BEKASI (Arrahmah.com) – Ketua Front Pembela Islam (FPI) Bekasi Raya Murhali Barda resah dengan maraknya kampanye hitam jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bekasi, Jawa Barat. Menurutnya, kampanye itu tidak lagi menyerang pribadi calon tapi sudah mengatasnamakan agama.
Pernyataan Murhali ini terkait dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan sekelompok orang yang menamakan dirinya Gerakan Wanita Antipoligami (Gerwap), Rabu (12/12) di Jalan Ahmad Yani, Kota Bekasi. Bahkan kata dia, pengunjuk rasa sudah sampai menggunakan pakaian dalam wanita sebagai masker dalam aksinya.
“Kenapa harus syariat yang digembor-gemborkan? Katanya anti poligami, tapi kok malah anti syariat? Ini sudah tidak benar,” tegas Murhali di Bekasi, Jumat (14/12) seperti dilansir jpnn.
Murhali mencurigai di balik Gewap ada muatan politik untuk menjatuhkan salah satu pasangan calon. Kata dia, jika ingin menarik simpati pemilih sebaiknya tidak menghancurkan syariat Islam.
“Pernyataan saya ini tidak membela siapapun. Tapi jujur saya tidak terima dengan aksi Anti Poligami kemarin. Aksi itu sudah kurang ajar. Saya ingin tahu siapa aktor di belakangnya? Saya ingin datangi. Kalau ingin menjatuhkan lawan politik, jangan dengan cara seperti itu. Cari yang lebih kreatif. Katanya Soekarnois. Tapi kok mereka malah menolak poligami. Soekarno saja istrinya banyak. Tapi dia mampu memimpin istri-istrinya secara adil,” papar Murhali.
Sebelumnya, mantan Rektor Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi Haris Budiyono juga mengungkapkan terjadinya kampanye hitam. “Hampir di semua ajang Pilkada, aksi black campaign muncul. Karena pada umumnya para kandidat maupun tim sukses mencoba mencari kelemahan lawan-lawannya. Terlebih kepada lawan yang dianggap punya kekuatan dan peluang lebih kuat,” ungkap Haris.
Namun, Haris yang kini aktif sebagai Kepala Pusat Kajian Otonomi dan Pembangunan Daerah (Puskopda) Unisma Bekasi ini berkeyakinan bahwa masyarakat Bekasi sudah cerdas dalam memilih. Munculnya opini yang bernuansa black campaign tidak mempengaruhi sikap masyarakat. “Mereka sudah mampu membedakan mana yang black campaign, mana yang memang memiliki kapasitas dalam memimpin Bekasi ke depan,” ujar Haris.
Bahkan, lanjut Haris, semakin offensif black campaign yang dilakukan, akan semakin menguntungkan kandidat yang diserang. Karena, masyarakat Indonesia lebih iba dan simpatik kepada sosok yang dizolimi. “Kemenangan seorang kandidat diukur dari sejauh mana content dan program konkret yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Selebihnya, pendekatan kandidat ke masyarakat dan kreatifitas pencitraan,” ulas Haris. (bilal/arrahmah.com)