(Arrahmah.com) – Raut muka marah masih tersisa di wajah ibu dan kakak kandung Fachruddin alias Bachruddin alias Udin. Remaja berusia 19 tahun yang meninggal dalam aksi penyergapan aparat keamanan di Poso, Senin 22 Januari 2007. Testimoni keluarga Udin ini disiarkan di tengah-tengah diskusi “Mengatasi Terorisme Tanpa Teror” di Gedung PP Muhammadiyah, Kamis (11/4/2013)
Dalam temuan Komnas HAM, kematian Udin berawal setelah penetapan 29 DPO yang menyebabkan tekanan aparat kepolisian dan Densus 88 kian intensif. Tidak berapa lama, terjadilah serangan besar-besaran oleh ratusan aparat kepolisian dan Densus 88, yang membuat Udin berusaha bertahan. Udin sendiri bukanlah DPO. Dia ikut lari karena dikejar oleh aparat.
Merasa terdesak, Fachrudin berlari menuju Jl. Pembantu Gubernur bersama Tugiran, Rasiman, Wiwin, Ridwan, dan Icang. Mereka lalu masuk ke rumah Ustadz Tarmizji. Namun, tempat yang mereka tuju ternyata telah dikepung anggota Densus 88.
Saat ditangkap, Udin dalam kondisi sehat dan tidak mengalami penembakan. Hal ini dapat dibuktikan dari video kekerasan Poso yang sempat beredar di mana Udin tampak terlihat masih dalam keadaan normal. Namun sehari setelah ditahan di Polda Sulawesi Tengah, Fachrudin terbunuh dengan kondisi tubuh yang memprihatinkan.
“Semua badannya patah. Hidung, leher, dan tulang punggung semuanya patah,” tutur kakak kandung Udin yang tidak disebutkan namanya.
Kekejaman yang dialami Udin sebelum tewas memang mengerikan. Ibu kandung Udin, Ani, menuturkan anaknya ditempeleng, diikat dan diinjak oleh aparat keamanan. Sebelumnya Udin mengaku kepada polisi tidak mengetahui keberadaan Basri. Basri adalah kakak kandung Udin yang ditetapkan sebagai DPO oleh aparat keamanan dalam penyergapan di Tanah Runtuh, Januari 2007.
“Anak saya diperlakukan sebagai binatang. Badan Udin sudah rata semuanya setelah jenazahnya tiba di rumah,” tutur Ibu kandung Udin. “Tulang ininya remuk,” sambungnya sambil menunjuk kening.
Hingga saat ini, Ibu kandung Udin tidak menerima kematian anaknya. Enam tahun berselang, dirinya mengaku tidak akan lupa dan senantiasa menuntut qishash atas tewasnya Udin. “Terus terang saya tidak terima, hutang nyawa dibayar nyawa,” ujarnya.
Innalillahi waa inna ilaihi rojiun..
(islampos/saif/arrahmah.com)