JAKARTA (Arrahmah.com) – Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan aktor utama dalam pemberontakan Madiun tahun 1948 untuk merebut kekuasaan pemerintah. Hal itu sangat jelas dari pamflet-pamflet dan pidato tokoh PKI kelompok Muso.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua umum Gerindra yang juga pemerhati sejarah, Fadli Zon dalam bedah buku “Madiun 1948, PKI Bergerak” karya Harry A. Poeze, di Fadli Zon Library, Jakarta, Sabtu (7/1). Pembahas lain adalah sejarawan Asvi Warman Adam dan Harry Poeze.
Menurut Fadli Zon, faktor komunis sangat jelas dalam pemberontakan ini karena tokoh penting yang mendorongnya, Muso, kembali ke Indonesia Agustus 1948 dari Rusia dengan membawa garis baru perjuangan komunis internasional yakni garis Zhdanov, untuk menggantikan Garis Dimitrov sebelumnya.
Menurut garis baru Zhdanov ini, dunia saat itu sedang terbagi dalam dua kubu yang saling berlawanan, yaitu imperialisme dan anti-imperialisme. Mereka yang tidak segaris dinilai sebagai lawan dan harus disingkirkan. Madiun menjadi medan untuk untuk kekuatan dan merebut kekuasaan. Akibat pemberontakan ini banyak korban di pihak aparat pemerintah, dan juga ulama.
Dalam kaitan ini, Fadli Zon sepakat dengan kesimpulan Harry Poeze bahwa Madiun 1948 adalah pemberontakan untuk merebut kekuasaan, bukan peristiwa lokal seperti pembelaan para tokoh PKI yang kemudian berhasil membangun kembali kekuatan partai ini. “Menurut saya Poeze sangat obyektif sebagai peneliti dan penulis buku.” kata Fadli.
Sementara itu Harry Poeze memaparkan panjang lebar buku karya terbarunya yang merupakan seri ke enam tapi sebenarnya terpisah dari rangkaian perjalanan politik Tan Malaka. Dia dengan tegas menyatakan bahwa peristiwa berdarah di Madiun pada 1948 adalah pemberontakan.
“Pemberontakan ini mungkin tidak terjadi apabila tidak ada peran individu dari Muso, seorang tokoh yang dikenal tegas, garang, dan kasar.” kata Harry yang menceritakan setting peristiwa Madiun secara detil dan mengungkap hubungan diantara tokoh PKI dan juga perbedaan pandangan antara Muso dan Tan Malaka.
Secara panjang lebar Harry menguraikan perkembangan awal, konflik-konflik, dan puncak pemberontakan hingga perburuan orang-orang Komunis, termasuk menunjukkan sejumlah foto penting dan juga karikatur tentang situasi saat itu.
Sedangkan sejarawan Asvi Warman Adam selain membedah buku Poeze ini, juga membandingkan sejumlah karya tentang Madiun yang ditulis oleh banyak ahli dan juga istilah yang berkembang soal persitiwa Madiun ini.
“Yang jelas, saya menolak pernyataan terutama dari kalangan PKI yang menjadikan Mohammad Hatta sebagai kambing hitam untuk kebangkitan mereka lagi. Ini murni dilakukan tokoh komunis,” katanya.
Asvi memuji kekayaan luar biasa dari sumber data yang digunakan Poeze, yang dinilainya tiada bandingannya. Namun, dia mengkritik penampilan foto dan karikatur dalam buku Poeze yang dianggap kurang seimbang.
Menanggapi itu, Poeze mengatakan, semua sumber sudah diusahakan imbang. “Cuma soal foto, ya memang kebanyakan foto pembantaian orang-orang komunis, sedangkan kekejaman komunis terhadap kelompok lain, sangat sedikit.” tukas Poeze seperti dilansir jpnn.
Seperti kita ketahui, kekejaman pemberontakan PKI di Madiun tak kalah hebat disbanding dengan kekejaman komunis Khemr Merah pimpinan Polpot, Jika di Kamboja Komunis membuat Ladang pembantaian(Killing Field) maka di Madiun dan sekitarnya Kaum Komunis Membuat banyak lubang-lubang pembantaian( killing Hole) untuk menghancurkan lawan politiknya.
Kekejaman yang terjadi hampir diseluruh dunia ini, disebabkan keyakinan kaum komunis internasional bahwa revolusi merebut alat-alat produksi dari kaum borjuasi kepada kaum proletariyat, tidak bisa kecuali dengan kekerasan.
Wallahu’alam bishshowab.
(bilal/arrahmah.com)