah daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam. Rasulullah bersabda, ‘Hai Al-Abbas, pergilah dengan Abu Sofyan bin Harb ke tempat istirahatmu dan meng-hadaplah kepadaku esok hari’.”
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Aku membawa pergi Abu Sofyan bin Harb ke tempat istirahatku dan ia menginap di tempatku. Esok paginya, aku membawa Abu Sofyan bin Harb ke tempat Rasulullah. Ketika beliau melihat Abu Sofyan bin Harb, beliau bersabda, ‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, apakah belum tiba waktu bagimu untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?’ Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung hubungan kekerabatan. Demi Allah, sungguh aku telah meyakini seandainya ada Tuhan lain selain Allah, maka Tuhan tersebut pasti mencukupiku dengan sesuatu’. Rasulullah bersabda, ‘Celakalah engkau hai Abu Sofyan, apakah belum tiba bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?’ Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung kekerabatan. Adapun hal ini, demi Allah, di hatiku masih terdapat ganjalan hingga sekarang ini’. Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata kepada Abu Sofyan bin Harb, ‘Celakalah engkau, hai Abu Sofyan, masuk Islamlah. Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah sebelum engkau dipenggal lehermu’.
Abu Sofyan bin Harb pun bersaksi dengan syahadat yang benar dan masuk Islam. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abu Sofyan bin Harb adalah orang yang senang dengan kebanggaan, oleh karena itu, berikan sesuatu kepadanya’. Rasulullah bersabda, ‘Ya, barangsiapa memasuki rumah Abu Sofyan bin Harb, ia aman. Barangsiapa menutup pintu rumah-nya, ia aman. Dan barangsiapa memasuki Masjidil Haram, ia aman’.”
Rasulullah SAW memberi keistimewaan kepada Abu Sufyan dengan tujuan memuaskan perasaan Abu Sufyan bin Harb yang suka membanggakan diri. Dengan perlindungan ini, Rasulullah SAW juga berharap jangan sampai terjadi peperangan dan pembunuhan di Mekkah. Untuk itu beliau juga berpesan kepada Abbas agar Abu Sufyan ditahan di sebuah tempat dekat jalan yang akan dilalui pasukan Muslimin, agar dia melihat sendiri seluruh kekuatan kaum Muslimin yang memasuki Mekkah dan tidak berfikiran untuk melawan.
Mengenai peristiwa ini Abbas sendiri menceritakan sebagai berikut :
“Abu Sufyan kuajak pergi kemudian kutahan di sebuah tempat sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah SAW kepadaku. Tak berapa lama kemudian pasukan Muslimin bergerak lewat jalan itu kabilah demi kabilah dengan panjinya masing-masing. Setiap melihat kabilah lawat, Abu Sufyan bertanya : “Hai Abbas, siapakah mereka itu?” Kujawab : “Kabilah Sulaim.” Ia menyahut : “Ah, aku tidak mempunyai urusan dengan mereka!” Lalu lewat lagi barisan kabilah lain. Ia bertanya :“Hai Abbas, siapakah mereka itu?” Kujawab : “Kabilah Muzainah.” Ia menyahut : “Ah, aku tidak mempunyai urusan dengan mereka!” Begitulah seterusnya hingga semua pasukan kabilah lewat. Setiap meilhat pasukan kabilah lewat ia selalu menanyakannyya kepadaku dan tiap keberitahu, ia selalu mengatakan “Aku tidak punya urusan dengan Bani Fulan dan Bani Fulan.” Akhirnya lewatlah Rasulullah SAW di tengah-tengah pasukan yang seluruhnya memakai serban hijau, terdiri dari kaum Muhajirin dan Ashar. Abu Sufyan sangat kagum melihat keanggunan dan kekuatan persenjataan mereka. Ia bertanya : “Subhanallah, hai Abbas, siapakah mereka itu?”…Kujawab : “Itulah Rasulullah SAW di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar…Ia berkata : “Tak ada orang dan kekuatan yang dapat menandingi mereka! Hai Abul Fadhl (nama panggilan Abbas), demi Allah, kemenakanmu kelak akan menjadi maha raja besar…Aku menjawab : “Hai Abu Sufyan, itu bukan kerajaan, melainkan kenabian!” Ia menyahut : “Kalau begitu…alangkah mulianya!”
Abu Sufyan masuk kembali ke kota Mekkah dalam keadaan cemas dan gemetar ketakutan. Ia merasa seolah-olah di belakangnya terdapat roda penggilas yang jika terus menggelinding pasti akan menghancurkan segala yang ada di depannya. Semua penduduk Mekkah melihat pasukan Muslimin dari kejauhan, dan makin lama semakin mendekat. Mereka berkerumun di sekitar pemimpinnya masing-masing menunggu perintah untuk berperang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Abu Sufyan berteriak:
“Hai orang-orang Quraisy, Muhammad datang kepada kalian membawa pasukan yang tak mungkin dapat kalian tandingi! Karena itu, barangsiapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan ia selamat!”
Orang-orang Quraisy mencemoohkan teriakannya : “Celakalah engkau, hai Abu Sufyan! Apakah gunanya rumahmu bagi kami?!”
Abu Sufyan menyahut : “Barangsiapa menutup pintu rumahnya ia selamat! Dan barangsiapa masuk ke dalam Masjidul Haram ia selamat.!”
Orang-orang Quraisy kemudian berlarian berpencaran, sebagian pulang ke rumah masing-masing dan menutup pintu rapat-rapat ; sebagian lainnya berbondong-bondong masuk ke dalam Al Masjidul Haram.
Pada hari itu Mekkah diliputi suasana ketakutan yang mencekam. Semua penduduk dengan hati yang berdebar-debar berusaha menghindari suratan takdir yang akan menimpa mereka. Kaum lelaki banyak yang sembunyi di belakang pintu rumahnya yang tertutup rapat, dan banyak pula yang dengan muka suram masuk ke dalam Al Masjidul Haram menunggu apa yang akan terjadi.
Pasukan kaum Muslimin terus marangsek masuk membanjiri Mekkah. Rasulullah SAW berada di atas untanya, berserban hijau tua, dengan menundukkan kepada dan sikap khusyu kepada Allah SWT. Di atas punggung untanya beliau duduk dengan badan membongkok tanpak sangat merendahkan diri sehingga janggut beliau hampir menyentuh punggung untanya.
Iring-iringan pasukan tersebut terus bergerak mau menuju jantung kota suci Mekkah. Pemimpinnya yang rendah hati dan berbaju besi andaikan mau memberikan isyarat atau perintah serbu yang dinanti-nantikan oleh pasukannya, maka sanggpup membersihkan apa pun yang ada di Mekkah. Pada hari itu Beliau memasuki Mekkah sebagai pemenang, bukan lagi buronan. Kemuliaan besar yang dijanjikan Allah SWT ini membuat Beliau semakin bersyukur dan semakin khusyu membongkok dan menunduk di atas punggung untanya, beliau lalu berkata :
“Hari ini hari Ka’bah harus dihormati, hari ini orang-orang Quraisy dimuliakan Allah!
Kepada pasukannya Beliau SAW memerintahkan jangan menyerang kecuali diserang lebih dulu. Setelah itu masuklah semua regu dari semua penjuru Mekkah. Mekkah pun takluk tanpa perlawanan dan agama Allah SWT menguasai seluruh pelosok kota dan orang memasukinya berbondong-bondong. Rasulullah SAW menuju Baitullah, Ka’bah, dan lalu thawaf, lalu menghancurkan berhala-berhala dan patung-patung yang terdapat di sekitar Ka’bah.
“…Kebenaran tiba dan lenyaplah kebatilan! Sesungguhnyalah, bahwa kebatilan pasti lenyap.” (QS Al Isra : 81)
Baliau kemudian mengucapkan pujian ke hadirat Allah SWT dan berkata :
“Tiada Tuhan selain Allah, yang telah memenuhi janji-Nya, dan telah menolong hamba-NYA dan telah pula mengalahkan pasukan Ahzab! Hai orang-orang Quraisy, menurut pendapat kalian, tindakan apa yang hendak kuambil terhadap kalian?” Mereka menyahut serentak : “Tentu yang baik-baik!” Hai saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia. Beliau lalu berkata ; “Kukatakan kepada kalian apa yang dahulu pernah dikatakan Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya ; “Tak ada hukuman apa pun terhadap kalian. Pergilah kalian semua! Kalian semua bebas!”
Setelah orang-orang Quraisy bubar dan mendapatkan putusannya, Bilal naik ke atas Ka’bah mengumandangkan adzan. Kalimat-kalimat agung kemenangan tersebut membahana membelah angkasa di atas kota Mekkah menambah iman orang-orang yang beriman dan menyebarkan takut di hati setan-setan sehingga melarikan diri. Allahu Akbar…Allahu Akbar…!
Pada hari itu semua penduduk Mekkah memeluk Islam, walau pun ada sebagian dari mereka yang masih ragu. Peristiwa tersebut terjadi di bulan Ramadhan, dan Beliau SAW tinggal di Mekkah setelah itu selama sebulan. Lima belas hari beliau tidak berpuasa dan melakukan shalat Qashar.
Futuh Makkah atau penaklukan kota Mekkah adalah kemenangan gemilang dan besar untuk kaum Muslimin. Semua ini hasil serbuan mendadak dan kecermatan kaum Muslimin dalam merahasiakan rencana serangan. Dan tentu saja, semua ini atas idzin-Nya yang merupakan kepastian alias sunatullahn-Nya bahwa pasukan Al Haq pasti akan mengalahkan pasukan Al Batil. Kapan dan dimana pun.
Wallahu’alam bis showab!