Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Belakangan ini istilah thrifting menjadi populer di masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Thrifting sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan kegiatan berbelanja barang-barang bekas yang masih memiliki kualitas bagus seperti, pakaian, tas, sepatu, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, thrifting akrab disebut sebagai awul-awul dan telah ada sejak lama. Namun, saat ini thrifting kembali menjadi tren akibat kemudahan akses internet yang mendorong perkembangan penjualan barang bekas online.
Kepopuleran penjualan barang bekas rupanya mengganggu utilisasi industri. Apalagi momentum penjualan thrifting ini mendekati lebaran. Biasanya, barang bekas impor dijual dengan harga murah. Sementara baju buatan industri IKM tidak bisa dijual dengan harga kompetitif, karena merupakan produk baru. Seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Reni Yanita, bahwa penjualan barang bekas impor mengganggu Industri Kecil Menengah (IKM). Sebab IKM ini mempunyai modal dan keuntungan terbatas, tetapi harus bersaing dengan thrifting yang menjual dengan harga murah.
Menurut Reni, pemerintah saat ini tengah fokus memusnahkan barang bekas impor. Kementerian Perdagangan pun telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Dalam pasal 2 Ayat 3 tertulis, barang yang dilarang impor salah satunya, yakni kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. (Republika.co.id, 17 Maret 2023)
Presiden Joko Widodo pun angkat bicara terkait maraknya impor pakaian bekas. Menurutnya, hal tersebut mengganggu industri tekstil dalam negeri. Bahkan ia memerintahkan jajarannya untuk mengusut akar permasalahan dari deras masuknya barang bekas ke Indonesia. (Republika.co.id, 19 Maret 2023)
Terkait maraknya barang-barang bekas salah satunya pakaian yang masuk ke Indonesia, sebenarnya sudah sejak lama terjadi. Fakta tersebut menunjukkan, tingginya masyarakat akan kebutuhan suply pakaian bermerek dengan harga yang murah. Hal ini disebabkan kebanyakan masyarakat, terutama kawula muda memiliki gaya hidup hedon dan brand minded
Tak dapat dimungkiri, kemiskinan di negeri ini memperlihatkan juga kebutuhan pakaian dengan harga murah. Karena tak semua masyarakat mampu membelinya. Fenomena thrifting yang diminati, justru dipersoalkan oleh orang nomor satu di negeri ini. Dengan alasan, dapat mematikan industri tekstil dalam negeri dan mengganggu UMKM.
Menjadi pertanyaan besar, apakah pelarangan ini merupakan bentuk pembelaan pada importir kain yang tercatat hanya segelintir orang atau importir barang-barang bermerek? Anehnya, yang dipersoalkan hanya yang ilegal saja. Padahal, praktik impor barang bekas sudah lama terjadi. Meskipun sifatnya ilegal, bahkan bisa dilihat berseliweran dijual secara terbuka di pasar tradisional atau toko online. Sedangkan masuknya penjualan kain dari Cina dalam waktu terakhir sudah meningkat tajam.
Pelarangan bisnis thrifting ini, dinilai oleh Suroto selaku Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) sifatnya reaktif. Di mana, hal tersebut dilakukan ketika industri tekstil kita mati. Sikap reaktif pemerintah ini dinilai mengandung dua makna, pertama pemerintah memang ingin serius mengembangkan industri tekstil dalam negeri. Atau kedua, mengakomodir keluhan importir kain. Tentu saja, hal ini harus diwaspadai. Sebab di belakangnya ada permainan importir kain yang sudah memonopoli. (tempo.co.id, 18 Maret 2023)
Berbagai kondisi di atas, memperlihatkan sesungguhnya tidak ada upaya dalam penyelesaian sesuai dengan akar permasalahannya. Begitu juga problem kemiskinan yang semakin tinggi. Justru yang tampak pencitraan dan kebijakan yang membela pengusaha.
Inilah wajah buram Kapitalisme. Di mana sistem rusak ini lebih mengedepankan para pemodal yang memiliki kantong tebal. Rakyat yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya, justru diabaikan. Padahal menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi setiap kebutuhan dasar rakyat, salah satunya pakaian. Namun dalam sistem ini, hal tersebut tak berlaku. Negara hanya sebatas regulator yang menjadi jembatan penghubung antara pengusaha dan rakyat. Walhasil, problem yang ada di tengah rakyat tidak pernah tuntas.
Berbeda dengan Islam. Aturan yang lahir dari Allah Ta’ala mengatur manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dengan sistem sempurna ini, seluruh permasalahan akan terselesaikan hingga tuntas. Begitu juga dengan pemimpin dalam Islam, ia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap seluruh kebutuhan rakyat tanpa terkecuali.
Kebutuhan asasi rakyat seperti, sandang, pangan, dan papan, merupakan kewajiban negara dalam menjamin pemenuhannya. Sebab dalam Islam, pemimpin adalah pelindung rakyat dan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pemenuhan kebutuhan pokok individu dalam bentuk sandang, pangan, dan papan, negara memberikan jaminan dalam bentuk mekanisme tidak langsung. Artinya, negara berusaha mendorong dan memfasilitasi setiap individu untuk bekerja terlebih dulu secara mandiri sesuai dengan kemampuan. Namun, jika dengan dorongan dan fasilitas yang disediakan oleh negara mereka belum juga mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, maka di sinilah peran negara secara langsung memberikan jaminan kepada individu tersebut.
Sementara pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam bentuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individual berupa barang (pangan, sandang, dan papan) yang dijamin negara melalui mekanisme yang bertahap, maka jaminan pemenuhan masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan ditempuh negara dengan mekanisme langsung, berlaku bagi seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim, baik kaya maupun miskin. Semua mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama.
Adapun membeli barang bekas pada level individu sebenarnya tidaklah menjadi persoalan, karena tidak ada larangan dalam Islam. Namun, pada level masyarakat dan negara tentu menjadi satu persoalan. Sebab munculnya fenomena thrifting tidak lepas dari budaya konsumtif yang bukan ciri khas masyarakat Islam.
Apalagi Rasulullah shallalahu alaihi wasallam mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana. Muslim memandang berpakaian bukan untuk flexing (pamer), melainkan sebagai wasilah untuk dirinya bertakwa. Terlebih tinggi rendahnya derajat seseorang bukan dilihat dari penampilannya, melainkan dari ketakwaannya. Masyarakat Islam akan lebih gemar bersedekah daripada berbelanja barang mewah.
Walaupun berbelanja untuk memuaskan diri, boleh-boleh saja. Akan tetapi, sebagai seorang muslim, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak hedonis, sebab ia terikat dengan hukum syara. Begitu juga kebijakan negara berdasarkan pada kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan segelintir orang.
Dengan demikian, ketika Islam dan seperangkat aturannya diterapkan dalam kehidupan, negara akan menjaminnya. Pemimpinnya akan membela kepentingan rakyat. Sehingga seluruh rakyat akan terpenuhi hak asasinya dan kehidupan sejahtera di bawah naungan Islam akan terwujud nyata.
Wallahu a’lam bish shawab.