JAKARTA (Arrahmah.com) – Tunjangan gaji pejabat daerah yang berlebihan disinyalir merupakan bentuk korupsi terselubung. Para pejabat tersebut menggerogoti keuangan negara yang bersembunyi di balik Perda (peraturan daerah) yang mengatur tentang tunjangan berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).
“Mereka menggerogoti keuangan negara tanpa takut karena dilindungi peraturan,” kata Koordinator Investigasi dan Advokasi FORUM Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Ucok Sky Khadafi pada Jumat (8/7/2011).
Ucon menilai, yang terjadi adalah PAD yang didapat suatu pemerintah daerah (Pemda) langsung dialokasikan kepada tunjangan pejabat dan PNS. Padahal, seharusnya PAD yang didapat itu langsung dialokasikan kepada pelayanan dasar masyarakat seperti layanan kesehatan dan pendidikan terlebih dahulu.
“Intinya, berbuat dulu untuk melayani masyarakat baru mendapatkan tunjangan, selama ini kan terbalik, dapat tunjangan dulu pelayanan dasar masyarakatnya dilupakan,” kata dia.
Seperti diketahui, di beberapa pemerintah daerah, banyak pejabat yang membawa pulang gaji puluhan juta rupiah karena banyaknya tunjangan yang mereka terima. Nilai tunjangan itu tidak mempertimbangkan PAD.
Misalnya, Provinsi Banten yang PAD-nya hanya Rp 1,6 Triliun member tunjangan pejabat eselon I sebesar Rp 50 juta. Angka ini jauh di atas tunjangan pejabat Jawa Timur yang PAD-nya mencapai Rp 5 triliun lebih.
Contoh lainnya, pejabat di Sulawesi Utara yang PAD-nya Rp 350 miliar menikmati tunjangan jauh lebih tinggi dibandingkan pejabat di Jawa Timur. Demikian pula pejabat daerah di Sulawesi Tengah yang PAD-nya Rp 278 miliar.
Sementara itu, Staf khusus Wakil Presiden Bidang Otonomi Daerah dan Kesra, Lutfi A Mutti, mengatakan pemerintah akan menunda pengangkatan PNS mulai tahun depan. Ini terkait besarnya anggaran untuk mengongkosi PNS. Besaran anggaran gaji PNS menekan APBN dan APBD sehingga pembangunan di daerah tersendat.
Namun pernyataan Lutfi ini mendapat tanggapan beragam dan kebanyakan bernada kecewa terutama dari kalangan Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) yang berstatus PNS. Pasalnya, di sejumlah daerah yang sulit terjangkau, keberadaan PLKB cukup dibutuhkan sementara jumlah mereka tidak seimbang dengan jumlah wilayah yang harus mereka jangkau.
Rahapusa, salah seorang PLKB yang bertugas di Kecamatan Seko, Luwu Utara sebetulnya berharap ada penambahan tenaga PLKB di wilayah tugasnya yang cukup luas. Rahapusa menangani 12 desa di wilayah Seko dimana 12 desa tersebut lokasinya berjauhan.
Karena itu, Rahapusa cukup kecewa mendengar jika pengangkatan PNS akan ditiadakan untuk sementara. Moratorium tersebut, sebetulnya ada pengecualian untuk tenaga guru dan medis. Namun PLKB tidak termasuk dalam pengecualian itu.
‘’Yah, apa boleh buat, berarti kerja saya masih akan terus sendirian. Kalau begitu, kami minta pemerintah agar menambahkan biaya operasional kami di lapangan saja,” ujar Rahapusa yang hanya mendapat gaji Rp 750.000 per bulan itu. (rep/arrahmah.com)