JAKARTA (Arrahmah.com) – Forum Jurnalis Muslim (FORJIM) menilai langkah pemblokiran terhadap media Islam yang telah dilakukan untuk ketiga kalinya merupakan kemunduran dalam kemerdekaan pers. Padahal pasca reformasi, konstitusi telah membuka keran kemerdekaan pers secara lebar-lebar.
Diketahui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) kembali melakukan pemblokiran terhadap sejumlah media daring yang selama ini dikenal masyarakat sebagai media online Islam. Dari 11 media daring yang diblokir pada akhir Desember 2016, nama voa-islam.com, nahimunkar.com, kiblat.net dan islampos.com, adalah sejumlah nama media Islam yang selama ini menjadi rujukan sebagian besar umat Islam Indonesia.
“Tindakan ini bisa dikatakan inkonstitusional, karena melanggar UUD 1945 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat, maupun UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi sebagai warga negara,” ungkap Sekretaris Umum FORJIM Muhammad Shodiq Ramadhan, dalam rilisnya, Selasa sore (3/1/2017).
Selain bertentangan dengan konstitusi, menurut Shodiq, langkah pemblokiran itu juga dinilainya sangat kental dengan nuansa politis. Diketahui, sebagian besar dari media yang diblokir adah media-media yang selama ini selalu kritis dengan kebijakan pemerintah.
“Termasuk media-media inilah yang selama ini menjadi corong perjuangan umat Islam di Jakarta untuk menolak pemimpin non-Muslim. Mereka yang merasa di pihak yang berseberangan tentu merasa gerah,” tambah Shodiq.
Mengenai tudingan sejumlah kalangan yang menyebutkan bila media-media yang diblokir ini bukanlah merupakan produk pers, Shodiq membantahnya. Dia meminta agar kalangan-kalangan yang mengatakan hal itu dalam melihat sebuah media tidak hanya dari sisi legal formal semata. Tetapi juga dari sisi substansial apakah media-media tersebut benar-benar menghadirkan informasi yang berdasarkan kaidah jurnalistik atau tidak.
“Secara substansi, media-media Islam itu dengan keterbatasan sumber daya dan sumber dana, tetap melakukan aktivitas jurnalisme. Mereka harus patuh dengan prinsip tabayun yang diajarkan dalam Alquran,” jelasnya.
Dia mengakui, media-media Islam itu sebagian besar memang belum memiliki syarat-syarat formal yang ditetapkan oleh Dewan Pers, seperti badan hukum dan kantor. Tetapi, lanjut Shodiq, mestinya hal itu tidak dijadikan sebagai alasan pemblokiran.
“Kalau soal kelemahan legal formal, mestinya media-media itu dibina dan didorong supaya segera melengkapi, bukan malah diblokir. Jadinya terkesan mencari-cari celah,” tandasnya.
Stigma radikal
Soal isu radikal yang disematkan pada media-media Islam, Shodiq mengatakan definisi radikal, radikalnya media Islam dimana dan siapa yang paling berwenang menilai sebuah situs radikal atau tidak hingga ini belum terjawab. Ia malah mempertanyakan efektifitas Tim Panel Kemkominfo yang pernah dibentuk, apakah tim itu berjalan secara efektif.
“Tahun lalu dibentuk Tim Panel untuk menilai sebuah situs itu radikal, sara atau yang lainnya sebagai pertimbangan pemblokiran. Tapi kita tidak tahu bagaimana nasibnya kini,” ungkapnya.
Soal isu radikal, Shodiq berpendapat hal itu hanyalah stigma dari kelompok-kelompok tertentu yang belakangan ini kalah dalam pertarungan opini di dunia maya.
(azmuttaqin/*/arrahmah.com)