(Arrahmah.id) – Alhamdulillah Jenderal (purn) Fachrul Razi, mantan menteri agama era Jokowi, telah melakukan testimoni bahwa dia satu-satunya menteri yang menolak pembubaran Front Pembela Islam beberapa tahun lalu. Fachrul bahkan mengatakan keputusan dia menolak pembubaran FPI karena istrinya memperteguh pendiriannya bahwa membubarkan FPI akan berdosa dan memalukan bagi orang Aceh (asal usul mereka).
Menurutnya, dia harus “membayar” pendirian itu dengan disingkirkan sebagai menteri. Namun, baginya hidup dengan pangkat terakhir jenderal sudah cukup membahagiakan. Dipecat jadi menteri tidak masalah.
Pembubaran FPI sebenarnya dikecam juga oleh berbagai NGO dan masyarakat internasional. Menurut mereka, meskipun FPI di luar “mainstream” dan membahayakan demokrasi, namun membubarkan FPI tanpa pengadilan merupakan kejahatan demokrasi sendiri.
Pernyataan mantan Wakil Panglima TNI Fachrul Razi ini menggemparkan jagat maya beberapa hari belakang ini. Tuduhan bahwa FPI organisasi berbahaya, radikal bahkan menjurus tuduhan terorisme menjadi gagal.
Dalam teori falsifikasi (lihat Karl Popper), sebagai alternatif dari metode pembuktian ilmiah, verifikasi, penyeragaman persepsi atas FPI organisasi berbahaya telah gagal.
Pernyataan Fachrul ini tentunya lebih dipercaya publik dibandingkan pemerintah Jokowi. Kita melihat FPI versi baru, yang dikendalikan generasi muda, bahkan mampu mengumpulkan satu juta massa di Monas pada 2 Desember lalu.
Aksi itu adalah murni aksi FPI sehingga jumlah sejuta massa yang hadir benar-benar klaim FPI sendiri tentunya.
Habib Rizieq dan Regenerasi
Dalam sejarah Islam di Indonesia, kemampuan mengorganisasikan gerakan begitu fenomenal ditangan Habib Rizieq. Di era kolonial, Tjokroaminoto, mempunyai kemampuan yang sama tentunya. Pengorganisasian di sini maksudnya dalam konteks gerakan perlawanan.
Di era pemerintahan Hindia Belanda, mereka melahirkan Van Der Plass dan Snouck Hurgronje sebagai ahli sosilogi Islam untuk menghancurkan dan atau menjinakkan gerakan Islam. Namun, Tjokroaminoto berhasil survive.
Organisasi Tjokroaminoto, Syarikat Islam, selain menjadi role model Bung Karno (lihat Pledoi Indonesia Menggugat) melawan Belanda, juga berhasil menjadi bagian pendiri Indonesia.
Gerakan Islam seperti FPI dan Syarikat Islam di masa lalu, merupakan gerakan pembebasan. Sebuah gerakan yang struktural untuk menjadikan rakyat menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Jika gerakan Habib Rizieq yang anti “9 Naga” terus membesar, maka tentunya Indonesia akan terbebaskan dari komplotan kekuasaan yang hanya memperkaya diri dan membangun politik dinasti.
Kepiawaian Habib Rizieq dalam menyelamatkan organisasi sangat luar biasa. Kuncinya regenerasi. Pemimpin FPI saat ini, Muhammad Al Atas dan Hanif Al Atas adalah anak-anak usia 30an. Keterlibatan anak menantunya dalam organisasi ini bukanlah politik dinasti yang diributkan saat ini, seperti kasus Gibran. Dalam kasus Habib Rizieq, keterlibatan anak mantunya mirip “pengorbanan Ismail” atas permintaan bapaknya, Nabi Ibrahim.
Anak-anak mantu Habib menderita, diantaranya, Hanif, masuk penjara sel nomer 1, bersama mertuanya dalam satu sel Bareskrim bawah tanah. Dia dikenakan tuduhan berdasarkan UU “subversif” 1946. Akhirnya, hanya 3 tahun sejak pembubaran FPI, “FPI baru” telah berhasil mengkonsolidasikan diri, seperti yang terlihat pada acara 212 lalu di Monas.
Selain itu Habib Rizieq membangun ke-Indonesiaan yang kuat. Kesan dominasi elit-elit keturunan Arab dalam gerakan Habib merupakan kesan fiktif. Lingkaran dekat Habib diisi oleh kesamaan ideologis. Tingkat ideologis, seperti yang dimiliki Sobri Lubis dan Munarman, misalnya di periode lalu, membuat “non Arab” menempati pimpinan puncak organisasi, yakni ketua umum dan sekjen. Habib juga membangun komunikasi secara periodik dengan tokoh-tokoh non agamis untuk sebuah front besar bersifat nasionalis.
Tepat setelah 3 tahun dibubarkan Jokowi, FPI bangkit.
Dalam kepemimpinan anak-anak muda, tentunya organisasi ini memiliki energi yang lebih besar untuk mencapai cita-citanya. Habib Rizieq, sebagai “founder”, tampaknya siap “lengser” dengan bahagia.
Kemana FPI Bergerak?
Pernyataan FPI alias 212 tidak mengundang capres-cawapres dalam acara massal di Monas, 2/12/23, lalu menjadi teka teki politik. Sebelumnya, FPI mengundang Anies/Muhaimin dalam ijtima ulama dan tidak mengundang calon lainnya. Pernyataan bahwa tidak mengundang capres-cawapres dalam acara reuni 212 kemarin dapat dimaknai bahwa gerakan yang sedang dibangun FPI belum tentu beririsan dengan Visi-Misi capres-cawapres yang ada.
Setidaknya, kejadian terbaru adalah terjadinya kontradiksi pada isu LGBT (homoseksual), di mana FPI menolak konser Coldplay di Indonesia, sedangkan Muhaimin Iskandar terang-terangan menonton konser tersebut.
Menurut Saidiman, SMRC, suara 212 (dan atau FPI), dapat mencapai 20-30 juta suara. Suara ini diprediksi merupakan suara AMIN. Namun, pemilu belum berakhir. Pada tahun 2014 dan 2019, kelompok FPI merupakan sekutu Prabowo Subianto. Suara Prabowo dan Gerindra mencapai puncaknya pada tahun 2019, yakni masing-masing 44,5% dan 17%. Tentu saja angka ini fantastik dan difahami benar kelompok FPI sebagai sebuah kekuatan.
Pernyataan FPI tidak mengundang capres-cawapres dalam acara 212 kemarin, dalam persepsi politik bisa juga difahami belum adanya “deal” antara AMIN dan 212, khususnya masalah-masalah ideologis. Dalam ijtima ulama lalu, ada 13 pakta integritas yang disampaikan.
Menurut Hanif Al Atas, CNN Indonesia 30/11/23, belum ada dukungan resmi ke pasangan capres-cawapres. Mereka akan mengikuti ijtima ulama, namun menurutnya ijtima ulama belum mengambil keputusan.
Jikalau FPI mengambil jalan di luar kekuasaan, seperti yang diperankannya selama ini, maka FPI dapat bergerak bebas mempengaruhi dinamika sosial yang ada. Tantangan kekuasaan ke depan, siapapun berkuasa, kelihatannya tidak sekejam rezim Jokowi terhadap FPI dan terhadap demokrasi.
Penutup
Fachrul Razi, mantan wakil Panglima TNI, heboh dan viral di media belakangan ini, mengaku takut berdosa untuk terlibat membubarkan Front Pembela Islam (FPI) 3 tahun lalu. Sebagai orang Aceh atau tumbuh besar di Aceh, istrinya mengingatkan hal itu. Menurutnya FPI bukan organisasi radikal apalagi teroris. Persoalan FPI adalah ekstrimitas yang dapat dibina.
Tentu saja pernyataan ini mem falsifikasi (istilah Karl Popper) tuduhan-tuduhan sesat terhadap FPI selama ini. Begitu juga masyarakat internasional, meskipun tidak senang dengan FPI, namun pembubaran FPI tanpa pengadilan dianggap melanggar norma-norma demokrasi.
Pengakuan mantan menteri agama ini terlihat dari recovery FPI baru (Front Persatuan Nasional), yang mampu menunjukkan kekuatannya pada reuni 212 beberapa hari lalu. Sekitar satu juta massa hadir atas nama FPI itu sendiri, murni.
Keberhasilan Habib Rizieq dalam melakukan regenerasi menjadi catatan penting bagi bangkitnya FPI. Saat ini anak-anak mantu Habib Rizieq, dalam usia 30 an, mengambil alih kepemimpinan. Kita melihat berbagai medsos dihiasi oleh kemampuan mereka berdebat dalam tema-tema Islam dan kemasyarakatan.
Arah politik yang ditunjukkan FPI terbaru adalah netral terhadap politik pilpres. Hal ini diungkapkan mereka untuk tidak mengundang capres-cawapres dalam aksi sejuta massa pada reuni 212 lalu.
Begitu juga Habib Hanif Al Atas, 30/11/23, mengatakan bahwa belum ada keputusan ijtima ulama dalam dukung mendukung capres-cawapres. Ini menunjukkan pergerakan FPI sangat percaya diri bahwa mereka kembali menjadi kekuatan faktual yang akan mendinamisir perjalanan bangsa ke depan, setidaknya paska Jokowi berkuasa.
(*/arrahmah.id)