KOLOMBO (Arrahmah.com) – Sri Lanka mengusir lebih dari 600 warga negara asing, termasuk sekitar 200 ulama, sejak bom bunuh diri Paskah yang disalahkan pada kelompok lokal, Jama’at Tauhid Nasional (NTJ), kata seorang menteri kepada AFP, Minggu (5/5/2010.
Menteri Dalam Negeri Vajira Abeywardena menyatakan para ulama telah memasuki negara itu secara legal, tetapi di tengah tindakan keras keamanan setelah serangan-serangan itu, mereka ditemukan telah memperpanjang visa mereka, yang dikenakan denda dan mereka diusir dari Sri Lanka.
“Mempertimbangkan situasi saat ini di negara ini, kami telah meninjau sistem visa dan mengambil keputusan untuk memperketat pembatasan visa bagi guru agama,” ungkap Abeywardena.
“Dari mereka yang dikirim, sekitar 200 adalah penceramah.”
Pemboman hari Minggu Paskah yang menewaskan 257 orang dan melukai hampir 500 orang, diklaim didalangi oleh seorang ulama setempat yang diketahui telah melakukan perjalanan ke negara tetangga India dan telah melakukan kontak dengan gerilyawan di sana.
Menteri tidak memberikan kewarganegaraan dari mereka yang telah diusir, tetapi polisi mengatakan banyak orang asing yang telah memperpanjang visa mereka sejak serangan Paskah berasal dari Bangladesh, India, Maladewa, dan Pakistan.
“Ada lembaga-lembaga keagamaan yang telah menurunkan pengkhotbah asing selama beberapa dekade,” lanjut Abeywardena.
“Kami tidak memiliki masalah dengan mereka, tetapi ada beberapa yang menjamur baru-baru ini. Kami akan lebih memperhatikan mereka.”
Sang menteri mengatakan pemerintah sedang merombak kebijakan visa negara itu menyusul kekhawatiran bahwa ulama asing dapat meradikalisasi penduduk setempat untuk mengulangi pemboman bunuh diri 21 April, yang menargetkan tiga gereja Kristen dan tiga hotel mewah.
Sri Lanka telah memberlakukan keadaan darurat sejak serangan itu dan memberikan kekuasaan luas kepada pasukan dan polisi untuk menangkap dan menahan para tersangka untuk waktu yang lama.
Pencarian dari rumah ke rumah sedang dilakukan di seluruh negeri untuk mencari bahan peledak dan bahan propaganda “ekstrimisme”. (Althaf/arrahmah.com)