(Arrahmah.com) – Beberapa waktu belakangan ini di kalangan sebagian aktifis Islam yang memperjuangkan tauhid dan penegakan syariat Islam muncul fenomena yang cukup menyedihkan seputar masalah takfir. Fenomena tersebut adalah sikap mencaci, melemparkan tuduhan, dan memusuhi sesama aktifis Islam ‘hanya’ karena berbeda pemahaman dalam sebuah masalah; apakah para anshar thaghut dikafirkan secara umum sebagai kelompok murtad ataukah dikafirkan secara personil per individunya?
Dalam persoalan yang tengah hangat diperdebatkan oleh para aktifis Islam tersebut, sebenarnya ada dua persoalan pokok yang disepakati oleh semua aktifis Islam, dan ada persoalan cabang yang diperdebatkan oleh para aktifis.
Persoalan Pokok Pertama yang Disepakati
Sudah kita ketahui bersama, umat Islam wajib menjadikan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW (syariat Islam) sebagai pedoman hidup dalam semua bidang kehidupan; akidah, ibadah, mu’amalah, dan akhlak. Dalam semua level; pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa-negara. Hal itu adalah wujud dari mengeesakan Allah (tauhid) dalam aspek rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa sifat. Juga wujud dari menjadikan Rasulullah SAW sebagai satu-satunya pemberi keputusan dalam perkara kaum muslimin (tauhid mutaba’ah).
Oleh karenanya, semua bentuk filsafat, isme, paham, way of life, hukum, undang-undang, peraturan dan adat istiadat yang menyelisihi Al-Qur’an dan as-sunnah (syariat Islam) adalah hukum jahiliyah atau hukum thaghut, wajib ditolak. Menerapkan hukum jahiliyah atau hukum thaghut adalah sebuah kesyirikan besar (syirik tasyri’ atau syirik tha’at) dan kekafiran besar yang menyebabkan pelakunya murtad, jika ia semula adalah seorang muslim. Penguasa dan pemerintah yang menerapkan hukum jahiliyah atau hukum thaghut, dalam pandangan Islam, adalah penguasa Jahiliyah, penguasa thaghut, dan penguasa kafir murtad (jika semula ia adalah penguasa atau pemerintah muslim).
Dalam kasus pemerintah dan penguasa di negeri-negeri kaum muslimin dewasa ini, hampir semua penguasa dan pemerintah yang berkuasa tersebut berstatus pemerintah thaghut dan penguasa jahiliyah. Hal itu karena mereka melakukan beragam kekafiran besar dan kesyirikan besar, seperti:
- Menganut dan menerapkan sistem thaghut pluralisme dalam bidang ideologi (akidah)
- Menganut dan menerapkan sistem thaghut demokrasi di bidang pemerintahan (politik)
- Menganut dan menerapkan sistem thaghut sekulerisme di bidang pemerintahan (politik)
- Menganut dan menerapkan sistem thaghut kapitalisme atau sosialisme di bidang ekonomi
- Menganut dan menerapkan sistem thaghut liberalisme di bidang ideologi, politik, ekonomi, dan sosial-budaya
- Menganut dan menerapkan sistem thaghut ‘terorisme’ (perang melawan Islam dan kaum muslimin) di bidang militer.
Persoalan Pokok Kedua yang Disepakati
Ketika sebuah pemerintahan atau penguasa muslim melakukan sebuah kekafiran besar atau kesyirikan besar yang menyebabkannya murtad (dalam kasus ini adalah menerapkan sistem/hukum thaghut), maka para ulama Islam bersepakat bahwa:
- Legalitas kepemimpinan dan pemerintahannya telah gugur.
- Jika ia tidak mau bertaubat dan kembali kepada Islam, maka rakyat wajib melengserkannya dan menggantikannya dengan penguasa/pemerintah muslim yang menegakkan syariat Islam. Jika memungkinkan, pelengseran dilakukan dengan cara damai.
- Jika cara damai tidak memungkinkan, maka rakyat wajib mengangkat senjata untuk melengserkannya dan menegakkan pemerintahan Islam yang menerapkan syariat Islam.
- Jenis jihad melawan pemerintahan thaghut yang murtad tersebut adalah jihad difa’i (jihad defensif) yang hukumnya fardhu ‘ain atas setiap muslim sesuai kadar kemampuan masing-masing.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ ulama atas hal ini telah diuraikan panjang lebar oleh para ulama dalam kitab-kitab akidah, fiqih, dan siyasah syar’iyah. Ijma’ tentang hal itu, di antaranya disebutkan oleh qadhi Iyadh bin Musa al-Yahshabi, an-Nawawi, dan Ibnu Hajar al-Asqalani.
Persoalan yang Diperselisihkan
Sudah diketahui bersama bahwa kufur kepada taghut adalah bagian tak terpisahkan dari iman kepada Allah SWT. Sebagai bagian dari kufur kepada taghut adalah mengkufuri para pembela taghut (anshar taghut). Sampai masalah ini, semua aktifis Islam yang memperjuangkan tauhid dan penegakan syariat Islam (baca: muwahhidun, mujahidun) sepakat.
Dalam praktik selanjutnya, apakah semua anshar taghut (biasanya lantas dimaknai secara sempit oleh sebagian aktifis Islam: polisi, tentara, dan intelijen pembela taghut) dikafirkan secara ta’yin per-individunya atau dikafirkan secara umum sebagai thaifah riddah (kelompok murtad) tanpa memastikan kekafiran setiap individunya, terjadi PERBEDAAN PENDAPAT di kalangan ulama muwahhidun mujahidun. Masing-masing kelompok memiliki kajian dalil-dalil dan kajian realita lapangan.
Sebagai sebuah masalah kontemporer yang belum pernah terjadi di zaman salaf (biasa disebut perkara nazilah), amat wajar apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama muwahhidun mujahidun dalam masalah para pembela penguasa murtad zaman sekarang. Bukan karena tidak memahami dalil syar’i, melainkan dalam menerapkan dalil syar’i tersebut terhadap realita dengan berbagai aspek dan kondisinya. Dan kadar pengetahuan yang mendalam terhadap realita tentu berbeda-beda antar individu ulama muwahhid mujahid, sehingga sangat wajar apabila melahirkan perbedaan pendapat.
Hal yang tidak wajar adalah apabila sebagian kelompok hanya mengenal satu pendapat saja dengan hujah-hujah dan kajian realitanya, tanpa memahami pendapat kelompok yang lain dengan hujah-hujah dan kajian realitanya. Pengetahuannya terhadap satu pendapat tanpa mengetahui pendapat yang menyelisihinya tersebut lantas menimbulkan salah persepsi; pendapat yang ia ketahui dan ia pegangi tersebut diyakininya sebagai satu-satunya pendapat yang ada (menyangka telah ada kesepakatan ulama), pendapat tersebut adalah pendapat yang benar, dan pendapat lainnya yang menyelisihinya dianggap tidak mu’tabar (tidak diakui), bahkan divonis pasti salah, bid’ah dan sesat.
Dari situ, sebagian aktifis Islam melemparkan tuduhan-tuduhan ‘Murjiah’, ‘Jahmiyah’, ‘minimal fasiq’, ‘kafir‘, ‘melemahkan dakwah tauhid dan perlawanan tehadap penguasa thaghut’ dan bahkan ‘terkena deradikalisasi BNPT-Densus 88′ terhadap para ustadz dan ikhwah muwahhidun mujahidun yang tidak mengikuti pendapat ‘takfir secara ta’yin terhadap semua polisi, tentara, dan intelijen taghut (anshar taghut)’.
Kesalahan para ustadz dan ikhwah muwahhidun mujahidun tersebut menurut sebagian mereka adalah ‘mengkafirkan secara umum taghut dan ansharnya sebagai kelompok riddah, tanpa mengkafirkan masing-masing indivivu anshar taghut secara ta’yin‘. ‘Dosa’ tersebut seringkali diungkapkan dengan bahasa keren lainnya ‘tidak mengkafirkan atau ragu-ragu mengkafirkan orang-orang kafir/musyrik‘.
Padahal para aktifis Islam yang dituduh tersebut dikenal dengan kebersihan akidahnya, kebenaran ibadah mahdhahnya, kemuliaan akhlaknya, kelurusan manhaj perjuangannya, bukti nyata keikutsertaannya dalam bidang dakwah, tarbiyah, i’dad dan jihad fi sabilillah, bahkan kesabaran mereka dalam menjalani beban dakwah dan jihad.
Pada sisi yang berbeda, sebagian aktifis Islam memberikan reaksi yang tidak kalah sengit dan buruknya. Mereka balik menuduh pihak yang berbeda pandangan dengannya sebagai kelompok ‘takfiriyyun’ atau ‘Khawarij’ atau ‘mutasyaddidun’ (kelompok ekstrim). Padahal para ustadz dan ikhwah muwahhidun mujahidun yang dituduh ‘takfiriyyun’ dan ‘Khawarij’ tersebut juga telah dikenal luas dengan kebersihan akidahnya, kebenaran ibadah mahdhahnya, kemuliaan akhlaknya, kelurusan manhaj perjuangannya, bukti nyata keikutsertaannya dalam bidang dakwah, tarbiyah, i’dad dan jihad fi sabilillah, bahkan kesabaran mereka dalam menjalani beban dakwah dan jihad.
Jika kita mau mengkaji lebih jauh permasalahan takfir terhadap anshar taghut, setidaknya kita akan mengetahui dua pendapat yang berkembang di kalangan ulama muwahhidun mujahidun internasional.
Kelompok Pertama
Kelompok yang mengkafirkan secara ta’yin anshar taghut (terutama polisi, tentara, dan intelijen pemerintahan thaghut). Di antara ulama yang mengikuti pendapat ini adalah Jama’ah Tauhid wal Jihad di Gaza (Palestina) dan beberapa ulama seperti:
-
Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz al-Mishri hafizhahullah wa fakkallahu asrahu (dr. Sayid Imam) dalam bukunya Al-Jami’ fi Thalabil Ilmi asy-Syarif, juz 2 hal. 594 dst dalam pembahasan ‘Kritikan atas buku Risalah Limaniyah fil Muwalah‘ karya syaikh Abu Thalal Thal’at Fuad Qasim fakkallahu asrahu. Di antara para ulama yang memegangi pendapat kelompok pertama ini, syaikh Abdul Qadir adalah orang yang paling ekstrim (ghuluw). Dalam bukunya tersebut, beliau sampai pada kesimpulan bahwa mengkafirkan anshar taghut secara ta’yin adalah ijma’ qath’i generasi sahabat, dan siapa saja yang menyelisihinya divonis kafir. Konskuensi tulisan tersebut, beliau mengkafirkan seluruh ulama mujahidin dan umat Islam yang ‘hanya’ mengkafirkan secara umum anshar taghut. Tulisan beliau ini mendapat bantahan cukup keras dari para ulama muwahhidun mujahidun lainnya, di antaranya syaikh Abu Yahya al-Libi dan syaikh Abu Qatadah al-Filasthini fakkallahu asrahu.
-
Syaikh Abdul Hakim Hassan hafizhahullah dalam bukunya Al-Idhah wa at-Tabyin fi Anna al-Hukkam at-Tawaghit wa Juyusyahum Kuffar ‘ala at-Ta’yin. Beliau adalah seorang ulama mujahid dari Mesir yang sampai saat ini masih berjihad di Afghan. Beliau terhitung murid syaikh Abdul Qadir dan boleh dikata isi bukunya ‘hanyalah’ copy-paste dari tulisan syaikh Abdul Qadir di atas.
-
Syaikh Abdurrahman bin Abdul Hamid al-Amin hafizhahullah (situs tawhed.ws menyebutkan bahwa ini nama pena, bukan nama asli beliau) dalam bukunya Natsr al-Lu’ wa al-Yaqut li-Bayan Hukm asy-Syar’I fi Anshar wa A’wan at-Tawaghit. Boleh dikata isi bukunya adalah copy-paste dari isi buku syaikh Nashir bin Hamd al-Fahd hafizahullah yang berjudul at-Tibyan fi Hukm man A’ana al-Amrikan, buku yang secara umum menjelaskan kemurtadan muslim yang bekerjasama dengan orang kafir dalam memerangi kaum muslimin (tawalli al-kuffar/muzhaharatul musyrikin ‘alal muslimin), dan secara khusus berkenaan dengan kemurtadan muslim yang membantu penjajah salibis AS dalam menginvasi Afghan.
-
Syaikh Abdurrahman bin Abdullah al-Gharib hafizhahullah dalam bukunya Al-Qaul al-Mubin fi Man Taraddada fi al-Hukm ‘ala al-Mumtani’in.Beliau juga mendasarkan pendapatnya kepada uraian syaikh Abdul Qadir di atas.
-
Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi hafizhahullah dalam beberapa bukunya seperti Kasyfu Syubuhat al-Mujadilin ‘an Asakir asy-Syirki wa al-Qawanin, Al-Mashabih al-Munirah fir Raddi ‘ala Suali Ahlil Jazirah, dan bagian awal (bab pengantar) Ar-Risalah ats-Tsalatsiniyah fi at-Tahdzir min al-Ghuluw fi at-Takfir pada bahasan ‘hukum asal anshar at-taghut adalah kafir’. Juga dalam beberapa buku dan artikel lainnya yang dipublikasikan oleh mimbar at-tauhid wal jihad.
-
Jama’ah Tauhid wal Jihad Gaza dalam buku AD/ARTnya: Tuhfatul Muwahhidin fi Ahammi Masaili Ushulid Dien. Buku ini diberi kata pengantar oleh syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi hafizhahullah. Lajnah Syar’iyah situs mimbar tauhid wal jihad (tawhed.ws) termasuk yang memegangi pendapat kelompok pertama ini, seperti bisa dibaca dari fatwa-fatwa mereka di situs tersebut, wallahu a’lam. Di antara anggota Lajnah Syar’iyah Mimbar Tauhid wal Jihad adalah syaikh Abu Hammam Bakr bin Abdul Aziz Al-Atsari dan Abu Zubair asy-Syinqithi hafizhahumullah. Hal yang layak dicatat di sini, syaikh Abu Hammam Bakr bin Abdul Aziz al-Atsari menyebutkan dalam masalah takfir ta’yin terhadap anshar thaghut ada dua pendapat yang kuat di kalangan ulama, namun beliau sendiri memilih pendapat takfir ta’yin seperti menjadi pendapat guru beliau, syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi hafizhahullah. Lihat fatwa beliau, Maa Hukmu Syurat at-Thaghut wa Junuduhum di tawhed.ws.
-
Beberapa ulama lain menurut sebagian ikhwah bisa dimasukkan dalam kelompok yang memegangi pendapat kelompok pertama ini, seperti syaikh Ali bin Khudhair al-Khudhair, Sulthan bin Bajad al-Utaibi, dan lain-lain. Syaikh Ali bin Khudhair al-Khudhair fakkallahu asrahu dalam buku-buku beliau seperti Al-Haqaiq fi at-Tauhid, Kitab ath-Thabaqat, At-Taudhih wa at-Tatimmat ‘ala Kasyfi asy-Syubuhat, Risalah Mutammimah li-Kalam Aimmat ad-Dakwah an-Najdiyah fi Mas-alah al-Udzr bi al-Jahl fi asy-Syirk al-Akbar, dan Juz Ashl Din al-Islam.
-
Di antara ulama Indonesia yang mengikuti pendapat ini adalah al-ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafizhahullah wa
fakkallahu asrahu dalam beberapa bukunya seperti Modul Seri Materi Tauhid dan Al-Urwatsul Wutsqa. Beliau juga telah menerjemahkan beberapa buku karya ulama kelompok pertama di atas.
-
Sebagian ikhwah menyebutkan ustadz Halawi Ma’mun hafizhahullah termasuk yang mengikuti pendapat ini. Wallahu a’lam kebenarannya, karena sampai saat ini penulis belum pernah membaca karya beliau atau menghadiri taklim beliau.
Secara umum kelompok pertama melandaskan pendapatnya kepada dua alasan:
-
Ayat-ayat Al-Quran, hadits-hadits, dan ijma’ ulama yang menegaskan kemurtadan muslim yang membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin.
-
Ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits, dan ijma’ ulama yang menegaskan bahwa siapa yang melakukan syirik akbar maka ia adalah orang musyrik. Mengawal dan menjaga sistem thaghut dan undang-undang positip thaghut adalah syirik akbar. Menurut mereka, dalam syirik akbar tidak berlaku udzur jahl, ta’wil, dan taklid; hanya udzur ikrah (dipaksa) dan al-khatha’ (tidak adanya maksud hati) saja yang diterima. Buku-buku syaikh Ali bin Khudhair al-Khudhair, Midhat bin Hasan Alu Farraj, Abu Zubair asy-Syinqithi, Abu Muhammad al-Maqdisi dan Abul ‘Ula bin Rasyid ar-Rasyid hafizhahumullah banyak membahas masalah ini.
Kelompok Kedua
Kelompok yang mengkafirkan secara umum anshar taghut sebagai kelompok riddah, tanpa memastikan (menta’yin) kekafiran masing-masing individunya sebelum melalui prosesnya, yaitu proses meneliti syuruth takfir dan mawani’ takfir. Di antara ulama yang mengikuti pendapat ini adalah tanzhim Al-Qaeda internasional dengan pemimpin pertamanya syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah.
Dalam risalahnya yang berjudul I’lanul Jihad ‘alal Amrikan al-Muhtallin li-Biladil Haramain: Akhrijul Musyrikin min Jaziratil ‘Arab (publikasi mimbar at-tauhid wal jihad, 15 Februari 2009 M), Syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah menjelaskan bahwa rezim Arab Saudi telah kehilangan legalitasnya karena melakukan banyak kekafiran akbar, yang terpenting adalah:
- Menihilkan (ta’thil) hukum-hukum syariat Islam dan menggantinya dengan undang-undang positif.
- Tidak mampu melindungi negara, bahkan selama bertahun-tahun menyerahkan Negara untuk dijajah oleh kekuatan salibis Amerika.
Beliau lantas memberikan seruan dan arahan kepada tentara, polisi, dan aparat keamanan (dinas intelijen) rezim Arab Saudi sebagai berikut:
إخواننا في القوات المسلحة والحرس الوطني والأمن حفظكم الله ذخراً للإسلام والمسلمين:
يا حماة التوحيد وحراس العقيدة، يا خلف أولئك السلف الذين حملوا نور الهداية ونشرَوهُ على العالمين، يا أحفاد سعد بن أبي وقاص والمثنى بن حارثة لشيباني والقعقاع بن عمرو التميمي، ومن جاهد معهم من الصحابة الأخيار. لقد تسابقتم للانضمام إلى الجيش والحرس رغبة في الجهاد في سبيل الله “لتكون كلمة الله هي العليا” ولتذودوا عن حياض الإسلام وبلاد الحرمين ضد الغزاة والمحتلين وذلك ذروة سنام الدين، إلا أن النظام قلب الموازين، وعكس المفاهيم، وأذل الأمة وعصى الملة،
“Wahai saudara-saudara kami dalam Angkatan Bersenjata, Garda Nasional, dan Garda Keamanan, semoga Allah menjaga kalian sebagai simpanan tenaga bagi Islam dan kaum muslimin”
Wahai para pelindung tauhid dan penjaga akidah, wahai para penerus dari para pendahulu yang membawa cahaya petunjuk dan menyebarkannya ke seluruh dunia, wahai anak-cucu Sa’ad bin Abi Waqash, Mutsana bin Haritsah asy-Syaibani, Qa’qa’ bin Amru at-Tamimi, dan para sahabat mulia yang berjihad bersama mereka.
Kalian telah berlomba-lomba masuk menjadi anggota Tentara dan Garda karena ingin berjihad di jalan Allah ‘agar kalimat Allah menjadi kalimat yang tertinggi’, dan untuk membela tanah air Islam dan kaum muslimin dari para aggressor dan penjajah, dan itu adalah puncak tertinggi amalan agama. Namun Rezim telah mengubah timbangan-timbangan dan membalikkan pemahaman-pemahaman, menghinakan umat Islam dan mendurhakai Agama.”
Syaikh Usamah lalu menerangkan pengkhianatan rezim Arab Saudi terhadap Islam dan kaum muslimin. Pertama, pendiri kerajaan Saudi
raja Abdul Aziz menyerahkan Palestina dan Masjidil Aqsha kiblat pertama kaum muslimin pada tahun 1347 H/1936 M, di mana saat itu mujahidin Palestina berjihad melawan penjajah Inggris dan kelompok-kelompok bersenjata Yahudi. Inggris kewalahan menghadapi jihad kaum muslimin, maka Inggris menggunakan boneka dan anak asuhnya yaitu raja Abdul Aziz dan kedua anaknya untuk membujuk rakyat Palestina agar menghentikan jihad, dengan jaminan penjajah Inggris akan hengkang dari Palestina. Kedua anak raja Abdul Aziz menunaikan tugas dari majikan Inggris dengan baik. Rakyat Palestina menghentikan jihad karena percaya pada janji raja Abdul Aziz dan kedua anaknya. Janji tinggal janji, jihad berhenti, namun Inggris tetap menjajah Palestina dan membantu zionis Yahudi sehingga berhasil mendirikan negara Israel pada 1948 M.
Kedua, raja Fahd bin Abdul Aziz diteruskan oleh raja Abdullah bin Abdul Aziz menyerahkan Makkah dan Madinah (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) dan seluruh wilayah Arab Saudi kepada penjajah salibis Amerika Serikat, pada Perang Teluk II 1990-1991, dengan alasan bantuan militer untuk melindungi Arab Saudi dari gempuran militer Shadam Husain. Syaikh Usamah panjang lebar menguraikan penipuan yang dilakukan rezim Saudi terhadap para ulama dan rakyat Saudi dalam kasus penjajahan salibis AS tersebut. Syaikh Usamah juga mengingatkan para polisi dan tentara Saudi bahwa mereka adalah orang yang paling tahu tentang penjajahan salibis AS dan pangkalan-pangkalan militer AS di seantero Saudi.
Syaikh Usamah menjelaskan bahwa polisi, tentara, dan aparat keamanan Saudi yang ‘diperalat’ oleh rezim Saudi untuk memusuhi Islam dan kaum muslimin sebenarnya ‘sedikit’ saja. Beliau mengatakan:
وبدلاً من أن يدفع النظام الجيش والحرس ورجال الأمن لمواجهة المحتلين، جعلهم حماة لهم، إمعاناً في الإذلال ومبالغة في الإهانة والخيانة ولا حول ولا قوة إلا الله، ونذكر أولئك النفر القليل من الجيش والشرطة والحرس والأمن الذين يستزلهم النظام، ويضغط عليهم ليعتدوا على حقوق المسلمين ودمائهم بقوله تعالى في الحديث القدسي: (من عادى لي ولياً فقد آذنته بالحرب) [رواه البخاري]، وقوله – صلى الله عليه و سلم – : ( يجيء الرجل آخذاً بيد الرجل، فيقول: يا رب هذا قتلني، فيقول الله له: لم قتلته، فيقول: قتلته لتكون العزة لك، فيقول: فإنها لي، ويجيء الرجلُ آخذاً بيد الرجل، فيقول: أي ربِ إن هذا قتلني، فيقول الله: لم قتلته، فيقول: لتكون العزة لفلان، فيقول: إنها ليست لفلان، فيبوء بإثم ) [رواه النسائي بسندٍ صحيح]، وفي لفظٍ عن النسائي أيضاً: ( يجيء المقتول يوم القيامة متعلقاً بقاتله، فيقول الله، فيمَ قتلت هذا، فيقول: في ملك فلان).
“Bukannya menggerakkan Tentara, Garda, dan aparat keamanan untuk melawan Penjajah, rezim justru menjadikan mereka sebagai para pelindung Penjajah, sebagai bentuk penghinaan, pelecehan, dan pengkhianatan yang tak terhingga lagi. Wa laa haula wa laa quwwata illa billah. Kepada segelintir orang dari kalangan Tentara, Polisi, Garda, dan aparat keamanan yang digelincirkan dan diintimidasi oleh rezim agar mereka melanggar kehormatan dan nyawa kaum muslimin, kami peringatkan mereka dengan firman Allah dalam hadits qudsi: ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku, niscaya Aku mengumumkan perang terhadapnya.”(HR. Bukhari) Dan sabda Nabi SAW, “Seorang laki-laki (pada hari kiamat) datang dengan memegang tangan seorang lainnya lalu berkata: Wahai Rabbku, orang ini membunuhku…”dst.
Lalu syaikh Usamah bin Ladin mengatakan:
واليوم قد بدأ إخوانكم وأبناؤكم من أبناء الحرمين الجهاد في سبيل الله لإخراج العدو المحتل من بلاد الحرمين، ولا شك أنكم ترغبون في القيام بهذه المهمة لإعادة العزة للأمة وتحرير مقدساتها المحتلة، غير أنه لا يخفى عليكم أن المرحلة تستدعي اتباع أساليب قتالية مناسبة نظراً لعدم التوازن بين قواتنا النظامية المسلحة وقوات العدو، وذلك بواسطة قوات خفيفة سريعة الحركة، تعمل في سرية تامة، وبعبارة أخرى شن حرب عصابات يشارك فيها أبناء الشعب من غير القوات المسلحة. وتعلمون أنه من الحكمة في هذه المرحلة تجنيب قوات الجيش المسلحة الدخول في قتال تقليدي مع قوات العدو الصليبي، ويستثنى من ذلك العمليات القوية الجريئة التي يقوم بها أفراد من القوات المسلحة بصورة فردية، أي بدون تحريك قوات نظامية بتشكيلاتها التقليدية، بحيث لا تنعكس ردود الأفعال بشكل قوي على الجيش ما لم تكن هناك مصلحة كبيرة راجحة، ونكاية عظيمة فادحة في العدو، تحطم أركانه وتزلزل بنيانه، وتعين على إخراجه مهزوماً مدحوراً مقهوراً، مع الحذر الشديد من أن تُسْفَكَ في ذلك دماء مسلمة.
“Pada hari ini saudara-saaudara kalian dan anak-anak kalian dari penduduk Haramain telah memulai jihad fi sabilillah untuk mengeluarkan (mengusir) musuh yang menjajah dari negeri Haramain. Tidak diragukan lagi kalian ingin juga mengerjakan tugas tersebut untuk mengembalikan kemuliaan umat dan mengembalikan tanah-tanah suci umat Islam yang terjajah. Namun tentu kalian juga mengetahui bahwa fase ini menuntut (kita dan kalian, pent) untuk mengikuti taktik-taktik peperangan yang sesuai, mengingat tidak adanya perimbangan kekuatan antara tentara nasional kita dengan kekuatan musuh. Caranya adalah dengan melalui kelompok-kelompok bersenjata kecil yang memiliki mobilitas tinggi, beroperasi dengan sangat rahasia. Atau dengan kata lain melancarkan peperangan gerilya yang diikuti oleh putra-putra bangsa, selain angkatan bersenjata. Kalian juga mengetahui bahwa sikap bijaksana pada fase ini menghindarkan angkatan bersenjata nasional dari menerjuni perang konvensional dengan pasukan salibis musuh. Dikecualikan dari taktik ini adalah operasi-operasi dahsyat yang berani yang dilakukan oleh personil-personil angkatan bersenjata secara individual, yaitu tanpa menggerakkan angkatan bersenjata nasional dalam satuan-satuan konvensional-nya. Dengan demikian tidak akan terjadi serangan balasan yang berat terhadap Angkatan bersenjata, (inilah taktik yang selayaknya ditempuh pada fase ini, pent) selama tidak ada maslahat yang besar dan dominan, juga pukulan telak yang mengenai musuh sehingga meruntuhkan pondasi-pondasinya, menggoncangkan bangunannya, dan membangu mengusir musuh keluar dari negeri Haramain dalam keadaan kalah, hina, dan hancur. Dengan catatan keras, menghindari jatuhnya seorang muslim sebagai korban.”
Syaikh Usamah bin Ladin melanjutkan pesannya sebagai berikut:
والذي يرجوه إخوانكم وأبناؤكم المجاهدون منكم في هذه المرحلة هو تقديم كل عون ممكن من المعلومات والمواد والأسلحة اللازمة لعملهم، ويرجون من رجال الأمن خاصة التستر عليهم، وتخذيل العدو عنهم، والإرجاف في صفوفه، وكل ما من شأنه إعانة المجاهدين على العدو المحتل.
“Pada fase ini, hal yang diharapkan dari kalian oleh saudara-saudara kalian dan putra-putra kalian yang berjihad adalah memberikan bantuan apapun yang bisa diberikan, baik berupa informasi-informasi, amunisi, maupun persenjataan yang layak untuk operasi-operasi mereka. Kepada aparat keamanan (DINAS INTELIJEN), secara khusus mujahidin mengharapkan mereka untuk menutup-nutupi informasi tentang mujahidin, melemahkan usaha musuh untuk memerangi mujahidin, dan menimbulkan perpecahan di barisan musuh, dan bantuan apapun yang membantu mujahidin dalam memerangi musuh penjajah.”
وننبهكم إلى أن النظام قد يلجأ إلى افتعال أعمالٍ ضد أفراد القوات المسلحة أو الحرس أو الأمن، ويحاول نسبتها للمجاهدين؛ للوقيعة بينهم وبينكم، فينبغي تفويت هذه الفرصة عليه.
“Kami peringatkan kalian bahwa Rezim bisa jadi akan membuat-buat operasi-operasi tertentu yang menargetkan personal-personal Angkatan Bersenjata, Garda Nasional, atau Dinas Intelijen, kemudian menuding mujahidin sebagai pelaku serangan tersebut. Tujuannya adalah mengadu domba kalian dengan mujahidin. Maka sudah selayaknya kalian tidak member kesempatan kepada Rezim untuk melakukan operasi palsu seperti itu.”
Syaikh Usamah bin Ladin lantas menguraikan musuh sebenarnya dengan mengatakan:
وفي الوقت الذي نعلم أن النظام يتحمل المسؤولية كاملة في ما أصاب البلاد وأرهق العباد، إلا أن أساس الداء ورأس البلاء هو العدو الأمريكي المحتل، فينبغي تركيز الجهود على قتله وقتاله وتدميره ودحره والتربص به والترصد له حتى يُهْزَمَ بإذن الله تعالى. وستأتي المرحلة – بإذن الله – التي تقومون فيها بدوركم بحسم الأمور لتكون كلمة الله هي العليا وكلمة الذين كفروا السفلى، والضرب بيد من حديد على المعتدين، وإعادة الأمور إلى نصابها، والحقوق إلى أصحابها، والقيام بواجبكم الإسلامي الصحيح، وسوف يكون لنا حديث مستقل بإذن الله حول هذه القضايا.
“Kami mengetahui bahwa Rezim harus bertanggung jawab sepenuhnya atas bencana yang saat ini menimpa negara dan menyengsarakan bangsa. Namun pokok penyakit dan inti bencana yang sebenarnya adalah Amerika sang musuh penjajah. Maka seluruh usaha harus dikonsentrasikan untuk membunuh, memerangi, menghancurkan, mengusir, mengintai, dan menunggu-nunggu (saat yang tepat untuk menyerang) AS sang musuh penjajah. Dengan izin Allah, nanti akan datang suatu fase di mana kalian memerankan peran kalian untuk mengendalikan keadaan demi menjadikan kalimat Allah sebagai kalimat tertinggi, kalimat orang-orang kafir menjadi kalimat paling rendah, memukul musuh yag menjajah dengan tangan besi, mengembalikan berbagai urusan kepada neraca sebenarnya dan hak-hak kepada para pemiliknya, dan melaksanakan kewajiban keislaman kalian yang benar. Dengan izin Allah, kami akan membicarakan seputar masalah ini secara tersendiri (pada kesempatan yang lain, pent).”
(Lihat selengkapnya pada seruan syaikh Usamah bin Ladin, I’lanul Jihad ‘alal Amrikan al-Muhtallin li-Biladil Haramain: Akhrijul Musyrikin min Jaziratil Arab, hlm. 10-13)
Dalam seruan tersebut, syaikh menyebutkan dua kekafiran akbar yang dilakukan oleh rezim Arab Saudi. Tentara, polisi, dan intel yang bekerja dalam pemerintahan rezim Arab Saudi dengan demikian juga melakukan dua kekafiran akbar:
Pertama, tawalli al-kufr, loyalitas kepada sistem kekafiran dan system thaghut. Dalam hal ini adalah pemerintah yang menerapkan hukum positif dan hukum positif itu sendiri. Seperti diketahui bersama, Arab Saudi adalah anggota Liga Arab, PBB, APEC, OPEC dan G20. Dalam interaksi dengan negara-negara anggota PBB (200 lebih negara anggota, tak satu pun menerapkan syariat Islam) atau Liga Arab (22 negara anggota, tak satu pun menerapkan syariat Islam) atau APEC (organisasi kerjasama ekonomi negara-negara Asia Pasifik) atau OPEC (organisasi negara-negara pengekspor minyak) atau G20 (organisasi ekonomi negara-negara kaya, maju dan debitor) di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer tentu menggunakan hukum positif, hukum jahiliyah, hukum thaghut, bukan syariat Islam. Undang-undang Kamar Dagang dan Industri Arab Saudi, misalnya, sejak zaman mufti Arab Saudi syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah telah difatwakan hukum kafir, hukum jahiliyah. Dan sampai saat ini, hukum tersebut tetap diberlakukan, sistem ekonomi yang diterapkan Arab Saudi adalah kapitalisme yang menghalalkan riba. Ini satu contoh kecil. Menjadi jelas bahwa tugas utama Polisi, Tentara, dan Intelijen Arab Saudi adalah mengawal dan menegakkan supremasi hukum jahiliyah, hukum positif, alias hukum thaghut.
Kedua, tawalli al-kuffar atau muzhaharatul musyrikin ‘alal muslimin, yaitu memberikan loyalitas, menjadikan pemimpin, dan membantu orang-orang kafir murtad (rezim Arab Saudi) dan orang-orang kafir asli (penjajah AS dan sekutu-sekutunya) dalam memerangi kaum muslimin. Khususnya mujahidin dan muslimin di Arab Saudi, Yaman, Irak, dan Afghanistan.
Inilah faktanya. Dan inilah pendapat syaikh Usamah bin Ladin dalam masalah takfir ta’yin terhadap setiap personil Tentara, Polisi, dan Intel Arab Saudi. Beliau menganggap sebagian besar mereka adalah saudara, muslimin, penjaga tauhid, pelindung negeri Haramain, dan beliau menyeru mereka untuk membantu mujahidin negeri Haramain dengan segala bantuan yang bisa mereka usahakan. Beliau juga menasehatkan kepada mereka taktik perang yang harus diambil dalam fase saat ini.
Karena Beliau menganggap sebagian besar mereka adalah muslimin dan saudara, maka beliau mengingatkan mujahidin negeri Haramain maupun Polisi, Tentara dan Intel negeri Haramain untuk menghindari ‘benturan’, yang beliau istilahkan ‘perang intern’ atau ‘perang saudara’. Beliau mengharapkan keduanya fokus memerangi musuh bersama yaitu aliansi penjajah zionis-salibis internasional yang menjajah tiga Tanah Suci kaum muslimin; Makah, Madinah, dan Al-Quds.
Masih dalam risalah I’lanul Jihad ‘alal Amrikan al-Muhtallin li-Biladil Haramain: Akhrijul Musyrikin min Jaziratil Arab, pada hlm. 9, syaikh Usamah bin Ladin mengatakan:
والذي ينبغي في مثل هذه الحالة أن يبذل الجميع قصارى الجهد في تحريض وتعبئة الأمة ضد العدو الصائل والكفر الأكبر المخيم على البلاد والذي يفسد الدين والدنيا ولا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه، ألا وهو التحالف الإسرائيلي الأمريكي المحتل لبلاد الحرمين ومسرى النبي عليه الصلاة والسلام، وتذكير المسلمين بتجنب الدخول في قتال داخلي بين أبناء الأمة المسلمة؛ وذلك لما له من نتائج وخيمة، من أهمها:
1 – استنزاف الطاقات البشرية حيث إن معظم الإصابات والضحايا ستكون من أبناء الشعب المسلم.
2 – استنزاف الطاقات المالية.
3 – تدمير البنية التحتية للدولة.
4 – تفكك المجتمع.
5 – تدمير الصناعات النفطية
6 – تقسيم بلاد الحرمين واستيلاء إسرائيل على الجزء الشمالي منها
7 – وإن أي قتال داخلي مهما تكن مبرراته مع وجود قوات الاحتلال الأمريكي يشكل خطأ كبيراً حيث إن هذه القوات ستعمل على حسم المعركة لصالح الكفر العالمي.
“Dalam kondisi seperti saat ini, semua pihak sudah selayaknya adalah mencurahkan seluruh usahanya untuk menyadarkan dan membangkitkan semangat umat Islam melawan musuh yang menyerang dan kekufuran terbesar yang menaungi Negara, yang merusak dien dan dunia. Tidak ada kewajiban yang lebih wajib, setelah beriman, melebihi kewajiban menolak serangan musuh penjajah, yaitu aliansi Israel-Amerika yang menjajah negeri Haramain dan negeri Isra’ Nabi SAW; (juga selayaknya semua pihak) memperingatkan kaum muslimin untuk menghindari peperangan intern antara putra-putra kaum muslimin. Sebab (perang intern) itu mengakibatkan dampak-dampak yang buruk, yang terpenting adalah:
-
Menguras habis SDM, karena sebagian besar korban yan mati dan luka adalah kaum muslimin
-
Menguras habis sumber daya keuangan
-
Menghancurkan pondasi (lapisan) bawah Negara
-
Mencerai-beraikan masyarakat
-
Menghancurkan industri (penyulingan dan pengolahan) minyak bumi dan gas (Beliau menguraikan operasi jihad melawan penjajah salibis AS yang mengangkangi kawasan ladang-ladang minyak raksasa bisa mengakibatkan kebakaran dan kehancuran industri migas. Beliau juga mengingatkan mujahidin untuk berhati-hati agar industri migas bisa dipertahankan dan tidak mengalami kehancuran, sebab ia merupakan aset besar dan sumber perekonomian umat Islam. Beliau juga mengancam AS untuk tidak menghancurkan industri minyak saat kelah perang dan harus angkat kaki dari negeri Haramain, karena hal itu akan menghancurkan perekonomian seluruh dunia)
-
Memecah-belah wilayah-wilayah Arab Saudi dan menyebabkan Israel mencaplok wilayah utara Arab Saudi (Beliau menjelaskan rencana jahat aliansi Israel-Amerika untuk membagi-bagi ‘kue’ Arab Saudi jika mengalami kehancuran pasca perang).
-
Apapun alasannya, perang intern di Arab Saudi pada saat kekuaatn militer penjajah salibis bercokol adalah sebuah kesalahan besar, karena penjajah salibis akan memperalat perang tersebut untuk kepentingan sistem kafir internasional.
(Lihat selengkapnya risalah I’lanul Jihad ‘alal Amrikan al-Muhtallin li-Biladil Haramain: Akhrijul Musyrikin min Jaziratil Arab, pada hlm. 9-10)
Inilah seruan syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah, seorang panglima perang mujahidin sedunia yang telah berpengalaman setidaknya 19 tahun (1990-2009 saat seruan ini dipublikasikan) berhadapan dengan rezim thaghut Arab Saudi. Seruan beliau bukan hanya berbicara masalah tauhid, kufur kepada thaghut, dan takfir anshar thaghut; lebih dari itu beliau membahas dakwah, strategi jihad, ekonomi, politik, dan pemerintahan. Beliau bicara masalah agama dan dunia, dan memang demikianlah ciri para ulama dan mufti mujahidin muwahhidin.
Dan tentu saja beliau bukan hanya bicara secara teori, karena strategi ini telah benar-benar dijalankan oleh tanzhim Al-Qaeda di Arab Saudi sejak kepemimpin syaikh Yusuf bin Shalih al-Ayiri rahimahullah, kemudian penggantinya sang komandan Abdul Aziz al-Muqrin rahimahullah, dan para syaikh-komandan setelah generasi mereka, hingga akhirnya mereka berhijrah ke Yaman dan bersatu dalam wadah Anshar Shariah. Dan cara interaksi mujahidin Anshar Shariah Yaman terhadap tentara, polisi, dan intel rezim Yaman saat ini merefleksikan arahan sang panglima jihad internasional, syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah.
Jika kita menengok ke belakang sedikit, kita ingat bahwa guru syaikh Usamah adalah syaikh Dr. Abdullah Azzam rahimahullah. Dalam bukunya yang berjudul Jihadu asy-Sya’b al-Muslim, syaikh Abdullah Azzam menjelaskan keyakinan ahlus sunnah yang membedakan antara takfir ‘am dan takfir ta’yin dan udzur bil-jahl (udzur karena kebodohan).
Adapun para ulama mujahidin muwahhidin kontemporer lainnya yang sependapat dengan syaikh Usamah bin Ladin antara lain adalah:
-
Syaikh Aiman azh-Zhawahiri hafizhahullah dalam bukunya, Al-Liqa’ al-Maftuh dan Risalah Tabriah. Dalam Risalah Tabriah, beliau merekomendasikan buku Nazharat fil Ijma’ al-Qath’i karya syaikh Abu Yahya Al-Libi.
-
Syaikh Abu Yahya al-Libi (Hasan Muhammad Qaid al-Libi) hafizhahullah dalam bukunya, Nazharat fi al-Ijma’ al-Qath’i, sebuah bantahan tuntas atas tulisan syaikh Abdul Qadir di atas. Buku syaikh Yahya al-Libi ini dipuji dan direkomendasikan oleh para masyayikh tanzhim al-Qaeda.
-
Syaikh Abu Qatadah al-Filasthini Umar bin Mahmud fakkallahu asrahu terutama dalam dua bukunya Ahlu al-Qiblah wa al-Muta-awwilun (bantahan atas tulisan syaikh Abdul Qadir di atas) dan Ju’natu al-Muthayyabin (bantahan atas buku Kasyfu Syubuhat al-Muqatilin tahta Rayat man Akhalla bi-Ashl ad-Din, yang isinya bersandar pada pendapat syaikh Abdul Qadir di atas). Syaikh Abu Yahya al-Libi memuji buku Ahlu al-Qiblah wa al-Mutaawwilun, sedang syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi memberi kata pengantar untuk buku Ju’natu al-Muthayyabin.
-
Syaikh Athiyatullah al-Libi Jamal bin Ibrahim al-Misrati rahimahullah dalam beberapa fatwanya, misalnya wawancara beliau dengan situs Al-Hisbah dan Hiwarun Hadiun Haula Masalatil Udzri bil-Jahl.
-
Syaikh Abu Bashir at-Tharthusi Abdul Mun’im Musthafa Halimah hafizhahullah, terutama dalam bukunya Masa-il Haamah fi Bayan Hal Juyusy al-Ummah dan Qawa’id fi at-Takfir.
-
Syaikh Abu Mush’ab As-Suri Umar Abdul Hakim fakkallahu asrahu dalam buku spektakuler beliau, Da’wah al-Muqawamah al-Islamiyah al-‘Alamiyyah. Buku yang ditulis pasca mundurnya mujahidin al-Qaeda dari pegunungan Tora Bora Oktober 2001-2004 ini memang belum sempat diberikan oleh penulisnya kepada para ulama dan komandan mujahidin al-Qaeda lainnya, sebab mereka keburu terpencar-pencar di perbatasan Pakistan-Afghanistan oleh serbuan salibis AS, munafikin Afghan, dan munafikin Pakistan. Penulisnya juga tertangkap oleh munafikin Pakistan dan diserahkan kepada salibis AS. Namun siapa yang mencermati strategi dan pernyataan para masyayikh dan komandan Al-Qaeda (baik lewat pesan audio, video, maupun artikel dan buku) akan mendapati banyak saran (isi) buku tersebut telah dijalankan oleh syaikh Usamah bin Laden, Aiman azh-Zhawahiri, Abu Yahya al-Libi, dan para komandan Al-Qaeda di Afghan, Pakistan, Timur Tengah, dan Afrika. Syaikh Aiman azh-Zhawahiri memuji buku tersebut dalam Risalah Tabriah, dan begitu juga para ulama dan komandan jihad di seluruh dunia.
-
Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi rahimahullah. Pada awal kedatangannya di Pakistan/Afghanistan pada 1998, beliau nampak sangat kuat memegang ‘pendapat-pendapat keras’ seperti yang diterimanya dari gurunya, syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi selama di penjara Yordania. Hal itu membuat para petinggi Al-Qaeda (syaikh Usamah bin Ladin, Aiman azh-Zhawahiri, Abu Hafsh al-Mishri dan lain-lain) dan petinggi Taliban kurang respek kepada beliau. Namun penanggung jawab sekuriti dan intelijen Al-Qaeda, syaikh Saiful ‘Adl diberi wewenang penuh untuk ‘membina’ Abu Mush’ab Az-Zarqawi, sampai akhirnya ia mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Kisah selengkapnya dituangkan oleh Saiful Adl dalam buku memoirnya, Tajribati Ma’a Abi Mush’ab az-Zarqawi, dan terjemahannya telah dimuat secara berseri oleh arrahmah.com.
-
Syaikh Sulaiman bin Nashir al-Ulwan fakkallahu asrahu di akhir bukunya, At-Tibyan fi Syarh Nawaqidh al-Iman. Di akhir penjelasan tentang 10 pembatal keislaman, beliau mengingatkan kaedah wajibnya membedakan antara takfir nau’ (mengkafirkan keyakinan, ucapan, atau perbuatan kufur) dan takfir ta’yin (mengkafirkan pelakunya).
-
Syaikh Ahmad bin Hamud al-Khalidi fakkallahu asrahu di bukunya, Al-Idhah wa at-Tabyin fi Hukmi man Syakka aw Tawaqqafa fi Kufri Ba’dhi at-Tawaghit wa al-Murtadin. Buku ini cukup detail mengklasifikasikan jenis taghut dan sikap orang yang tidak mengkafirkan taghut. Buku ini diberi kata pengantar syaikh Ali bin Khudhair al-Khudair. Dalam buku ini beliau juga menjelaskan betapa masalah berhukum dengan selain syariat Islam kini telah menjadi perkara khafiyyah yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, sehingga tidak boleh main takfir terhadap orang yang tidak mengkafirkan sebagian taghut, akibat besarnya kesamaran yang mengkaburkan kemurtadan taghut tersebut.
-
Jama’ah Islamiyah Mesir lewat bukunya Al-Qaul al-Qathi’ fiman Imtana’a ‘an asy-Syara-i’. Perlu diketahui meski sebagian pimpinan jama’ah ini telah ‘tergalang’ oleh rezim sekuler Mesir, namun banyak ulama dan komandannya yang masih teguh di atas jalan jihad fi sabilillah dan tidak menghentikan perlawanan terhadap taghut. Di antara mereka yang tetap istiqamah di dalam penjara adalah syaikh Umar Abdurrahman (di Amerika), Thal’at Fuad Qasim, Rifai Thaha Ahmad, dan Muhammad Syauqi al-Islambuli fakkallahu asrahum. Di antara mereka yang di luar penjara adalah syaikh Abdul Akhir Hammad al-Ghunaimi dan Muhammad Khalil al-Hakayimah haifzhahumallah. Dalam pernyataan resminya pada bulan Rabi’ul Akhir 1427 H (2006 M) melalui syaikh Muhammad Khalil al-Hakayimah, mereka mengumumkan Jama’ah Islamiyah Mesir bergabung dengan tanzhim Al-Qaedah.
-
Jika kita mengikuti buku-buku, artikel-artikel, wawancara-wawancara, dan pernyataan para ulama dan komandan berbagai kelompok jihad di Timur Tengah (mujahidin Anshar Syariah Yaman) dan Afrika (Mujahidin Ash-Shabab Somalia, Ansharu Dien Mali, dan Tanzhim al-Qaeda Biladul Maghrib), yang berafiliasi ke tanzhim al-Qaeda, maka kita akan mendapati mereka selaras dengan pemikiran para ulama, mufti dan komandan Al-Qaeda Pusat, termasuk dalam masalah takfir terhadap anshar taghut.
-
Syaikh Muhammad Qutub hafizhahullah dalam bukunya Kaifa Nad’u an-Nas. Beliau membedakan antara syirik akbar yang terjadi di tengah masyarakat dengan para pelakunya.
-
Di antara ulama Indonesia yang mengikuti pendapat ini adalah ustadz Mukhlas Ali Ghufran dan Imam Samudra rahimahumallah. Seperti dituturkan para ikhwan mujahidun yang tinggal satu blok dengan beliau berdua dan setiap hari mengikuti kajian keduanya di LP Nusa Kambangan, ustadz Mukhlas Ali Ghufran memberikan kajian tiap hari kitab Al-Liqa’ al-Maftuhnya syaikh Aiman azh-Zhawahiri. Belum selesai juz 2 buku tersebut dita’limkan, telah santer berita rencana pelaksanaan eksekusi terhadap mereka bertiga (plus Amrozi rahimahullah), maka ustadz Mukhlas memberikan kajian kitab syaikh Aiman azh-Zhawahiri Risalah Tabriah. Dalam wasiat terakhirnya, ustadz Mukhlas menyerukan kepada seluruh ikhwah mujahidin Indonesia untuk bergabung dengan tanzhim Al-Qaeda.
Secara umum kelompok kedua menanggapi landasan pendapat kelompok pertama sebagai berikut:
-
Memang benar ayat-ayat Al-Quran, hadits-hadits, dan ijma’ ulama telah menegaskan kemurtadan muslim yang membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin. Namun tidak semua polisi, tentara, dan intel terlibat dalam perbuatan tersebut; sehingga hukum tersebut ‘hanya’ berlaku untuk sebagian anshar thaghut saja yaitu polisi, tentara, dan intel yang terlibat membantu kaum kafir memerangi kaum muslimin.
-
Memang benar ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits, dan ijma’ ulama menegaskan bahwa mengawal dan berjuang demi menjaga sistem pemerintahan thaghut dan undang-undang positip thaghut adalah syirik akbar. Namun masalah syirik tasyri’ (menetapkan undang-undang positif) pada zaman ini adalah masalah khafiyah (masalah tersamar dan tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat awam, bahkan sebagian ulama pun tidak memahaminya), bukan masalah zhahirah (masalah yang dipahami oleh semua kaum muslimin, baik awam maupun ulama). Sehingga dalam masalah khafiyah berlaku udzur jahl, ta’wil, khatha’, ijtihad, dan taklid. Buku-buku syaikh Abu Bashir Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Muhammad Abdul Maqshud Al-Mishri, Muhammad bin Abdullah al-Wuhaibi, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Muhammad bin Abdullah Mukhtar, Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri, Abdurrazzaq bin Thahir bin Ahmad Ma’asy, Hasan bin Ali al-Kattani, Abdul Aziz bin Syakir asy-Syarif, dan lain-lain telah membahas masalah ini.
Para ulama kelompok pertama yang berpendapat takfir ta’yin atas anshar thaghut pun mengakui bahwa masalah syirik tasyri’ pada zaman ini telah menjadi masalah khafiyah, sebab selama lebih dari seratus tahun kaum muslimin hidup di bawah undang-undang positif sekuler dan sistem pemerintahan thaghut, sehingga masalah mentauhidkan Allah dalam bidang tasyri’ tidak diketahui oleh mayoritas kaum muslimin. Lihat misalnya syaikh Ahmad bin Hamud al-Khalidi dalam bukunya Al-Idhah wat Tabyin hlm. 19-21, Abu Muhammad Al-Maqdisi dalam Ar-Risalatu ats-Tsalatisniyyatu fit Takfir pada bahasan no. 31, dan Lajnah Syar’iyah Jama’ah Tauhid wal Jihad dalam bukunya Tuhfatul Muwahhidin hlm. 10-11. Tentu juga syaikh Muhammad Qutub yang dalam Kaifa Nad’u an-Nas menyebutkan di kalangan ulama dan aktifis Islam saja, masalah kekafiran system thaghut demokrasi banyak yang belum memahami, terlebih di kalangan awam.
Misalnya, syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi. Dalam buku Ar-Risalah ats-Tsalatsiniyah fi at-Tahdzir min al-Ghuluw fi at-Takfir dan Husnur Rifaqah fi Ajwibati Sualati Suwaqah, beliau bahkan memberi udzur orang-orang yang tidak mengkafirkan taghut karena adanya syubhat-syubhat yang mereka sangka menjadi mawani’ takfir. Beliau menulis di antara kesalahan yang sering terjadi dalam takfir adalah: (kesalahan no. 31) Mengkafirkan setiap orang yang tidak mengkafirkan para taghut, dengan alasan orang tersebut tidak mengkufuri para taghut. Jika sikap beliau adalah seperti itu terhadap orang yang tidak mengkafirkan para taghut karena adanya faktor ‘syubhat’, bagaimana pula sikap beliau terhadap orang yang tidak mengkafirkan secara ta’yin para anshar taghut? Tentu beliau lebih memahami adanya perbedaan pendapat ulama dalam hal itu, dan beliau tidak mengklaim ‘hanya’ adanya satu pendapat: takfir secara ta’yin saja. Kata pengantar beliau terhadap buku syaikh Abu Qatadah al-Filasthini Ju’natu al-Muthayyabin juga menunjukkan kelapangan dada beliau dalam menerima perbedaan pendapat beliau dalam masalah ini.
Terlebih usaha kaum kafir Ahlu Kitab, kaum musyrik, kaum komunis, kaum murtad dan para ulama su’ untuk mengkaburkan masalah ini sangat massif di tengah kaum muslimin. Pada abad ini hanya sedikit ulama yang menjelaskan hakekat masalah tauhid di bidang tasyri’ ini. Di Indonesia sendiri, syariat Islam tidak diberlakukan sebagai pedoman hidup bernegara sejak VOC/penjajah Protestan Belanda menduduki Batavia 1617 M dan menaklukan Pulau Jawa lewat Perjanjian Giyanti 1755 M. Ditambah zaman penjajahan musyrik Jepang dan kekuasaan thaghut sekuler sejak zaman ‘merdeka’ sampai hari ini, total sudah lebih dari 250 tahun!
Jangankan kaum muslimin awam, banyak ulama dan tokoh-tokoh organisasi Islam di Indonesia yang memahami bahwa undang-undang positif yang diberlakukan di negeri ini adalah syirik, dan menaati undang-undang tersebut adalah syirik akbar! Apalagi mayoritas kaum muslimin di negeri ini belajar Aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang menitik beratkan tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat, namun sangat kurang mengkaji masalah tauhid uluhiyah. Seorang kawan menceritakan bahwa ust. Abu Bakar Ba’asyir pun perlu waktu berhari-hari untuk menerangkan kepada Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia masalah syirik tasyri’ ini.
***
Inilah perbedaan para ulama dan komandan jihad di berbagai penjuru dunia tentang masalah takfir terhadap anshar taghut; apakah harus takfir ta’yin ataukah takfir secara umum sudah mencukupi, sedang untuk takfir ta’yin perlu ketelitian lagi? Seperti telah kita sebutkan di atas, masing-masing kelompok memiliki dalil-dalil syar’i, kajian realita dan strategi perjuangan tersendiri. Sudah tentu hasil tarjih masing-masing ulama/kelompok berbeda dengan ulama/kelompok lainnya. Disini diperlukan sikap bijaksana, lapang dada dan menghargai ijtihad ulama/kelompok lain sehingga tidak timbul perpecahan dan permusuhan sesama kelompok muwahhid yang berjuang untuk memerangi penguasa thaghut dan menegakkan syariat Allah di muka bumi.
Pihak yang mengikuti pendapat kelompok pertama tidak perlu menuduh kelompok kedua dengan tuduhan-tuduhan buruk. Pun pihak yang mengikuti pendapat kelompok kedua tidak perlu melemparkan tuduhan balik kepada kelompok pertama.
Jika para ulama dan komandan jihad internasional yang sudah terlibat langsung dalam jihad fi sabilillah selama belasan bahkan puluhan tahun saja bisa berlapang dada dan saling menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ini; kenapa kita yang hanya para pelajar kemarin sore begitu berani saling melemparkan ‘tuduhan berat’ kepada sesama ikhwah muwahhidun mujahidun hanya lantaran beda pendapat dalam masalah ini?
Sampai kapan kalangan aktifis Islam akan bertengkar dalam masalah khilafiyah seperti ini? Tidak adakah kegiatan di bidang dakwah, pendidikan, i’dad, amar ma’ruf nahi munkar, hijrah, jihad, dan kepedulian sosial secara islami yang lebih penting dan lebih mendesak daripada pertengkaran-pertengkaran intern seperti ini?
Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dan lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat. Mohon maaf sebesar-besarnya apabila tulisan ini menyakiti sebagian aktifis Islam. Sebagai manusia biasa yang awam, sudah tentu unsur kebodohan, kezaliman, dan subyektifitas mewarnai tulisan ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al majdi/arrahmah.com)