Oleh : Henny Ummu Ghiyas Faris
(Arrahmah.com) – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menggagas program sekolah sehari penuh. Dikutip dari news.detik.com, 8/08/2016 Penerapan program belajar di sekolah sehari penuh, menurut Muhadjir, sudah dipraktikan sekolah swasta. Karena itu Kemendikbud akan melakukan kajian sebelum program belajar tersebut diterapkan.
Kemendikbud menjelaskan FDS (full day school) itu waktu sehari penuh nanti bisa menerjemahkan lebih lanjut dari program nawacita dari Beliau (Jokowi-JK) yang dimana pendidikan dasar SD dan SMP itu pendidikan karakter lebih banyak dibanding knowledge basenya dan banyak waktu memberikan kesempatan guru mendidik anaknya menanamkan pada siswanya karakter yang ada dalam nawacita itu, Selain untuk memperbanyak program ajaran terkait nawacita, Mendikbud berharap program ini dapat mencegah penyimpangan para pelajar usai pulang sekolah. Sebab saat ini pengawasan para orang tua lemah terhadap anaknya usai pulang sekolah siang hari.
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rasidi menjelaskan, wacana pemerintah untuk mewajibkan peserta didik sehari penuh di sekolah sejalan dengan rencana perbaikan mengajar 24 atau tatap muka 24 jam. Dengan demikian, anak akan terhindar dari kenakalan remaja karena kegiatan-kegiatan di lingkungan luar sekolah bisa dihindari.
Meski demikian, dia menjelaskan, peran guru dalam skema tersebut harus diperjelas. Menurut dia, guru tak bisa mengajar hingga sore atau malam hari. Ini karena bagaimana pun juga guru merupakan orang tua bagi anak-anaknya di rumah. Mereka juga memiliki hak untuk bersama keluarganya. Jadi pemerintah lebih baik siapkan dulu kegiatan apa saja yang akan dilakukan guru dalam rencana program itu nantinya. Setelah sudah jelas, baru diterapkan. (Republika.co.id, Selasa 9/8)
Gagasan full day school ini masih menuai tanggapan dari berbagai kalangan, gagasan ini lahir dari Reshuffle Kabinet. Ya kita ketahui bersama, ganti menteri pasti ganti kebijakan. Gagasan Pak Menteri yang disebutkan diatas menarik untuk di telaah. Jika kita telaah penerapan full day school adalah kebijakan yang membuat anak-anak menjadi kehilangan waktu mereka yang lainnya.
Yang menjadi pertanyaannya, mengapa gagasan ini lahir ? perlukah penerapan full day school ini bagi anak-anak ?
Kata full day school sendiri berasal dari Bahasa Inggris yang artinya seharian penuh di sekolah berarti kegiatan belajar yang dilakukan seharian penuh di sekolah. Sistem ini memadukan pengajaran intensif, yakni menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi pelajaran dan pengembangan diri dan kreatifitas anak didik.
Bukan menjadi rahasia lagi jika sekulerisasi dibidang pendidikan tengah mendera negeri ini, sekulerisasi ini telah memaksa anak-anak kita untuk bekerja keras menjadi pintar tapi tidak didukung oleh pendidikan agama. Perbaikan kualitas generasi tak cukup dengan memperbanyak jam belajar di sekolah, tanpa perubahan kurikulum yang sekular. Pemikiran liberal dan sekular yang ditanamkan di sekolah tak kalah besar pengaruh buruknya terhadap generasi.
Hal yang perlu diperhatikan Full day school akan mengundang Kapitalisasi di bidang pendidikan, full day school merupakan kebijakan yang mendasar sehingga harus didukung oleh infrastruktur termasuk oleh regulasi penguat lainnya. Regulasi penguat itu tentunya termasuk penambahan alat bantu pendidikan yang baru — bisa jadi akan mengundang cara ajar dan kurikulum yang baru pula. Jangan sampai anak-anak menjadi “kelinci percobaan” atas kebijakan yang diterapkan.
Yang tak kalah pentingnya full day school akan menghambat perkembangan anak-anak untuk komunikasi di masyarakat. Sebab waktu mereka akan habis di lingkungan sekolah. Belum lagi pengerjaan PR dari sang guru yang mengurangi waktu tidur mereka. Anak-anak akan hilang waktu belajar ngajinya utamanya pendidikan islam, sebab di sekolah pun dirasa kurang. Selain itu, masa bermain anak-anak itu otomatis berkurang.
Bisa dibayangkan, ketika pulang sekolah sore hari anak-anak akan kelelahan. Rumah hanya menjadi tempat istirahat, dan tidak banyak waktu lagi untuk bercengkerama dengan keluarganya, terutama jika orang tuanya adalah orang-orang supersibuk. Bukankah sekolah terbaik itu ada di dalam rumah dan keluarganya? Itulah hal yang harus dibayar oleh anak-anak didik. Pendidikan di dalam keluarga mutlak harus dilakukan oleh orang tua, tidak bisa digantikan oleh sekolah. Karenanya, justru harus ada kebijakan menghentikan pemberdayaan perempuan ala kapitalis yang mendorong ibu bekerja di luar rumah dan mengabaikan pendidikan anak.
Melihat kondisi dunia pendidikan yang seperti ini, kondisi ini lahir dari sistem kehidupan yang tidak berpedoman kepada Islam. Yang akhirnya alih-alih mencari solusi tapi malah menambah masalah baru. Jika ada permasalahan, akar masalah yang harus dituntaskan terlebih dahulu setelah itu cabang-cabangnya. Bukan solusi yang setengah hati yang akhirnya menimbulkan masalah baru. Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan segala aspek kehidupan, maka seharusnya Al-Qur’an menjadi dasar utama dalam pendidikan, kemudian As-Sunnah. Buktinya saja banyak ahli sains yang kemudian masuk Islam setelah mengetahui kebenaran dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Waallahu a’lam bish-Shawaab.
(*/arrahmah.com)