Oleh : Ririn Ummi Hanif (Pemerhati Ibu dan Anak)
(Arrahmah.com) – Persoalan penyimpangan seksual telah menjadi perdebatan yang cukup lama dalam peradaban umat manusia. Terlepas dari apapun dasar yang dipakai masyarakat, norma dalam memandang penyimpangan seksual ini telah berkembang di masyarakat. Norma masyarakat yang mengutuk berbagai macam penyimpangan seksual mendapatkan tantangan dari kelompok yang merasa dirugikan atas norma-norma tersebut. Perdebatan semacam ini menjadi semakin terlihat setelah muncul kampanye yang dilakukan oleh gerakan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Gerakan LGBT bermula di dalam masyarakat Barat. Cikal bakal lahirnya gerakan ini adalah pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di London tahun 1970. Kampanye LGBT berfokus pada upaya penyadaran kepada kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender dan masyarakat umum bahwa perilaku mereka bukan penyimpangan sehingga mereka layak mendapatkan hak-hak seksual sebagaimana orang lain.
Di Indonesia, kelompok hak asasi gay didirikan sejak tahun 1980-an, seperti Lambda Indonesia dan organisasi sejenis lainnya. Pergerakan gay dan lesbian di Indonesia adalah salah satu yang tertua dan terbesar di Asia Tenggara. Namun pada tahun 1990-an, Lambda Indonesia ini akhirnya dibubarkan. Kini, asosiasi LGBT utama di Indonesia adalah “Gaya Nusantara”, “Arus Pelangi”, Ardhanary Institute, dan GWL INA. Pertemuan puncak hak LGBT, diadakan di Yogyakarta pada tahun 2006 yang menghasilkan Prinsip-Prinsip Yogyakarta.
Usaha melegalkan LGBT di dunia kembali menguat, sejak diresmikannya pernikahan sejenis di Amerika tahun 2015 lalu. Legalnya pernikahan sejenis di Amerika ini dianggap sebagai tonggak sejarah bagi kaum gay dan pendukungnya. Di Indonesia, gerakan kampanye menuntut legalitas LGBT mendapatkan dukungan penting dari akademisi dan pegiat feminisme. Mereka bergerak dari ranah politik hingga agama. Di bidang politik, usaha ini diwujudkan dengan mengupayakan lolosnya undang-undang yang memberikan celah bagi pernikahan sesama jenis. Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang digodok di parlemen hingga tahun 2014 disinyalir oleh banyak pihak memiliki celah tersebut. Sementara itu, kampanye di bidang agama dilakukan dengan membongkar bangunan keagamaan yang selama ini menjadikan heteroseksual (pernikahan dengan lawan jenis), sebagai satu-satunya pilihan seksualitas manusia.
Selain melakukan kampanye dengan dalih teologis, penganjur legalitas LGBT juga menggunakan dalih psikologi. Mereka berusaha mengajak semua pihak untuk mengakui teori “Gay Gene” yang telah dicetuskan Dean Hamer pada tahun 1993 lalu. Dean Hamer adalah seorang gay yang mengklaim bahwa LGBT adalah faktor genetis. Namun kemudian Dean meruntuhkan sendiri hasil risetnya. Dia mengakui dalam risetnya tidak mendukung bahwa gen adalah faktor utama yang melahirkan homoseksualitas (republika.co.id, 26/01/2016). Namun hal ini berusaha ditutupi serapat – rapatnya oleh penggiat LGBT, meski mendapat pertentangan dari Perhimpunan Dokter Jiwa Indonesia. Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Seksi Religi, Spritualitas dan Psikiatri (RSP) PDSKJI Dr. dr. Fidiansjah, SpKJ, MPH bahwa, pelaku LGBT masuk kategori orang yang mengalami kelainan jiwa (ODMK = Orang Dengan Masalah Kesehatan jiwa), namun mereka bisa disembuhkan.
Dari kajian biologis, sebenarnya kita bisa memahami dengan sangat gamblang, bahwa suka terhadap sesama jenis ini adalah penyimpangan dari fitrahnya makhluk hidup, termasuk manusia. Secara naluriah, mereka akan membutuhkan lawan jenisnya untuk kebutuhan seksual. Hal ini bisa dilihat dari pelaku penyuka sesama jenis sendiri. meski mereka berjenis kelamin sama, namun pasti ada diantara keduanya yang berperan sebagia wanita dan sebagai laki – laki bagi yang lainnya. sehingga secara alami, kecenderungan seksual adalah terhadap lawan jenis. dan strutur tubuh yang telah diciptakan pencipta, juga menggambarkan adanya kebutuhan terhadap lawan jenis untuk menjaga kelangsungan jenis manusia.
Bagi seorang ibu, fenomena kampanye massif LGBT ini adalah kondisi yang perlu untuk disikapi serius, Kecuali jika kita memang sudah merelakan keluarga kita menjadi anggota LGBT. Tujuan kita yang utama adalah mewaspadai difasilitasinya sebuah penyimpangan dengan payung undang – undang. Bisa dibayangkan, jika setiap penyimpangan kejiwaan meminta untuk dilegalkan, bagaimana nasib masa depan anak – anak kita, bahkan Bangsa Indonesia? Tentu, tidak akan ada lagi ketentraman.
Lebih dari itu, Bagi seorang Muslim, tentu panduan agama perlu kita jadikan sandaran utama dalam bersikap. Terhadap pelaku homoseks, Allah swt dan Rasulullah saw benar-benar melaknat perbuatan tersebut. Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy -Rahimahullah- dalam Kitabnya “Al-Kabair” [hal.40] telah memasukan homoseks sebagai dosa yang besar. Hal ini ditunjukkan bagaimana Allah swt menghukum kaum Nabi Luth yang melakukan penyimpangan dengan azab yang sangat besar dan dahsyat, membalikan tanah tempat tinggal mereka, dan diakhiri hujanan batu yang membumihanguskan mereka, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hijr ayat 74:
Oleh karena itu, seorang ibu tidak boleh acuh. Karena ini bahaya yang mengancam keluarga kita, dimana urusannya sampai ke akhirat. Kita juga tidak boleh hanya berpangku tangan menunggu hasil dari upaya – upaya pihak pihak tertentu. Masing – masing kita punya andil untuk mengatasinya, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang.
Secara jangka pendek, seorang ibu harus mampu mendeteksi kondisi keluarganya, terlebih anak – anaknya yang masih dalam masa perkembangan. Ibu Elly Risman, seorang Psikolog anak menyampaikan, boleh jadi penyimpangan emosi pada anak, salah satunya penyimpangan seksual, adalah buah dari salah asuh orang tua. Gaya komunikasi orang tua, merupakan faktor paling penting pembentuk emosi anak. Seorang ibu harus mampu menempatkan dan menghargai anaknya sebagaimana manusia pada umumnya. Sehingga anak – anak kita akan lebih nyaman berbicara dengan kita apapun masalah mereka. bukan kepada orang lain, yang boleh jadi solusinya adalah mengarahkan anak kita ke jalan – jalan yang tidak sesuai syari’at. Sehingga dalam pengasuhan keluarga, khususnya ibu inilah penguatan identitas diri sebagai perempuan atau laki – laki ini bisa dilakukan. ketaqwaan individu juga bisa ditanamkan dalam pendidikan keluarga, sehingga anak tidak mudah terpengaruh kampanye yang bertentangan dengan syari’at.
Secara jangka panjang, seorang ibu harus memahami bahwa ini adalah salah satu fenomena dari sekian banyak fenomena menyimpang yang kita temui. Keinginan kaum LGBT dan pendukungnya adalah akibat paham sekulerisme yang juga gencar dikampanyekan. Aturan agama yang harus dipisahkan dari kehidupan dunia, membuat panggiat LGBT ini membuang jauh – jauh pandangan agama dan solusi agama dalam menyelesaikan fenomena LGBT. Atas nama HAM, penyimpangan sebejat apapun, akan berusaha dihargai dan ditempatkan sebagai persamaan hak dengan manusia lainnya. Dalam hal ini, ketahanan keluarga tidak akan mampu memutus mata rantai sekulerisme pencetus LGBT, perlu peran negara sebagi institusi pelaksananya. Secara sistemis, negaralah yang mampu menghilangkan rangsangan seksual dari publik termasuk pornografi dan pornoaksi. Begitu pula segala bentuk tayangan dan sejenisnya yang menampilkan perilaku LGBT atau mendekati ke arah itu juga akan dihilangkan. Negara jugalah yang mampu menetapkan hukuman yang bersifat kuratif (menyembuhkan), menghilangkan LGBT dan memutus siklusnya dari masyarakat dengan menerapkan pidana mati bagi pelaku sodomi (LGBT) baik subyek maupun obyeknya.
Disinilah urgensitas dakwah dalam rangka penerapan syariah Islam. Karena syari’ah Islamlah yang memiliki seperangkat aturan dan konsep dalam mengatur hubungan diantara pria dan wanita. Aturan Islam akan senantiasa membentuk ketaqwaan individu, memberi dorongan kepada masyarakat untuk saling menasihati dan menciptakan lingkungan Islami serta negara yang menindak tegas para pelaku LGBT sebagai fungsi pencegah dan penebus dosa.
(*/arrahmah.com)