JAKARTA (Arrahmah.com) -Gerah dengan beredarnya film porno, dalam waktu dekat Front Pembela Islam (FPI) akan menggelar demo besar-besaran terkait beredarnya film ‘Hantu Puncak Datang Bulan’ yang di bintangi Andi Soraya dan akan tayang dua hari mendatang. Sebab, film tersebut dianggap tidak etis.
Ketua DPD FPI DKI Jakarta Habib Salim Alatas atau yang akrab disapa Habib Seloon ini menilai dengan diputarnya film seronok tersebut jelas akan merusak moral bangsa. “Kita tetap tolak, kita akan aksi dengan ribuan massa. Tamu (Miyabi) datang saja kita kebakaran jenggot, apalagi orang kita sendiri, ini tidak bisa dibiarin,” ujarnya Rabu (3/2).
Meski mengaku belum sempat melihat film tersebut, Habib sungguh geram dengan film-film yang beredar di Indonesia. Karena semakin tidak mendidik penonton. “Film-film horor selalu isinya seksi jadi penonton di bohongi. Rusak akhlak dan moral bangsa kita, FPI tetap menolak kalau film ini tetap beredar mau di televisi kek, mau di bioskop kalau namanya buka-bukaan tolak,” tegas Habib Seloon lagi.
FPI juga menyesalkan pada Pemerintah, yang dianggap tidak ada sikap alias tegas terhadap hal-hal yang berbau pornografi. Malah, lanjut Habib, Pemerintah tidak perduli akan regenerasi anak cucu bangsa yang kelak tumbuh dewasa. “Pemerintah hanya cicing wae, belaga buta dengan masalah ginian,” pungkasnya.
MUI Belum Bisa Mencegah, MUI Bukan Ekskutor
Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga saat ini belum melakukan pencegahan tayang, terhadap film dalam negeri yang mengumbar adegan semi pornografi, termasuk film ‘Hantu Puncak Datang Bulan’. Hal ini memang harus difahami bersama bahwa MUI bukan ekskutor tetapi hanya sebatas lembaga fatwa.
“Sampai hari ini dewan harian MUI belum melakukan itu, bagaimana caranya? Kita bukan lembaga yang punya otoritas untuk itu,” kata Ketua MUI Amidhan Shaberah.
Yang dapat dilakukan MUI, kata Amidhan, hanya akan mengimbau kepada lembaga yang memiliki otoritas, melakukan pencegahan tayang terhadap film yang bertentangan dengan undang-undang, dalam hal ini Lembaga Sensor Film (LSF). “Kalau ada film yang keterlaluan, menggelisahkan masyarakat, kita minta tidak ditayangkan,” imbuhnya.
Mengenai kriteria film yang meresahkan masyarakat, menurut MUI antara lain pornografi, mistik, dan menyangkut kekerasan. Lebih jauh Amidhan mengatakan, kendati UU No 4 Tahun 2008 tentang Pornografi telah disahkan, namun hal-hal yang bertentangan dengan undang-undang tersebut masih saja merebak, tanpa adanya tindakan hukum tegas.
“Lembaga sensor film kerjanya manipulatif. Agamawan dan pendidik tidak diminta pendapatnnya dalam melakukan sensor film,” cetusnya.
Meski begitu, masih katanya, MUI tak ingin merespon karya film dengan gampang, hanya karena mendasarkan pada ajaran Islam. Ia tak ingin reaksi yang dilakukan terhadap sebuah karya film, justru semakin mendompleng popularitas film tersebut.
“Film baru keluar cuplikannya, sudah diumbar lewat media supaya masyarakat heboh, nanti malah laku filmnya,” pungkas Amidhan.
Aminudin khawatir jika film itu tetap diputar, dapat merusak akhlak umat Islam. Ia prihatin dengan keberadaan Maxima Pictures yang kerap memproduksi film porno. Yang terakhir Maxima memproduksi film berbau porno berjudul Air Terjun Pengantin.
MUI menilai, sikap Maxima yang tak mengambil pelajaran atas kasus sebelum ini seolah ingin menantang umat Islam.
“Maxima sedang memancing dan menantang kemarahan umat Islam dengan film-film porno mereka. Mereka (Maxima-red) sangat tidak menghormati norma dan etika sosial,” jelas Aminudin.
Ia juga menilai sikap dan tindakan pemerintah Indonesia yang terkesan lembek dalam memberantas media-media pornografi. Padahal Indonesia merupakan negara terbesar berpenduduk Muslim. Ia mencontohkan sikap yang ditunjukan pemerintah China. Meski bukan negara Muslim, China sanggup menindak 50.000 warganya yang mengakses pornografi.
“Mengapa kita dengan penduduk Muslim terbesar di dunia malah membiarkan, bahkan memproduksi pornografi,” kata Aminudin.
Pastinya, film Suster Keramas yang dibintangi Rin Sakuragi itu dilarang karena mengumbar adegan vulgar. Salah satunya Rin berakting tanpa sehelai benang pun.
Jauh sebelum adanya pelarangan pemutaran Hantu Puncak Datang Bulan dan Suster Keramas, film Paku Kuntilanak yang dibintangi Dewi Persik dengan adegan seks vulgarnya juga sempat ditentang.
Sekretaris Umum MUI Ichwan Syam menyayangkan lembaga-lembaga yang seharusnya bertanggung jawab sebagai penjaga moral bangsa, salah satunya Lembaga Sensor Film (LSF) sepertinya tidak peduli. Hal itulah yang membuat MUI mengirim surat keberatan kepada Lembaga Sensor Film dan Menteri Pariwisata dan Budaya Jero Wacik.
“Film merupakan bagian dari seni dan budaya yang memiliki pengaruh luas bagi masyarakat. Sudah seharusnya semua pembuat film memiliki tanggung jawab moral dengan membuat karya yang memiliki pengaruh positif. Bukan malah selalu membuat pembenaran atas nama seni dan kreativitas,” tuturnya.
“Air Terjun Pengantin” Menebus Keimanan Dengan KTP
Desember yang lalu kita telah digegerkan juga dengan “Air Terjun Pengantin” sebuah mahakarya sutradara yang biasanya doyan menakut-nakuti pecinta film Indonesia, namun telah berubah menjadi “penyihir” andrenalin maskulin berbesut adegan mengerikan nan sarat keseksian. Film berdurasi 90 menit ini terasa hanya seperti kumpulan adegan kekerasan yang cenderung sadis dan penampilan seksi para aktrisnya.
Terlalu banyak darah yang berceceran, ‘Air Terjun Pengantin’ tak layak dikonsumsi anak-anak. Jadi memang nggak heran jika Tamara beberapa waktu lalu minta supaya penonton ‘Air Terjun Pengantin’ diperiksa KTPnya (detik.com, Kamis, 3/12)
Begitu sedikit komentar tentang film ini, Film yang ditampilkan serentak tanggal 17 Desember kemarin.
Kenapa semua film Indonesia berbau porno??ada penyebabnya??, kalo mau berpikir sejenak, otak kita akan otomatis menghasut bahwa dalang dibalik ini adalah “Kebebasan”.Tak hayal emang gara-gara “Kebebasan” yang liar, kita sering terdegradasi moral, tergerus sopan, terinjak-injak nafsu syaitan dan ompong sendi-sendi keimanan.
Telak naluri kesopanan dan iman rontok ketika penonton rela menggadaikan KTP kita hanya demi menonton film ftelanjang berbalut seni hewani dan grafis pornois “Air Terjun Penganti”.
Malu??seharusnya malu, label “Muslim” di KTP tertukar dengan sebuah film syur yang menawarkan adegan Tamara Bleszynski yang hanya menggunakan bikini, dengan sutradara yang “Nama Besar”nya meraung-raung, memecahkan genderang telinga, menyeka nafas ketika berbicara “Seni dan tubuh wanita” padahal tak lebih dari “Dosa dan Neraka”.
Film Indonesia Semakin Horor dan “Telanjang”
Rumah produksi di Indonesia paling sering memproduksi film horor, film yang kelihatannya menjadi menu hampir semua bioskop dan televisi di tanah air.
Dan ironisnya sambutan masyarakat terhadap film-film tersebut memang cukup luar biasa, sehingga membuat rumah produksi ketagihan dalam memproduksi film yang bergenre sama.kenapa?
Padahal kalau kita lihat film-film tersebut tidak mengandung banyak pelajaran yang bermanfaat, bahkan totalitas keburukannya lebih banyak ketimbang yang lebih edukatif.
Seolah di Indonesia ini terdapat misteri yang tidak ada habisnya, hantu gentayangan ada dimana-mana dan film adegan syur bisa semudah kacang gorengan untuk ditonton.
Indonesia saat ini tidak butuh “hantu” dan bahenolan dan aksi syur aksi “aktris bom seks” tapi Indonesia butuh pencerahan dan solusi dalam setiap masalah yang membelitnya.
Seharusnya rumah produksi film bisa ikut memberikan pencerahan kepada rakyat Indonesia lewat film-film produksinya bukan sekedar hiburan yang garing tapi sebuah tontonan yang bisa menghasilkan hikmah dan manfaat bagi penontonya.
Bukan hanya mengejar keuntungan dari film-filmnya semata akan tetapi menyajikan hasil proses kreatif dengan mempertimbangkan segala aspek yang bersentuhan langsung dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Jangan sampai demi keuntungan, penonton disuguhi film yang tidak berbobot dan membodohkan.
Dan lebih parah lagi, di antara film-film horor yang dipaksakan mengerikan tersebut, ada beberapa diantaranya yang menampilkan adegan yang tidak layak tonton. Akal sehat pasti menyatakan bahwa hal seperti itu tidak baik bagi kita. Dan itu tidak mencerdaskan rakyat Indonesia.
Apakah ini menggambarkan wajah bangsa kita yang semakin horor dan “telanjang”?
Disaat bangsa lain telah memikirkan hal-hal yang luar biasa, namun Indonesia masih sibuk mengurus hantu gentayangan yang telanjang.
Kebangkitan sinema nasional memang wajib didukung namun menciptakan film dengan cita rasa Indonesia bukan hanya sekedar cerita tentang hantu ditoilet yang seksi, melainkan menghasilkan produk hasil olah kreatif tersebut yang bisa “memamerkan” kecanggihan bangsa ini dari sisi teknologi maupun alur cerita yang bermanfaat.(voa-islam/arrahmah.com)