JAKARTA (Arrahmah.com) – “Natalan” sudah memasuki musimnya, sementara kaum Muslimin Indonesia mulai terpengaruh nuansa kristiani itu dengan segala atribut dan dekorasinya di segala lokasi. Dari mall, dealer mobil, hingga SPBU disulap menjadi “surga santa dan kurcacinya”.
Terkait pembiasaan penggunaan atribut dan dekorasi salibis oleh Ummat Islam tersebut, Ustadz Felix Siauw memberikan pandangannya tersendiri, sebagaimana diposting pada Facebook-nya, Senin (8/12/2014).
Pertama-tama, Ustadz Felix mengajak kita untuk merenungkan sabda Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam berkenaan perilaku mengikuti kebiasaan non-Muslim.
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud, Ahmad)
Berkenaan hadits tersebut, Ibnu Taimiyah menulis,
“Minimal, hadits ini menetapkan adanya keharaman meniru-niru ahlu-kitab (nasrani-yahudi), meskipun pada dzahirnya (dapat) menjadikan kafir orang yang meniru-niru kepada mereka…”
Lantas, apa maksudnya bertasyabbuh? “Ialah meniru-niru dan menyerupai baik dalam niat keyakinan ataupun dalam amal perbuatan yang tampak,” ujar Ustadz Felix.
Mengutip Al-Munaawiy dalam kitab Faidlul-Qadiir, meniru-niru ini termasuk keyakinan dan kehendak, mapun ibadah atau kebiasaan, jelasnya.
Ia menambahkan, dalam praktik modern, meniru-niru ini bisa jadi berupa memakai benda khas atau kebiasaan khas, seperti kalung salib, vlentine day, tahun baru, atau dalam bulan-bulan ini, berpakaian ala sinterklas, mengucap selamat natal, dan semisalnya. Semua ini semisal toleransi kebablasan
Padahal toleransi cukup hanya dengan membiarkan penganutnya laksanakan ajarannya, bukan malah ikut dan larut dalam keyakinan dan ibadah mereka.
Lalu bagaimana jika saat bekerja diharuskan memakai atribut khusus natal? Ustadz Felix menegaskan bahwa, “dalam kondisi apapun, tidak ada tawar menawar (dalam) akidah!”
Pun jika ada yang berdalih “yang penting kan hatinya tetap iman, walau luarnya pake topi sinterklas,” tetap saja, meniru-niru bukan hanya urusan hati tapi juga urusan amal.
Ada pula yang beralasan “demi cari makan buat anak dan istri.” Justru itu, kata Ustadz Felix, memberi makan anak istri harus dengan cara yang baik.
Adapun kebiasaan “non-Muslim juga pake peci dan ucap salam pas lebaran,” itu karena mereka tidak mempunyai syariat. Sementara, kita mempunyanyai, bahkan tuntunannya dari nabi sudah begitu lengkap.
“Tapi itu kan cuma pakaian, bukan aqidah,” kilah sebagian orang. Oleh karena itu, itu kan hanya pakaian, jadi mengapa harus dipaksa-paksakan kepada seorang Muslim untuk memakainya?
Jika masih ada juga yang mengelak, “tapi itu kan cuma pakaian?!” Ustadz penulis buku Beyond the Inspiration ini mengatakan, “kalau pakaian sehari-hari sih ok, ini pakaian sudah khas, khas perayaan natal, maka jelas hukumnya.”
Jika ada yang masih nekad juga dan menganggap enteng meniru-niru ini (tasyabbuh), maka mari kita simak hadits berikut ini.
“Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya.”
Para sahabat lantas bertanya, “Apakah yang anda maksud orang-orang Yahudi dan Nasrani, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?”
(HR Bukhari)
“Yang namanya godaan itu ya dari kecil, nggak langsung gede, penyimpangan itu dari yang kecil yang jadi membesar tanpa sadar. Toleransi itu sederhana, “bagimu agamamu, bagiku agamaku,” demikian pungkas Ustadz Felix Siauw. (adibahasan/arrahmah.com)