(Arrahmah.com) – Seorang Mujahid Anshar Syariah Yaman atau Al-Qaeda di Jazirah Arab (AQAP) mengajukan sebuah pertanyaan kepada Syaikh Abu Qatadah Al-Falisthini terkait hukum berperang dalam front pertempuran yang di dalamnya terdapat kerjasama dengan para pembawa panji amiyah (bukan demi menegakkan kalimat Allah) di tengah “keterpaksaan” untuk menghadang pasukan Syiah Hautsi demi kepentingan Kaum Muslimin di dalamnya.
Dalam fatwa terbarunya, Syaikh Abu Qatadah menyampaikan bahwa terwujudnya kemurnian yang sempurna di dalam amal jihad secara terus menerus merupakan hal yang mustahil. Menjawab pertanyaan tersebut, dia memaparkan mengenai tujuan jihad dan tipu muslihat yang menyertainya serta kenyataan bahwasanya banyak pemuda yang bersifat cepat bosan dan hanya memahami hal-hal yang nyata tanpa memahami maknanya.
Berikut fatwa lengkap Syaikh Abu Qatadah Al-Falisthini yang diterjemahkan oleh Tim Muqawamah Media pada Selasa (28/10/2014) tersebut.
Pertanyaan:
Apa hukum berperang di front tersebut? Apakah panji yang diusung kemudian dikatakan sebagai panji amiyah? Apakah seorang mujahid diperbolehkan untuk menolak perintah amirnya kemudian pergi ke front lainnya yang tidak terdapat kelompok Ikhwanul Muslimin di dalamnya?
Jawaban:
Di dalam kehidupan nyata, sebuah pekerjaan tidak akan beres tanpa adanya kerjasama, dan harapan terwujudnya kemurnian yang sempurna di dalam amal jihad secara terus-menerus dan berkesinambungan adalah harapan yang paling tidak masuk akal. Ikhwanul Muslimin memang memiliki kebid’ahan dan kekeliruan namun kita tidak mengkafirkan mereka. Dan apabila mereka memiliki kemampuan untuk memukul dengan keras, jumlah mereka banyak, dan kalian tidak terhambat untuk mencari dan meraih kekuasaan, maka keikutsertaan mereka dalam memerangi kelompok Hautsi tidak ada masalah. Jika kalian lemah maka keikutsertaan mereka adalah suatu kebaikan yang besar, namun dengan syarat jika kalian aman berada di sisi mereka.
Tujuan jihad pada sebagian kondisi adalah mempertahankan diri dari kejahatan dan kelompok yang merusak agama, membunuhi orang-orang dan merampas kehormatan, dan nilai ini ada para kelompok-kelompok yang mengaku sebagai ahlus sunnah namun sebenarnya mereka adalah para ghulat yang durhaka. Ini terbukti ketika mereka sedang menetapkan hukum, mereka akan membunuhi orang-orang berdasarkan prasangka dan bukti-bukti yang tidak jelas, serta mengkafirkan orang-orang awam, seperti yang dilakukan oleh Rafidhah misalnya, maka kita tidak boleh berperang bersama panjinya, karena apabila mereka berkuasa akibatnya akan buruk; padahal dasar hukum dari perang itu sendiri adalah demi meraih kemaslahatan bagi kebenaran dan kaum muslimin, sehingga apabila salah satu dari tujuan ini tidak bisa dipenuhi atau justru menghasilkan sesuatu yang bertolak belakang dengannya, maka ia tidak boleh dilakukan selamanya, dan orang yang melaksanakan jihad semacam ini adalah seorang perusak. Jadi jangan sampai kalian terkecoh dengan semboyan-semboyan yang ada, kalian harus melihat hakekat-hakekat dan makna-makna yang terkandung di dalamnya, karena itu menjadi tolok ukur bagi kalian untuk menetapkan hukum, segaimana yang kalian ketahui.
Saya menekankan hal ini karena ada orang yang benar-benar tidak mengetahui seputar pembahasan ini, di mana di kalangan umat Islam sendiri terdapat orang yang melakukan perbuatan kelompok Rafidhah bahkan lebih buruk darinya. Rafidhah mengkafirkan ahlus sunnah dengan dalih jabatan, sedangkan mereka mengkafirkan ahlus sunnah dengan dalih bahwa ahlus sunnah tidak memahami tauhid atau terjerumus ke dalam perilaku kesyirikan padahal tidak, atau memang benar terjerumus ke dalam perilaku syirik namun disebabkan karena kebodohannya. Jadi semua golongan di atas apabila berkuasa, maka akan berbuat kerusakan.
Adapun mengenai meninggalkan front pertempuran karena di sana terdapat orang-orang Ikhwanul Muslimin, kemudian pergi menuju front yang tidak ada faktor-faktor penyebab kemakruhannya, maka saya katakan dengan tegas bahwa ini adalah salah satu bentuk upaya tipu muslihat, karena yang menjadi tolok ukur itu adalah jamaah yang dapat dibai’at, bukan siapa yang berperang bersamamu di kancah peperangan. Status orang yang pindah ke front pertempuran lain itu tetaplah sebagai seorang pejuang yang berperang di bawah panji yang ia berikan bai’at, sehingga apabila ditinjau secara maknanya tidak ada yang berubah.
Sungguh, bahwasanya pemuda itu cepat bosan, ia tidak faham mengenai alasan ditetapkannya sebuah hukum, yang ia fahami hanyalah hal-hal yang nyata tanpa memahami maknanya. Padahal sebagaimana yang kalian ketahui bahwa dasar penetapan hukum itu ada pada makna-makna dan tujuan-tujuan dari (suatu obyek hukum) bukan terletak pada ucapan-ucapan saja. Mungkin ada yang menyangkal: “Saya telah keluar dari jamaah secara total” maka ini adalah sumber keburukan, karena tindakan semacam ini adalah penyebab perpecahan, kerusakan dan konflik, dan tindakan seperti inilah yang diinginkan oleh setan dan bala tentaranya.
Adapun sebagian orang yang meninggalkan kancah peperangan karena datangnya pesawat tempur pasukan murtaddin untuk membombardir kelompok Hautsi dengan dalih seperti yang telah engkau sampaikan tadi, maka inilah sumber kebodohan dan kekeliruan. Karena hidup secara sendirian itu tidak akan pernah ada kecuali di dalam khayalan semata. Di dalam kehidupan ini akan selalu ada konflik kepentingan. Jikalau engkau menggunakan tuntutan mereka sebagai tolok ukur, maka engkau akan mendapati bahwa jihadnya seluruh manusia adalah bathil, seperti yang dahulu terjadi di Afghanistan, Bosnia dan Chechnya, dan seperti yang terjadi hari ini di Yaman. Sesungguhnya antara setiap kepentingan orang mungkin akan saling bersilangan, sehingga apakah jihad kita menjadi tercela ketika musuh yang kita perangi juga diperangi oleh musuh kita yang lain pada waktu yang sama? Siapakah yang membuat persyaratan ini? Yang apabila dahulu persyaratan ini diterapkan, maka jihadnya kaum muslimin melawan tentara salib dan Tartar terhitung sebagai jihad yang bathil, bahkan jihadnya para sahabat melawan Persia akan bathil pula mengingat saat itu Romawi juga memerangi Persia, begitu pun sebaliknya.
(banan/arrahmah.com)