BANGKOK (Arrahmah.com) – Direktur LSM yang berfokus pada penderitaan Muslim Arakan mengatakan bahwa penemuan 26 mayat Muslim Rohingya di kamp kerja paksa di Thailand selatan merupakan fenomena “puncak gunung es.”
“Jika mereka akan menyusuri kawasan hutan di sepanjang perbatasan Malaysia, mereka akan menemukan ratusan mayat,” Chris Lewa, Direktur Arakan Project, sebuah LSM yang bekerja pada masalah ini selama lebih dari satu dekade, mengatakan kepada Phuketwan pada Ahad (3/5/2015).
Surat kabar Thailand melaporkan pada Ahad (3/5) bahwa hingga 1.000 orang – sebagian besar merupakan Muslim Rohingya – ditampung di kamp yang ditemukan di situs puncak bukit dekat perbatasan Thailand dengan Malaysia, pada Jum’at (1/5).
“Beberapa kamp bahkan lebih besar,” katanya, menambahkan bahwa ia telah melihat gambar dari penampungan itu.
“Kami melihat jajaran panjang gubuk bambu dengan selembar terpal sebagai atapnya. Sekitar 100 orang bisa ditampung di setiap gubuk.”
“Tahun lalu, beberapa orang yang saya wawancarai mengatakan kepada saya mereka ditahan bersama dengan 1.500 orang lainnya.”
Bersama dengan kuburan massal yang ditemukan pada Jum’at (1/5) ditemukan juga seorang pria berkebangsaan Bangladesh berusia 28 tahun yang bernama Anuzar. Di dekatnya ada dua mayat yang tergeletak begitu saja di atas tanah.
Saat ditemukan, kondisi Anuzar sangat memprihatinkan. Dia sangat kurus dan gemetaran. Ia dibawa ke rumah sakit setempat. Setelah kondisinya stabil ia kemudian diwawancarai oleh Phuketwan – sebuah situs berita Thailand selatan yang berfokus pada nasib Rohingya. Ia dikirim menuju pantai Thailand bersama ribuan orang lainnya dalam upaya untuk keluar dari kemiskinan dan penganiayaan di Myanmar.
Anuzar yang berbicara dari ranjang rumah sakit mengatakan bahwa ia telah diculik di Cox Bazar, sebuah kota pantai di selatan Bangladesh, dan dipaksa ke perahu bersama dengan orang Bangladesh lain dan beberapa orang Rohingya.
Ia kemudian dikirim ke kamp di Thailand selatan, di mana para penyelundup menyuruhnya untuk menghubungi keluarganya dan memberitahu mereka bahwa mereka harus membayar uang tebusan untuk pembebasannya.
“Saya tidak pernah bisa menghubungi mereka dan meminta mereka untuk membayar tebusan,” katanya kepada Phuketwan. “Kami adalah orang-orang yang tidak bisa membayar uang tebusan sehingga mereka menahan kami dan mereka benar-benar tidak peduli apakah kami hidup atau mati.”
Anuzar mengungkapkan bahwa ia ditahan di kamp – “yang kadang-kadang terdiri lebih dari 1000 orang” – selama sembilan bulan, tetapi yang lain ada yang ditahan lebih lama lagi.
“Sebagian besar dari kami dipukuli atau disiksa,” tambahnya. “Di kamp, kami tidak pernah mendapatkan cukup makanan atau air. Kami jarang mandi.”
Ia mengatakan bahwa ia yakin setidaknya ada 30 orang Rohingya yang dimakamkan di kuburan massal yang mengelilingi kamp, bersama dengan 10 orang Bangladesh.
“Saya tahu [setidaknya] ada tiga Bangladesh – Usaman, Belawa dan Sahid – di antara mayat-mayat itu.”
Anuzar mengatakan bahwa ada delapan makelar perdagangan manusia yang melarikan diri bersama dengan migran yang masih hidup hanya beberapa hari sebelum penemuan kuburan massal.
“Ada orang Arakan, dan beberapa orang Malaysia,” katanya.
Direktur Arakan Lewa mengatakan bahwa penyelundupan orang Rohingya dan Bangladesh menuju Malaysia melalui Thailand selatan merupakan proses yang kompleks dan terus berkembang
“Kami telah menemukan kasus orang yang diculik, beberapa di Bangladesh dan beberapa di Arakan,” katanya. Arakan adalah suatu daerah di Myanmar barat di mana Muslim Arakan dan Budha Rakhine tinggal.
“Ketika mereka diculik, seringkali karena penadah di Cox Bazar atau di tempat lain yang ingin mendapatkan uang dengan membawa mereka di laut,” kata Lewa.
“Penyelundupan dan perdagangan merupakan proses yang kompleks yang dilakukan dengan banyak cara. Kadang-kadang orang-orang akan melalui tangan tiga orang yang berbeda bahkan sebelum mereka mencapai darat.”
Tapi akhir-akhir ini, peningkatan jumlah serangan yang oleh otoritas Thailand memaksa geng perdagangan manusia untuk beradaptasi.
“Para pedagang sekarang menggunakan kamp “lepas-pantai” di kapal,” kata Lewa.
“Seorang pemuda mengatakan kepada saya bahwa ia telah ditahan selama 40 hari di perahu yang berjarak sekitar lima jam dari pantai [Thailand]. Selama ini, ia mengatakan ia melihat 34 orang dibuang ke laut setelah mereka meninggal.”
Lewa mengatakan bahwa menurut informasi yang dia terima, sekarang ada beberapa kamp di Thailand, yang berisi tidak lebih dari 800 orang di dalamnya.
Menurut data yang dikumpulkan oleh Proyek Arakan, sekitar 68.000 orang Rohingya Arakan dan Bangladesh telah meninggalkan negara mereka dengan kapal yang dikendalikan oleh penyelundup sejak Oktober.
(ameera/arrahmah.com)