WASHINGTON (Arrahmah.id) – Majalah Foreign Policy Amerika menyebut bahwa perang lama di Gaza telah berakhir dan digantikan dengan perang baru yang mengusung taktik serta tujuan berbeda dari pihak penjajah “Israel”.
Penulis artikel tersebut, jurnalis “Israel” David E. Rosenberg, menjelaskan bahwa sejak dimulainya kembali agresi militer pada Maret lalu, usai runtuhnya gencatan senjata Januari 2024, telah terjadi perubahan besar dalam pendekatan perang yang dilakukan oleh militer penjajah.
Ia menuturkan bahwa fase pertama perang, yang dimulai pada 7 Oktober 2023, memiliki tujuan militer yang lebih jelas seperti memulihkan efek gentar, membasmi pejuang perlawanan dari Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), dan membebaskan sandera. Namun dalam fase perang yang baru ini, arah dan niatnya telah berubah secara signifikan—baik dari sisi taktik pertempuran maupun tujuan politik yang mendasarinya.
Fase Pertama: Balas Dendam dan Populer
Menurut Rosenberg, perang pada tahap awal didorong oleh semangat balas dendam dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat “Israel”. Semua elemen politik di penjajah bersatu mendukung pemerintahan, dan pasukan cadangan dikerahkan secara besar-besaran. Namun seiring berjalannya waktu, harapan untuk membebaskan para sandera melalui tekanan militer mulai memudar, ditambah dengan meningkatnya kerugian sipil, kehancuran infrastruktur, dan krisis ekonomi yang semakin memperlemah dukungan publik.
Kembalinya perang pada Maret lalu menandai perubahan arah yang signifikan. Kepala Staf baru, Eyal Zamir, yang menggantikan Herzi Halevi, menerapkan strategi berbeda. Zamir berupaya menduduki wilayah lebih luas di Gaza untuk waktu yang lama, sambil mengontrol distribusi bantuan kemanusiaan guna memisahkan Hamas dari penduduk sipil, serta membentuk “kantong kemanusiaan” yang menampung warga sipil. Strategi ini menunjukkan pergeseran dari operasi kilat menjadi pendudukan lapangan jangka panjang, sesuatu yang tidak terjadi di fase awal.
Tujuan Politik dan Ideologis
Dari segi tujuan, perang ini juga mengalami transformasi. Jika sebelumnya ditujukan pada target-target militer yang dapat diukur, kini perang diarahkan pada ambisi politik dan ideologis yang diusung oleh kelompok sayap kanan ekstrem dalam pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Salah satu ambisi utamanya adalah membangun kembali permukiman Yahudi di Gaza. Pemerintah penjajah bahkan membentuk kantor khusus untuk memfasilitasi “migrasi sukarela” warga Palestina dari Gaza ke negara ketiga.
Menteri Keuangan penjajah, Bezalel Smotrich, secara terbuka menyatakan bahwa tujuannya adalah mengosongkan Gaza dari penduduknya dalam waktu satu tahun. Rencana ini juga mendapatkan restu diam-diam dari Netanyahu, yang dinilai menjadikan kelanjutan perang sebagai sarana untuk menjaga stabilitas koalisi pemerintahannya dan mempertahankan kekuasaannya secara politik.
Indikasi perubahan tujuan ini terlihat dari pernyataan Netanyahu bahwa “negosiasi akan dilakukan di bawah hujan tembakan,” serta jawabannya yang tidak jelas atas pertanyaan para menteri tentang masa depan Gaza. Hal ini mencerminkan absennya visi politik pasca-perang dan menunjukkan bagaimana kekuatan sayap kanan mendikte arah kebijakan.
Zamir Membuka Jalan
Meskipun Zamir tidak secara terbuka mengusung retorika agama yang dianut sayap kanan, namun taktik militernya secara tidak langsung membuka jalan bagi proyek kolonisasi, terutama di tengah memburuknya kondisi kehidupan di Gaza yang mendorong banyak warga Palestina untuk hengkang.
Kesimpulannya, perang kedua ini bukan sekadar kelanjutan dari yang pertama, tetapi merupakan fase baru sepenuhnya. Ia berbeda dalam taktik—dari operasi cepat menjadi pendudukan bertahap—dan dalam tujuan, dari memukul Hamas menjadi membentuk ulang masa depan Gaza secara demografis dan politis, sesuai ambisi ideologis kaum ekstremis dalam pemerintahan penjajah.
(Samirmusa/arrahmah.id)