DEPOK (Arrahmah.com) – Kini masyarakat kian salah kaprah mengenai hakikat penerapan musyawarah yang merupakan salah satu syari’at di dalam Islam. Kebanyakan orang, sekarang begitu ringan menyetarakannya dengan praktik demokrasi. Bahkan beristirja’ saat demokrasi dirasakan dikotori dan dianggap mati karena gagal berfungsi. Sebagaimana publikasi Ustadz Felix Siauw dalam akun Facebook-nya pada Sabtu (1/11/2014), berikut pernyataannya mengenai musyawarah v. demokrasi.
90 tahun sudah berlalu sejak dihapuskannya Khilafah pada 1924, dan Kota Istanbul-Turki, menjadi saksi pedihnya kondisi ummat yang kehiangan institusi pelindung sekaligus penerap syari’at bagi mereka.
Sejak itu, Khilafah Utsmani runtuh pasca PD I dan Inggris mengumumkan dihapuskannya sistem Khilafah dan menggantinya dengan sekulerisme berbentuk Republik Turki. Iulah awal mula negeri Muslim yang satu dipecah-pecah menjadi puluhan negeri-negeri kecil yang mereka taklukkan, tidak hanya fisiknya namun juga cara berpikir penduduknya.
Inggris memaksa kaum Muslim melupakan Khilafah dengan mendoktrinasi bahwa demokrasi adalah jalan terbaik bagi mereka memperjuangkan Islam, dan membuat kaum Muslim lupa bahwa sistem Khilafah-lah yang mengantarkan mereka menguasai 1/3 dunia selama 1300 tahun lamanya. Dengan doktrin itu pula kaum Muslim dibuat lupa bahwa sistem Khilafah-lah yang Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam wasiatkan lewat lisannya, bukan sistem selain itu, apalagi sistem yang diajarkan kaum kufur.
Sekarang, Amerika -negara adidaya sebagai pengganti Inggris- mempropagandakan bahwa demokrasi itu berasal dan sejalan dengan Islam. Dikampanyekanlah bahwa demokrasi itulah syura, padahal jauh berbeda dan jauh pengambilan sumber dan akibatnya.
Perlu kita catat, dalam Islam, perkara yang bisa dimusyawarahkan hanya perkara yang mubah (boleh), bukan perkara yang sudah ada ketetapan hukum dari Allah, apalagi merasa punya hukum lebih baik dan lebih tinggi dari hukum Allah. Dalam Islam, bila Allah sudah menentukan hukum, tidak ada ruang diskusi dan ruang untuk memilih hukum lain. Hukum Allah itu mutlak.
Harap diingat, lain halnya dalam demokrasi, semua perkara boleh didiskusikan, hukum Allah bisa didebat, bahkan bisa dikalahkan oleh hukum manusia. Manusia menyembah manusia sebagai pembuat hukum, yang halal diharamkan dan yang haram bisa dihalalkan, itulah hakikat demokrasi.
Demokrasi memberikan ruang bagi kaum Muslim berkuasa, namun juga memberikan kesempatan yang sama bagi kaum kafir untuk berkuasa. Mirisnya, yang sering terjadi, justru bukan Islam yang digunakan untuk memerintah dan menghukumi di antara manusia.
Padahal Allah telah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
[Surat Al-Ahzab : 36]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS 33:36)
Kita meyakini bahwa Allah pasti lebih tahu tentang yang baik kita ciptaan-Nya, karenanya hukum Allah-lah yang paling layak, bukan hukum manusia.
Lalu dimana, kapan, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat menjadi sumber hukum bagi kita, dan membawa kebaikan serta keberkahan? Tentu hanya pada satu masa dan keadaan: saat Khilafah Islam diterapkan. (adibahasan/arrahmah.com)