JAKARTA (Arrahmah.com) – Terorisme tidak lebih dari sandiwara berseri yang tidak tahu kapan episodenya akan diselesaikan. Itulah tampaknya yang terungkap dari “Diskusi Terbuka Penanganan Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” di Hotel Sahid, Jakarta, Senin (25/11/2013) kemarin.
Reporter Hidayatullah.com, Rias Andriati yang hadir pada acara itu menuliskan laporannya Selasa (26/11/2013).
Salah satu pembicara diskusi itu, produser eksekutif ANTV Hanibal WY. Wijayanta menceritakan fakta di lapangan. Berdasarkan laporan para reporter-nya dan rekan media di lapangan, ada banyak kejanggalan terkait isu terorisme ini.
Misalnya penyerbuan sebuah rumah di tahun 2009, yang dituduh sarang teroris seperti Noordin M.Top di Temanggung, Jawa Tengah. Penyerbuan yang memakan waktu selama 18 jam itu jika diteliti lebih lanjut, menyisakan tanda tanya besar.
Saat itu diberitakan bahwa sebelum Densus 88 mendobrak pintu rumah terdengar dua kali tembakan, kemudian suara ledakan keras. Posisi reporter ANTV saat itu berada di wilayah terdekat dengan rumah target operasi dibandingkan dengan wartawan media lainnya. Namun, menurut pengakuannya, dia tidak mendengar suara sama sekali.
Fakta lainnya, saat konferensi pers, Polri menyatakan tersangka Noordin M. Top hanya ditembak dengan satu peluru tepat mengenai jantung.
“Sedangkan jika dilihat dari videonya reporter, terlihat jelas sekali rupanya hancur,” ungkap Hanibal. Itu berarti lebih dari satu tembakkan dilesatkan.
Masih kurang dua fakta? Lagi, berdasarkan laporan warga, ungkap Hanibal, dua hari sebelum penembakan polisi menangkap dua orang.
“Saya tanya. Pak Susno, kami dengar ada dua orang ditangkap. Sekarang dua orang itu kemana?”tanya Hanibal pada Susno Duadji, Kabareskrim Polri waktu itu.
Jawaban Susno mengagetkan Hanibal. “Oh, itu buat nanti, dik.” Karena itu Hanibal meyakini sudah ada skenario yang dirancang.
Peristiwa yang berbau rekayasa itu makin dikuatkan dengan tanggapan salah satu perwira tentang bom buku di Utan Kayu, 2011, Jakarta.
“Dik, sebenarnya Satgas Anti bom buku sudah dibentuk beberapa minggu sebelum kejadian,” ucapnya. Hanibal menilai, petugas tersebut juga sudah malas dengan segala rekayasa.
Gelagat rekayasa tidak hanya itu. Ia mendapat laporan fakta yang mengarah terhadap perekayasaan di Solo, Jateng. Setelah dua minggu menunggu perkembangan berita, salah satu temannya yang bekerja di sebuah media di sana, merasa tidak ada berita “panas”.
Karena itulah ia berencana bepergian ke luar kota.
Keinginannya itu tertunda manakala salah seorang anggota Densus lokal di sana menahannya untuk tidak bepergian.
“Mas, ojo keluar disik. Nanti akan ada “acara”,” begitu Hanibal menirukan perkataan anggota Densus tersebut. Benar saja. Seminggu kemudian, 25 September 2011, pemberitaan tentang peristiwa peledakan Bom Gereja Betel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, mencuat.
Hanibal menghimbau pada para teman-teman wartawan terutama jurnalis televisi untuk mengkritisi peristiwa, terutama terkait isu terorisme. karena dia melihat ada kejenuhan para jurnalis terhadap isu terorisme yang selalu ada skenario di baliknya. Kebosanan itu mengakibatkan wartawan tidak jeli menggali fakta di lapangan.
“Anda punya gambar. Anda punya bukti yang sangat jelas terhadap peristiwa kerusuhan. Anda punya cerita yang lebih detil. Dengan gambar Anda bahkan bisa bantu Komnas HAM,” katanya. (azm/arrahmah.com)