ANTALYA (Arrahmah.id) – Forum Diplomatik Antalya 2025 kembali menjadi sorotan setelah sejumlah tokoh internasional menyerukan penghentian agresi “Israel” terhadap Suriah serta mendesak pencabutan sanksi yang memperburuk krisis kemanusiaan di negara tersebut.
Dalam sesi khusus bertajuk “Suriah: Negara yang Berdamai dan Dibangun Kembali”, yang digelar Sabtu (12/4) di wilayah selatan Turki, para pembicara menegaskan bahwa kemajuan dalam penyelesaian konflik Suriah hanya bisa dicapai dengan mengakhiri kebijakan destruktif yang memperpanjang kekacauan.
Wakil Menteri Luar Negeri Turki, Nuh Yılmaz, menyampaikan bahwa untuk pertama kalinya dalam 14 tahun, rakyat Suriah memiliki harapan nyata. Ia merujuk pada survei terbaru yang menunjukkan bahwa 70% warga Suriah memandang masa depan dengan optimisme, dan 80% di antaranya menyatakan kepercayaan terhadap Presiden Suriah, Ahmad Asy-Syaraa.
Yılmaz juga menekankan bahwa pertemuan teknis antara delegasi Turki dan “Israel” di Azerbaijan bukanlah bentuk normalisasi hubungan, melainkan sekadar upaya menghindari bentrokan di wilayah udara Suriah. “Tidak mungkin ada pembicaraan normalisasi selama genosida di Gaza masih berlangsung,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia memperingatkan bahwa “Israel” berupaya menciptakan kekacauan di Suriah sebagai dalih untuk mempertahankan keberadaan militernya, dengan menargetkan pusat-pusat keamanan. Ia menambahkan bahwa kelompok-kelompok seperti ISIS dan sel-sel tidurnya bisa saja dimanfaatkan sebagai pembenaran baru untuk intervensi asing.
Dalam kesempatan yang sama, utusan khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, mengingatkan bahwa “Israel sedang bermain api”, dan bahwa serangan-serangannya mengancam stabilitas regional. Ia menekankan pentingnya komitmen Presiden Asy-Syaraa terhadap reformasi menyeluruh dan pembentukan pemerintahan inklusif. Pedersen juga menyerukan pencabutan atau setidaknya pelonggaran sanksi internasional yang berdampak pada sektor-sektor kemanusiaan seperti pangan, energi, dan perbankan.
Sementara itu, Profesor Jeffrey Sachs dari Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB menuduh Amerika Serikat, CIA, dan “Israel” sebagai aktor utama di balik ketidakstabilan di Suriah dan kawasan. “Perdamaian tidak akan pernah tercapai selama intervensi mereka terus berlangsung,” katanya.
Ia menambahkan bahwa “Israel” tidak akan mampu melancarkan perang sehari pun di Gaza tanpa dukungan penuh dari Washington, dan menyerukan pengakuan AS atas negara Palestina serta penghentian bantuan terhadap “Israel”.
Dari sisi kemanusiaan, Karl Skau, Wakil Direktur Program Pangan Dunia (WFP), mengungkapkan bahwa kondisi ketahanan pangan di Suriah semakin memburuk. Meski program tersebut mampu menjangkau tiga juta orang, keterbatasan dana membuat mereka hanya dapat membantu separuhnya. “Keamanan pangan adalah prasyarat mutlak bagi stabilitas,” ujarnya.
Peneliti Suriah, Ammar Kahf, juga menyoroti bahwa sanksi internasional menjadi salah satu hambatan utama bagi rakyat Suriah. Ia menyerukan reintegrasi Suriah secara regional dan mengakhiri status negara itu sebagai ajang konflik kekuatan besar. Kahf menegaskan bahwa serangan “Israel” adalah ancaman terbesar yang tidak bisa dihadapi Suriah sendirian, melainkan harus dilawan melalui sistem keamanan regional yang baru.
Forum Diplomatik Antalya keempat ini berlangsung pada 11–13 April dengan dihadiri para kepala negara, menteri luar negeri, dan pejabat tinggi dari berbagai belahan dunia. Acara ini mendapat liputan luas, termasuk dari kantor berita Anadolu yang menjadi mitra media global forum tersebut.
(Samirmusa/arrahmah.id)