RAMALLAH (Arrahmah.id) – Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina (DFLP) memutuskan mundur dari sidang Dewan Pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang tengah berlangsung di Ramallah, Tepi Barat. Keputusan ini menambah deretan faksi-faksi Palestina lain yang memboikot sidang tersebut karena menilai pertemuan itu digelar sebagai bentuk tunduk terhadap tekanan asing, khususnya di tengah agresi militer ‘Israel’ ke Gaza.
Wakil Sekretaris Jenderal DFLP, Majida al-Masri, dalam konferensi pers di Ramallah pada Kamis (24/4/2025), menyampaikan bahwa front memutuskan untuk menarik diri dari sisa sesi sidang karena mengkhawatirkan dampak serius dari hasil-hasil yang mungkin dikeluarkan. Ia menyoroti bahwa pidato Presiden Mahmoud Abbas menunjukkan indikasi seriusnya situasi dan potensi keputusan berbahaya yang bisa muncul dari pertemuan tersebut.
Sementara itu, anggota Biro Politik DFLP sekaligus anggota Komite Eksekutif PLO, Ramzi Rabah, mengatakan bahwa sidang Dewan Pusat ini digelar sebagai bentuk respons atas berbagai tekanan dari Barat, terutama dari Amerika Serikat.
Rabah menambahkan, salah satu tekanan yang diberikan adalah permintaan untuk melakukan perubahan struktural dalam sistem politik Palestina yang memungkinkan intervensi lebih besar dari pihak Amerika, termasuk dengan menciptakan jabatan baru yaitu Wakil Presiden.
Dalam pernyataan yang dirilis sehari sebelumnya, Rabu (23/4), DFLP menyampaikan bahwa mereka menarik diri dari sidang sebagai bentuk protes atas tidak diindahkannya usulan-usulan yang mereka ajukan. Usulan tersebut mencakup pentingnya pemulihan persatuan nasional, penyusunan strategi perjuangan bersama untuk menghadapi dampak genosida di Gaza dan rencana aneksasi di Tepi Barat, serta ketidakpatuhan terhadap keputusan-keputusan sebelumnya yang diambil oleh Dewan Nasional dan Dewan Pusat, termasuk hasil Deklarasi Beijing.
Keputusan yang Sudah Diduga
Sidang Dewan Pusat ke-32 ini mulai berlangsung sejak Rabu (23/4) di kantor kepresidenan Palestina di Ramallah, dan akan berjalan selama dua hari. Sidang ini didominasi oleh Fatah, partai pimpinan Presiden Abbas, dan salah satu agenda utama yang dibahas adalah pembentukan jabatan Wakil Presiden untuk pertama kalinya sejak PLO didirikan pada 1964.
Sidang ini mengusung tema: “Tidak untuk pengusiran dan aneksasi – Bertahan di tanah air – Selamatkan rakyat Gaza dan hentikan perang – Lindungi Yerusalem dan Tepi Barat – Ya untuk persatuan nasional Palestina.”
Sebagai informasi, Dewan Pusat adalah badan permanen yang dibentuk oleh Dewan Nasional Palestina (badan legislatif tertinggi dalam struktur PLO), dan memiliki sejumlah kewenangan yang telah didelegasikan kepadanya.
Namun, dalam pidatonya pada sidang Rabu (23/4), Presiden Mahmoud Abbas justru menyerang gerakan Hamas dan melontarkan kata-kata kasar terhadap para pejuang perlawanan di Gaza. Ia juga menuntut agar para tawanan ‘Israel’ segera dibebaskan.
“Tekanan Asing”
Menanggapi hal ini, Hamas menyatakan bahwa sidang Dewan Pusat tersebut digelar lebih dari satu setengah tahun sejak agresi brutal ‘Israel’ dimulai, dan sidang itu tidak merepresentasikan konsensus nasional karena tidak melibatkan seluruh elemen rakyat Palestina.
Hamas juga menyerukan agar keputusan-keputusan lama Dewan Pusat diaktifkan kembali, seperti penghentian koordinasi keamanan, pemutusan hubungan dengan ‘Israel’, serta penguatan perlawanan baik secara politik maupun di lapangan.
Faksi kiri lainnya, Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), sudah lebih dulu menyatakan pada Selasa (22/4) bahwa mereka tidak akan ambil bagian dalam sidang ini, menyebutnya sebagai langkah sepihak. Inisiatif Nasional Palestina yang dipimpin oleh Mustafa Barghouti juga menolak hadir, dengan alasan bahwa sidang ini diselenggarakan tanpa dialog nasional seperti biasanya dengan seluruh kekuatan politik Palestina, sehingga terkesan sebagai upaya untuk memenuhi tekanan asing tertentu.
Sebelumnya, beberapa pertemuan rekonsiliasi antar faksi Palestina memang telah berlangsung, termasuk yang terbaru di Beijing tahun lalu, yang diikuti oleh Hamas dan Jihad Islam. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk membentuk persatuan nasional menyeluruh di antara seluruh faksi. (zarahamala/arrahmah.id)