(Arrahmah.com) – John Emerich Edward Dalberg Acton (1834-1902), seorang sejarawan dan moralis kelahiran Napoli, Italia, terkenal dengan ungkapannya, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Ungkapan ini relevan dengan kondisi di negeri-negeri demokrasi.
Di Negeri ini menangangi pelaku ‘terduga koruptor’ terasa kontradiksi dengan penanganan terhadap pelaku ‘terduga teroris’. Sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah apalagi presiden. korupsi telah menjadi persoalan yang amat akut. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas dengan modus yang makin beragam.
Survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) terhadap 3.900 responden di 34 provinsi di Indonesia menyebutkan bahwa lebih dari 60 persen masyarakat menilai tindakan korupsi semakin meningkat. “Sebanyak 66,4 persen masyarakat yakin korupsi meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya. Mayoritas responden, 50,7 persen, menganggap itu terjadi karena penegakan hukum yang lemah,” ujar Ketua Departemen Politik dan Hubungan International CSIS Vidhyandika D. Perkasa di Gedung Pakarti Centre, Jakarta, republika.co.id (26/7).
Berikut hasil lengkap survei CSIS terkait dengan penyebab tingginya angka korupsi di Indonesia sebagaimana yang dilansir detik.com (26/7) :
1. Sebanyak 50,7% menilai karena penegakan hukum yang tidak memberikan efek jera
2. Sebanyak 16,2% menilai karena masih tingginya budaya suap masyarakat
3. Sebanyak 10,0% menilai karena tingginya biaya hidup
4. Sebanyak 9,0% menilai karena kurangnya pengawasan dan pendeteksian
5. Sebanyak 7,7% menilai karena masyarakat yang apatis dan kurang paham terhadap korupsi dan bahaya yang ditimbulkan
6. Sebanyak 2,1% menilai karena kurangnya komitmen presiden
7. Sebanyak 4,3% memilih tidak tahu/tidak menjawab
Survey CSIS ini mengonfirmasikan apa yang telah menjadi perbincangan publik tentang parahnya korupsi di negeri ini. Ibarat gunung es, korupsi yang sangat luar biasa telah terjadi di negeri ini, baik dari segi jumlah uang yang dikorup, kecanggihan praktik sampai jumlah orang dan pihak yang terlibat di dalamnya. Dan lagi, korupsi bukan hanya terjadi di tingkat pusat tapi juga berlangsung di level lebih rendah, baik di tingkat provinsi, kota kabupaten juga di kecamatan bahkan kelurahan.
Adapun faktor penyebab korupsi setidaknya ada 5 (lima), yaitu :
Pertama, faktor ideologis, yaitu tumbuhnya nilai-nilai kebebasan dan hedonisme di masyarakat
Kedua, faktor kelemahan karakter individu
Ketiga, faktor lingkungan/masyarakat, seperti budaya suap
Keempat, faktor penegakan hukum yang lemah
Kelima, faktor sistem, diterapkannya sistem demokrasi yang mendorong korupsi
Penerapan sistem demokrasi liberal pasca reformasi justru membuat kasus-kasus korupsi menjandi lingkaran setan yang tak bisa diputus. Ditunjukkan dengan tumpang tindih kewengan antar lembaga penegak hukum. Mekanisme pengadilan sangat tidak efektif dan efisien karena prosesnya begitu rumit dan bertele-tele, dan berujuang tanpa kepastian. Politik saling sandra pejabat bisa dirasakan tapi sulit dibuktikan. Penegakan hukum akhirnya sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan politik. Kelemahan dan kasus hukum pihak lain lantas dijadikan alat tawar-menawar demi kepentingan masing-masing.
Anggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan terbaik, ternyata bohong besar. Di tanah air, merebaknya demokrasi justru menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap telah matang dalam berdemokrasi justru menjadi biang perilaku bejat ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu.
Jika para pejabat dan politisi negeri ini serius memberantas korupsi maka hendaknya mereka memberi teladan tindakan yang nyata. Teladan itu bisa dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. Jika memang memiliki komitmen, seharusnya mereka secara jujur mengumpulkan semua harta ghulul (diperoleh secara tidak sah) miliknya dan keluarganya, lalu dikembalikan ke kas negara. Sayangnya itu yang belum pernah terlihat dari para pejabat dan politisi negeri ini. Mereka baru mengembalikannya jika sudah kepepet, dan untuk pencitraan.
Semua itu telah menjadi bersifat sistemik karena yang menjadi akar masalahnya adalah sistem politik demokrasi yang mungkin lebih tepat disebut industri politik demokrasi. Layaknya industri yang untuk adalah para pengelolanya (penguasa, pejabat dan politisi) dan para pemodalnya yaitu para kapitalis pemilik modal. Rakyat akan terus menjadi konsumen dan kepentingan rakyat hanyalah obyek layaknya barang dagangan. Akibat semua itu, kepentingan rakyat selalu dikalahkan.
Umar Syarifudin – Direktur PKDA (Pusat Kajian Data-Analisis)
(*/arrahmah.com)