(Arrahmah.com) – Fatwa MUI menetapkan kawin kontrak adalah haram. Kawin kontrak dikenal juga sebagai nikah mut’ah. Dalam fatwa MUI itu disebutkan pelaku kawin kontrak atau nikah mut’ah dapat dihadapkan pada proses hukum yang berlaku di Indonesia.
Fatwa MUI itu ditetapkan dan ditandatangani Ketua Umum MUI KH Hasan Basri, Sekretaris Umum MUI Drs HA Nazriadlani dan Ketua Komisi Fatwa Prof KH Ibrahim Hosen, LML pada 25 Oktober 1997.
Adapun isi fatwa itu sebagai berikut:
1. Nikah mut’ah hukumnya adalah haram
2. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.
Dalam fatwa itu MUI juga menjelaskan bahwa nikah mut’ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukan oleh sementara umat Islam Indonesia, terutama kalangan pemuda dan mahasiswa.
4. Bahwa praktek nikah mut’ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran,dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi`ah di Indonesia.
5. Bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama`ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi`ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus.
6. Bahwa oleh karena itu, perlu segera dikeluarkan fatwa tentang nikah mut’ah oleh Majelis Ulama Indonesia.
MUI juga mengutip dalil untuk mendukung fatwa tersebut yakni:
وَالَّذِيۡنَ هُمۡ لِفُرُوۡجِهِمۡ حٰفِظُوۡنَۙ
اِلَّا عَلٰٓى اَزۡوَاجِهِمۡ اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُهُمۡ فَاِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُوۡمِيۡنَۚ
“Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela” (QS. Al- Mukminun[23]:5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah.
Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah, karena akad mut’ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut :
1) Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan
2) Iddah Mut’ah tidak seperti iddah nikah biasa.
3) Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah.
4) Dengan melakukan mut’ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang diambil
dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariah. Oleh karena itu, orang yang melakukan mut’ah termasuk di dalam.
Firman Allah:
فَمَنِ ابۡتَغٰى وَرَآءَ ذٰ لِكَ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡعٰدُوۡنَ
“Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Almukminun[23]: 7).
Dalil lainnya yaitu:
Hadits Rasulullah SAW
a. Hadis-hadis yang menunjukkan bahwa kebolehan mut’ah telah di-nasakhkan; antara lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari ar-Rabi’ bin Sabrah al-Juhani dari bapaknya (Sabrah) bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan (nikah) mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka.”(HR Muslim)
Jelaslah bahwa hadis ini menunjukkan bahwa nikah mut’ah telah di-nasakhkan untuk selamanya.
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Salamah bin Akwa’, berkata: “Rasulullah SAW pernah memberikankelonggaran (rukhsah) pada tahun Autas mengenai mut’ah selama 3 (tiga) hari, kemudian beliau melarangnya. (HR: Muslim).
(ameera/arrahmah.id)