JAKARTA (Arrahmah.com) – Kuasa hukum Front Pembela Islam (FPI) mengumumkan bahwa mereka membatalkan rencana untuk menggugat keputusan pemerintah yang membubarkan FPI ke PTUN.
“Kami batalkan rencana PTUN,” kata kuasa hukum FPI Aziz Yanuar SH, Kamis (31/12/2020), sebagaimana dilansir Fakta kini.
Aziz kemudian menjelaskan bahwa SKB yang dikeluarkan oleh kementerian tersebut cacat hukum, sehingga tidak perlu diperpanjang.
“Kami duga SKB itu adalah kotoran peradaban sehingga tanggapan kami adalah bahwa kotoran itu kami buang saja di septic tank,” tegas dia.
Sebelumnya, pada Rabu (30/12) pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang menyatakan bahwa FPI tidak boleh melakukan aktivitas lagi. SKB itu ditandatangani sejumlah kementerian yakni Kemendagri, KemenkumHAM, Kominfo, Jaksa Agung RI, Kapolri dan Kepala BNPT.
Dalam penjelasannya, pemerintah menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang karena tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri.
SKB tersebut mendapat kritikan dari banyak pihak, salah satunya koalisi masyarakat sipil pegiat HAM, yang terdiri dari KONTRAS, Institute Perempuan, LBH Masyarakat, LBH Pers, PBHI, PSHK, SAFENET, dan YLBHI.
Dalam keterangan tertulisnya, koalisi tersebut mengungkapkan dua ‘cacat hukum’ yang ada pada SKB pembubaran FPI.
Pertama, terkait pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini FPI sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 disebut tidak mengatur negara wajib melarang organisasi yang tidak memiliki SKT tersebut.
“Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai ‘organisasi yang tidak terdaftar’, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum,” demikian pernyataan koalisi dalam keterangan tertulisnya tersebut.
Kedua, FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT. Maka itu, kebijakan pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI juga dinilai tidak memiliki dasar hukum.
Pasal 59 UU Ormas disebut hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas tidak melarang suatu organisasi untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut.
Kemudian, penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak dianggap jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum. Sebab, dalam negara hukum mesti mengutamakan pelindungan hak-hak warga, salah satunya menyangkut kebebasan berkumpul dan berserikat.
Pembubaran ormas pun seharusnya melalui mekanisme resmi seperti peradilan hukum. (rafa/arrahmah.com)