JAKARTA (Arrahmah.com) – Musyawarah Nasional ke III FPI telah berakhir pekan lalu. Banyak keputusan yang dihasilkan dari Munas tersebut. Antara lain pernyataan sikap Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (DPP FPI) tentang fitnah terorisme Densus 88 & BNPT.
Salah satu butir dari isi pernyataan sikap itu adalah mendesak pemerintah & DPR khususnya komisi III untuk segera membentuk panja untuk membubarkan Densus 88 dan BNPT dikarenakan hanya melaksanakan agenda asing khususnya Amerika dan Australia serta Zionis Internasional (Freemansonry/Illuminati).
Butir selanjutnya FPI akan menyeret Densus 88 dan BNPT ke ranah hukum. Karena jelas dan tegas telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Dan terhadap personil Densus sebagai aparat kepolisian penegak hukum NKRI yang telah melakukan penembakan dan tindakan berutalnya terhadap korban terbunuh maupun korban salah tangkap, wajib ditindak tegas sebagaimana pula diatur dalam Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia.
FPI juga mendesak DPR bersama PPATK & KPK mengaudit kekayaan pimpinan Densus 88 dan BNPT yang diduga telah melakukan penyalahgunakan Anggaran baik dari anggaran pemerintah maupun dari hibah pihak Asing untuk melakukan pembantaian terhadap umat Islam yang dituduh sebagai teroris .
Berikut isi selengkapnya dari pernyataan sikap Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (DPP FPI) tentang fitnah terorisme Densus 88 & BNPT yang diterima redaksi arrahmah.com.
PERNYATAAN SIKAP
DEWAN PIMPINAN PUSAT FRONT PEMBELA ISLAM (DPP FPI)
TENTANG
FITNAH TERORISME DENSUS 88 & BNPT
Bismillahirohmanirrohiim
Assalamualaikum wr wb
Sepak terjang sang dead squad Densus 88 masih terus berlanjut. Mereka mengklaim terus melakukan pengejaran terhadap para terduga teroris yang dituduh menebar teror di Indonesia. Dalam aksinya Densus 88 sering kali terlibat dalam penyiksaan dan extra-judicial killings, membunuh menggunakan senjata tanpa Standard Operational Procedure (SOP) kepada “terduga” teroris yang tanpa senjata dan tanpa perlawanan. Densus 88 dengan segala fasilitasnya telah menjadi pelaku Impunitas (pelaku penghilangan nyawa yang lolos dari investigasi tanpa proses hukum) dan pelanggar HAM berat. Kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Densus 88 sampai saat ini masih berlajut dan belum ada yang bisa menghentikannya.
Praktik impunitas tidak hanya terjadi di lapangan, di dalam tahanan para terduga teroris disiksa secara tidak manusiawi. Lalu apa gunanya pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Penyiksaan pada 28 September 1998.
Penangkapan dan tuduhan yang seringkali dilakukan oleh Densus 88 kepada warga sipil hanya karena diangap mirip dengan terduga teroris. Warga sipil yang tidak bersalah sering kali menjadi korban salah tangkap; tuduhannya adalah sebagai pelaku/terlibat dalam serangkaian tindakan peledakan bom di sejumlah daerah, termasuk peledakan bom di wilayah rawan konflik, seperti di Poso. Tuduhan terlibat dalam jaringan teroris; sampai kepada tuduhan menyembunyikan pelaku terorisme. Fenomena banyaknya kejadian salah tangkap dalam kasus terorisme ini terjadi selama sembilan tahun terakhir, antara 2004-2013. Tindakan gegabah salah tangkap Densus 88 ini tidak dibekali dengan bukti yang kuat terhadap orang yang diduga melakukan tindakan terorisme. Kekerasan terhadap terhadap anak di bawah umur juga dilakukan Densus 88 saat melakukan penangkapan terhadap terduga jaringan terorisme. Belum lagi, stigmatisasi negatif yang dibangun oleh Densus 88 terhadap atribut muslim juga memicu terjadinya banyak kasus salah tangkap. Menjadi korban salah tangkap Densus 88, hanya karena atribut muslim yang dipakai dan melekat di tubuhnya.
Atas hal – hal tersebutlah Densus 88 seringkali melakukan terorisasi dan klaim terhadap kelompok Islam tertentu bagian dari kelompok teroris ini dan itu tanpa bukti yang jelas. Melakukan prakondisi terhadap kasus terorisme. Dan seringkali meyalahgunakan kewenangannya untuk memaksa terduga teroris mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Densus 88 telah berulang kali melakukan abusing powers, tidak hanya dalam penindakan tetapi juga disinyalir dalam penggunaan anggaran yang tidak independen. Selama ini tidak jelas operasi besar – besaran Densus 88 yang didanai oleh negara maupun asing tidak pernah jelas penggunaannya. Misalnya Detasemen 88, menerima pelatihan, perlengkapan dan dukungan operasional yang luas dari Polisi Federal Australia (AFP). Antara 2010 dan 2012 ini nilainya mencapai $ 314.500 kemana semua dana tersebut.
Konyolnya lagi, Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dibentuk untuk mendukung Pelanggaran HAM Densus 88 dalam perjalanannya digunakan sebagai alat oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggelar operasi-operasi intelijen dengan modus pemberantasaan terorisme demi kepentingan mempertahankan kekuasaan. Terorisme yang oleh masyarakat dianggap sebagai komoditi politik yang cukup ampuh dan efektif dalam mengalihkan isu berbagai kegagalan pemerintahan SBY-Boediono. Operasi yang dilakukan BNPT dengan mengandalkan kepanjangan tangan kepolisian (Densus 88) dan unsur intelijennya dinilai tidak transparan, sangat memojokkan umat dan aktivis Islam, serta sering kali melanggar HAM. pembentukan BNPT dianggap membuang-buang anggaran dan dianggap membawa citra buruk karena keberadaan BNPT tidak lebih hanya untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan sarang terorisme.
Program deradikalisasi yang di usung oleh BNPT tidak lebih dari sebuah proyek internasional untuk mereduksi/dekontruksi pemahaman tentang Islam Kaffah (Syari’at Islam). Hal ini bisa kita lihat dengan jelas dari sebuah laporan yang dirilis oleh RAND Corporation (RAND Corp) mengenai “Deradicalizing Islamist Extremists.” Laporan yang dirilis tahun 2010 oleh lembaga bentukan Zionis Internasional (Freemansonry/Illuminati) dan binaan pemerintah Amerika Serikat (AS) ini diambil dari hasil realisasi program deradikalisasi yang dilakukan di sejumlah wilayah di Timur Tengah, Asia Tenggara, dan negara-negara Eropa. Artinya, program deradikalisasi yang disponsori oleh Amerika dan negara-negara Barat telah dilakukan hampir diseluruh dunia.
BNPT juga merekomendasikan deradikalisasi gaya baru yang disebut disengagment atau disengagement from violence (menjauhkan diri dari kekerasan). Proyek Disengagement merupakan program yang dilaksa-nakan untuk mendorong para terduga teroris merubah perilaku (tidak lagi mengamalkan ideologi jihad) tetapi tidak harus merubah keyakinan. Artinya keyakinan tentang jihad tidak dideradikalisasi, namun perilakunya yang dijauhkan dari mengamalkan/melaksanakan jihad. Ini sama halnya dengan mencetak muslim yang tidak taat. Sebagai analogi, semua umat Islam paham bahwa sholat adalah wajib, namun tidak perlu sholat, cukup dipahami saja. Inilah hakikat dari proyek Disengagement supervisi RAND Corp.
Bahwa terkait hal – hal di atas, kami Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (DPP FPI) menyatakan sebagai berikut :
-
Menghimbau kepada seluruh segenap saudara/saudari kami berkewarganegaraan Indonesia (WNI) yang telah mendapatkan perlakuan diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) baik terhadap diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM) akibat dampak dari fitnah terorisme dan atau teror di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh Densusi 88 ini, untuk segera melakukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
-
Mendesak DPR untuk segera untuk menghentikan praktik impunitas yang dilakukan oleh Densus 88 terhadap aktivis Islam baik yang telah disiksa, dibunuh maupun salah tangkap harus segera dibawa kehadapan hukum untuk menjamin akuntabilitas hukum dan keadilan korban.
-
Mendesak DPR khususnya komisi III untuk mengaudit Kewenangan untuk menggunakan senjata api oleh Densus 88. Karena Densus 88 telah melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian
-
Mendesak Pemerintah & DPR khususnya KOMISI III untuk segera membentuk panja untuk MEMBUBARKAN Densus 88 dan BNPT dikarenakan hanya melaksanakan agenda Asing khususnya Amerika dan Australia serta Zionis Internasional (Freemansonry/Illuminati)
-
Menyeret Densus 88 dan BNPT, karena jelas dan tegas telah melakukan PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAK ASASI MANUSIA dan terhadap personil Densus sebagai aparat kepolisian penegak hukum NKRI yang telah melakukan penembakan dan tindakan berutalnya terhadap korban terbunuh maupun korban salah tangkap, wajib ditindak tegas sebagaimana pula diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA.
-
Mendesak DPR bersama PPATK & KPK mengaudit kekayaan pimpinan Densus 88 dan BNPT yang diduga telah melakukan penyalahgunakan Anggaran baik dari anggaran pemerintah maupun dari Hibah pihak Asing untuk melakukan pembantaian terhadap umat Islam yang dituduh sebagai teroris .
Wassalamualaikum Wr. Wb
BEKASI, 16 SYAWAL 1434 H / 22 Agustus 2013
PIMPINAN SIDANG MUNAS KE III
FRONT PEMBELA ISLAM
KH Drs. MISBAHUL ANAM HABIB MUHSIN AL ATHOS, Lc
Ketua Sekretaris
(azmuttaqin/arrahmah.com)