Oleh: Muh. Nursalim
(Arrahmah.com) – Fitnah itu artinya ujian. Sunnatullahnya orang beriman itu difitnah (diuji). Bentuknya bermacam ragam. Guna menakar tingkat keimanan si hamba. Sebagaimana disebut dalam firman Allah berikut:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ [العنكبوت/2، 3]
Apakah manusia mengira dibiarkan saja berkata, “kami telah beriman ” padahal dirinya belum diuji. Dan sungguh telah kami uji orang-orang sebelum mereka sehingga Kami ketahui siapa imannya yang benar dan siapa yang bohong. (Al Ankabut: 2-3)
Berikut ini beberapa ujian yang pernah dialami oleh para ulama. Terutama empat ulama imam mazhab dalam Islam. Mereka Adalah imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syaifi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.
Imam Abu Hanifah (81-150 H) diangkat menjadi kepala keuangan negara oleh gubernur Irak, Yazid ibn Amr. Tetapi beliau menolak. Kemudian diangkat menjadi sekretaris negara. Beliau juga tidak menerima jabatan itu. Dan terakhir diangkat menjadi kepala pengadilan di Kufah. Beliau juga menolak.
Karena sikap tersebut sang Imam dijebloskan ke penjara dan dicambuk 110 kali. Setiap hari mendapat sepuluh kali sabetan cemeti. Hingga genap 110 kali dan beliau tetap tidak bersedia menerima jabatan itu.
Politik berubah. Kekuasaan bani Umayah berganti ke bani Abasyiah. Dan ibukota berpindah dari Damaskus ke Baghdad. Tetapi nasib Imam Abu Hanifah sama saja. Ia tetap dipenjara.
Saat itu yang menjadi khalifah adalah Abu Ja’far Al Mansur. Sang ulama dipanggil baginda ke istana. Diminta agar menjadi qadhi (hakim). Tetapi beliau tetap saja menolak jabatan tersebut. Maka cambukan terus diderakan kepadanya. Setiap hari.
Sang khalifah habis kesabarannya. Lalu imam Abu Hanifah kembali dipanggil ke istana. Kepadanya disuguhkan minuman yang sudah dibubuhi racun. Beliau dipaksa minum air mematikan itu. Usai minum dikembalikan ke penjara. Tak lama kemudian jatuh sakit dan wafat. Saat itu umurnya 70 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Imam Malik (93-179 H) adalah ulama Madinah. Beliau mufti di kota Nabi tersebut. Banyak murid berdatangan dari berbagai penjuru negeri. Salah satunya adalah Imam Syafi’i yang datang dari kota Makah.
Karangan beliau yang terkenal adalah Al Muwatha. Kitab ini berupa kumpulan hadis terbaik di zamannya. Sang ulama hafal 100 ribu hadis beserta sanadnya. Kemudian dipilah-pilah diambil yang sahih 10 ribu. Lalu dipilih lagi yang paling sahih 5 ribu. Dan terakhir diseleksi kembali yang benar-benar sahih menjadi 500 hadis.
Kata beliau, “ Aku suguhkan kitab itu kepada 70 ulama Madinah. Ternyata semua setuju (waathaani) dengan isi karanganku. Lalu aku namai kitab itu dengan al muwatha”.
Salah satu fatwa imam Malik adalah, bahwa talak itu tidak sah apabila dipaksa. Juga sumpah itu tidak sah apabila dipaksa. Fatwa ini ternyata mengundang kemarahan gubernur Madinah yaitu Ja’far bin Muhammad. Si penguasa meminta agar sang imam menarik fatwanya itu.
Imam Malik tidak bersedia merefisi fatwanya. Maka ia dihukum cambuk 70 kali dan diarak keliling kota Madinah. Dipermalukan di muka masyarakat layaknya seorang penjahat. Tetapi fitnah seperti itu tidak menyurutkannya berkata yang benar. Sampai wafat beliau tidak pernah menarik fatwanya.
Imam Syafi’i (150-204 H) lain lagi ceritanya. Beliau diboyong wali negeri Yaman ke San’a, ibu kota propinsi tersebut. Sang ulama diangkat menjadi setia usaha di wilayah itu. Menjadi rujukan fatwa dan disayangi masyarakat. Tetapi ternyata ada saja orang yang dengki kepadanya. Kemudian muncullah fitnah.
Beliau dilaporkan kepada khalifah Harun Al Rasyid. Bahwa dirinya berkomplot dengan pemimpin pemberontak dari golongan Syi’ah. Membuat makar. Maka atas perintah baginda komplotan itu agar dipenjara. Bahkan tidak cukup dipenjara. Mereka diperintahkan agar dirantai dan dikirim ke Baghdad menghadap baginda khalifah.
Satu persatu komplotan itu diperiksa. Setelah selesai mereka langsung dieksekusi. Dipancung lehernya. Tinggallah terakhir giliran imam Syafi’i. Mengetahui nasib para pemberontak syi’ah itu imam Syafi’i tidak gentar. Beliau yang terkenal dengan tutur bahasa yang indah dan logika yang cerdik berhasil meyakinkan khalifah.
“Hai orang-orang yang beriman. Jika datang orang durhaka kepada engkau dengan membawa berita maka hendaklah engkau periksa dengan teliti kebenaran berita itu”. Demikian beliau mengawali pembelaannya.
“Amat jauh semua tuduhan itu daripada saya. Dustalah orang yang membawa berita kepada baginda itu ya Amirul Mukminin ! Sesungguhnya saya ini adalah yang menjaga kehoramtan Islam dan membangun bangsa. Dan cukuplah kedua perkara ini menjadi jalan dan perantaraan bagi baginda untuk mengambil tindakan yang benar. Bagindalah yang lebih berhak memegang adab tuntutan Kitab Allah, karena baginda putera paman Rasulullah saw yang sangat membela agamanya dan mempertahankan pendiriannya sepanjang pimpinan Allah”. Imam Syafi’i melanjutkan.
Akhirnya beliau selamat dari pancungan algojo. Sempat dipenjara dan dirantai besi kakinya. Diarak dari Yaman ke Baghdad. Tetapi akhirnya dibebaskan. Bahkan kemudian menjadi orang dekat khalifah Harun Al Rasyid.
Adapun imam Ahmad bin Hambal (164-241 H) nasibnya sangat memilukan. Saat itu khalifah yang berkuasa adalah Al Makmun. Di Baghdad ada seorang alim yang bernama Ahmad ibn Abi Daud, seorang ahli kalam aliran mu’tazilah. Ia sangat licin bila berbicara dan pandai meyakinkan lawannya.
Mu’tazilah meyakini bahwa alqur’an adalah makhluk. Dengan kepandaian diplomasinya ia berhasil meyakinkan khalifah atas keyakinan sesat tersebut. Bahkan pendapat ini kemudian menjadi mazhab negara dan dipaksakan kepada semua rakyat. Terjadilah peristiwa yang terkenal dengan mihnah. Yaitu, kaum muslimin ditanyai satu persatu tentang keyakinannya perihal alqur’an. Bila mereka membenarkan alqur’an itu makhluk ia selamat. Jika berkata lain maka hukuman cambuk sudah menanti.
Peristiwa mihnah ini juga mengenai Imam Ahmad Bin Hambal. Beliau hanya menjawab singkat, “Alqur’an itu kalamullah dan aku tidak akan menambah daripada itu”. Ditany berkali-kali, jawabannya tetap sama. “Alqur’an itu kalamullah dan aku tidak akan menambah daripada itu”
Keteguhan sang imam membuat murka khalifah, maka diapaun dicambuk 29 kali. Diriwayatkan, saking kerasnya cambukan, sekujur tubuh beliau berlumuran darah. Tetapi luka-luka yang menganga itu tidak menggoyahkan imannya.
Khalifah Almakmun mati. Ia mewasiatkan sesuatu yang amat buruk. Yaitu agar penyiksaan kepada imam Ahmad bin Hambal diteruskan jika ia tetap pada pendiriannya. Maka penggantinya yaitu khalifah Al Muktashim terus melakukan aniaya seperti yang dilakukan bapaknya.
Al Muktashim mati diganti Al Wathiq. Celakanya khalifah baru inipun tetap menjalankan wasiat buruk kakeknya. Menyiksa ulama yang tidak berpendirian alqur’an itu makhluk. Begitulah, tiga generasi melakukan mihnah yang mengerikan. Dan imam Ahmad bin Hambal adalah satu-satunya ulama yang teguh. Tidak mengikuti paham sesat yang dijadikan mazhab negara.
Yang menggelitik dari kisah fitnah-fitnah diatas, mengapa para penguasa sangat “peduli” dengan para ulama ? Analis politik mungkin akan mengatakan begini.
Ulama itu pusat pemimpin informal. Mereka itu sangat ditaati oleh umat. Apalagi ke empat ulama besar di atas benar-benar alim dan menjadi kiblat kaum muslimin. Ijtihadnya menjadi rujukan dan karyanya menjadi bahan kajian sepanjang masa.
Penguasa politik membutuhkan legitimasi agama. Bahwa mereka itu sah secara syari’ah. Personifikasi agama adalah para ulama. Karena itu walaupun menjadi khalifah tidak diperoleh lewat pemilu, para penguasa menilai bahwa kedudukan ulama sangat diperlukan di sisi istana. Apalagi hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Maka ulama menjadi sangat penting keberadaannya.
Tetapi pada saat yang sama ke empat ulama di atas memiliki sikap wara’. Tidak berminat menjadi bejabat karena takut ancaman Allah jika tidak dapat berbuat adil. Atau mungkin mereka sudah tahu kebaradaannya hanya dimanfaatkan oleh penguasa. Mereka tidak mau terkooptasi dengan kekuasaan yang nantinya akan membatasi dirinya dalam mengeluarkan fatwa.
Gayung tidak bersambut. Maka terjadilah benturan. Para ulama memilih dibully dan diintimidasi daripada mengikuti kemauan penguasa. Padahal kalau mau nuruti mereka, kemewahan dan kenyamanan hidup ada di depan mata. Wallahu a’lam.
(*/arrahmah.com)