KHARTOUM (Arrahmah.id) – Angkatan Darat Sudan telah berjuang untuk mempertahankan sebuah kompleks industri militer yang diyakini memiliki persediaan senjata dan amunisi dalam jumlah besar di selatan Khartoum, dekat dengan depot-depot bahan bakar dan gas yang beresiko meledak, penduduk mengatakan pada Rabu (7/6/2023), Reuters melaporkan.
Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter, dalam pekan kedelapan perebutan kekuasaan dengan Angkatan Darat, telah menyerang daerah yang berisi kompleks Yarmouk pada Selasa malam sebelum mundur setelah pertempuran sengit, kata para saksi mata. Bentrokan masih terdengar pada Rabu pagi.
RSF dengan cepat menguasai sebagian wilayah ibu kota setelah perang meletus di Khartoum pada 15 April. Serangan udara dan tembakan artileri tentara telah menunjukkan sedikit tanda untuk mengusir mereka, tetapi karena pertempuran berlarut-larut, RSF mungkin menghadapi tantangan untuk mengisi ulang amunisi dan bahan bakar.
Pertempuran di tiga kota yang membentuk wilayah ibu kota Sudan -Khartoum, Bahri dan Omdurman- telah meningkat sejak gencatan senjata selama 12 hari yang secara resmi berakhir pada 3 Juni setelah terjadi pelanggaran yang berulang-ulang.
“Sejak kemarin, telah terjadi pertempuran sengit dengan penggunaan pesawat dan artileri serta bentrokan di lapangan dan kepulan asap yang membumbung tinggi,” ujar Nader Youssef, seorang warga yang tinggal di dekat Yarmouk, kepada Reuters melalui sambungan telepon.
Karena dekat dengan depot-depot bahan bakar dan gas, “setiap ledakan dapat menghancurkan penduduk dan seluruh area,” katanya.
Pertempuran ini menggagalkan peluncuran transisi menuju pemerintahan sipil empat tahun setelah pemberontakan rakyat yang menggulingkan presiden Omar Al-Bashir. Angkatan Darat dan RSF, yang bersama-sama melakukan kudeta pada 2021, berselisih mengenai rantai komando dan rencana restrukturisasi militer dalam masa transisi.
Kekurangan air
Konflik telah mendatangkan malapetaka di ibu kota, memicu ledakan kekerasan mematikan baru di wilayah barat Darfur yang telah lama bergejolak, dan membuat lebih dari 1,9 juta orang mengungsi.
Sebagian besar layanan kesehatan telah runtuh, listrik dan air sering terputus, dan penjarahan merajalela.
Di Bahri, sebelah utara Sungai Nil Biru dari Khartoum, para aktivis setempat mengatakan bahwa lebih dari 50 hari pemadaman listrik dan air telah membuat banyak orang meninggalkan rumah mereka dan mereka terjebak di antara tidak adanya air untuk diminum dan terjebak dalam baku tembak ketika mencari air.
Lebih dari 1.428.000 orang telah terusir dari rumah mereka di Sudan dan 476.800 orang lainnya mengungsi ke negara-negara tetangga, yang sebagian besar telah berjuang melawan kemiskinan dan konflik internal, menurut perkiraan yang dipublikasikan pada Selasa oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
Kementerian Kesehatan Sudan telah mencatat sedikitnya 780 kematian warga sipil sebagai akibat langsung dari pertempuran. Ratusan lainnya tewas di kota El Geneina di Darfur Barat. Para pejabat medis mengatakan masih banyak mayat yang belum terkumpul atau belum tercatat.
Kesepakatan gencatan senjata yang berakhir pada Sabtu ditengahi oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat dalam pembicaraan di Jeddah, di mana seorang mediator mengatakan perundingan terus berlanjut dalam upaya untuk memberikan jalan yang aman bagi bantuan kemanusiaan.
Konsultasi untuk kesepakatan gencatan senjata baru, yang telah dilaporkan oleh stasiun TV Saudi, Al Arabiya, pada Selasa, masih dalam tahap awal dan dipersulit oleh pertempuran yang masih berlangsung, kata sumber tersebut.
PBB mengatakan bahwa bantuan yang dapat menjangkau sekitar 2,2 juta orang telah dikirim sejak akhir Mei, namun sekitar 25 juta orang -lebih dari separuh populasi- membutuhkan bantuan. (haninmazaya/arrahmah.id)