Oleh : Abu Fikri
(Aktivis Gerakan Revivalis Islam Indonesia)
(Arrahmah.com) – Beberapa hari lagi Idul Fithri 1434 H segera tiba. Seremonial umat Islam penuh dengan makna itu menjadi momentum yang banyak ditunggu-tunggu oleh jutaan keluarga di Indonesia. Berbagai harapan dan kesan menjelang moment itu nampak beragam. Di antara harapan dan kesan yang paling dominan adalah kebutuhan untuk aktualisasi materi. Seolah penafsiran terhadap proses penggemblengan selama Ramadhan mencapai klimaks kemenangannya pada hari itu.
Perjuangan panjang selama 1 bulan penuh dinamika itu seperti perlu dirayakan. Ironisnya, kebutuhan aktualisasi materi itu terjadi di tengah deraan berbagai persoalan sistemik. Juga peristiwa menyayat hati yang melanda dunia muslim. Yang terbaru di negeri ini adalah tentang dipulangkannya jenazah saudara kita Eko Suryanto pada Kamis (1/8/2013) pagi menjelang siang sekitar pukul 11.00 WIB, akibat salah tembak oleh Densus 88. Setelah hampir sepuluh hari berada di RS Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, Sebagaimanai disampaikan oleh Sekretaris The Islamic Study and Action Centre (ISAC), Endro Sudarsono. Eko Suryanto adalah aktvis Islam dan pemuda kelahiran Klaten 28 Juli 1991 silam yang menjadi korban salah bunuh Densus 88 di Tulungagung Jawa Timur, pada Senin (22/7/2013).
Di Dunia muslim terbagi menjadi dua bagian. Pertama, negeri-negeri muslim yang tengah menghadapi konflik militer dan politik. Dan kedua, negeri-negeri muslim yang sedang menghadapi kungkungan problem sistemik. Ketergantungan ekonomi, sosial budaya dan politik kepada para penjajah (Kafir Muharibban Fi’lan) di bawah komando AS menjadi pemandangan umum.
Negeri-negeri muslim yang tengah menghadapi konflik militer dan politik di antaranya : Irak, Afghanistan, Suriah, Mesir, Libanon, Somalia, Filipina Selatan (Moro) dan lain-lain. Di antara negeri-negeri muslim yang menghadapi konflik militer itu yang terberat adalah Suriah. Pembantaian demi pembantaian oleh Rezim Suriah Bashar Asaad seolah tidak mengenal tiba datangnya Iedul Fithri 1434 H.
Saudara-saudara kita di Suriah tidak disibukkan dengan bingung memilih baju. Tidak bingung mempersiapkan kebutuhan materi apa yang perlu dipersiapkan untuk hari raya itu. Mereka sungguh bingung berteduh menghindar dari berbagai desingan peluru. Berbagai dentuman meriam, mortir, bom yang sewaktu-waktu mengancam nyawanya.
Tidak begitu berbeda dengan Suriah adalah apa yang terjadi di Mesir. Saudara-saudara kita Ikhwanul Muslimin saat ini menghadapi militer di bawah komando Al Sisi yang menjadi antek barat -AS-. Setiap hari terlihat jatuhnya korban dari saudara-saudara kita Ikhwanul Muslimin. Sementara negeri-negeri muslim yang tengah menghadapi kungkungan problem sistemik antara lain : Malaysia, Saudi Arabia, Kuwait, Qatar dan lain-lain termasuk Indonesia.
Deraan persoalan itu, diperparah oleh kenyataan bahwa kaum muslimin sedunia disekat-sekat oleh garis batas negara bangsa (nation state). Sebuah sekat yang menjadikan kaum muslimin sedunia tidak lagi menjadi satu tubuh. Yakni satunya tubuh karena diikat oleh keyakinan yang sama. Tuhannya satu Allah subhanahu wa ta’ala, Rasulnya satu Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam, Kitabnya satu Al Qur’anul Karim, Kiblatnya satu Ka’bah di Mekah Mukarromah. Dan di bawah naungan satu kesatuan entitas negara yang pernah berjaya selama 13 abad lamanya menguasai hampir 1/3 belahan dunia.
Sejak jaman baginda Rasullullah shallalahu ‘alai wa sallam sampai dengan masa kekhilafahan Turki Ustmaniyah. Garis batas nation state itulah yang menjadikan perasaan kaum muslimin diikat oleh nasionalisme masing-masing negara. Islam Indonesia. Islam Malaysia. Islam Mesir. Islam Pakistan. Islam Saudi Arabia dan lain-lain. Sekat-sekat itu sedemikian rupa telah memunculkan perasaan bahwa problem muslim di negeri yang lain bukan menjadi urusan kaum muslimin di negeri sendiri.
Lengkap sudah wajah dunia Islam saat ini yang carut marut oleh deraan penjajahan sistemik dan masif melalui berbagai saluran penjajahan yang beraneka ragam. Mulai dari invasi militer, intervensi politik, ketergantungan politik, ketergantungan sosial budaya yang secara bertahap namun pasti menjadikan kaum muslimin terpuruk dalam jurang kenistaan hidup.
Terjebak dalam buaian jalan hidup para penjajah (kafir muharibban fi’lan). Jalan hidup yang menjadikannya saat ini lebih fokus pada bagaimana mengaktualisasikan kebutuhan materi sebagai cerminan prinsip hidup kapitalisme. Ketimbang fokus pada bagaimana memperhatikan dan mencoba mengambil peran untuk memecahkan deraan problema dunia Islam dengan segala derivatnya. Sebagai bentuk apresiasi bahwa sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara. Kalau saudaranya sakit maka dia ikut merasakan sakitnya. Jika saudaranya dibunuh maka dia akan berjuang untuk menuntut keadilan atas dibunuhnya saudaranya. Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki oleh sesama saudara muslim dan mukmin sedunia.
Tantangan terberat di negeri-negeri muslim non konflik militer termasuk di Indonesia adalah menghadapi euphoria kapitalisme. Kondisi ini semakin bertambah akut menjelang Iedul Fithri tiba. Kapitalisasi oleh para penjajah telah berhasil mengokohkan negeri-negeri muslim sebagai daerah pasar. Termasuk Indonesia yang merupakan negeri muslim terbesar di dunia. Melalui propaganda media yang masif telah berhasil terbentuk karakter pribadi-pribadi muslim yang hedonis dan konsumtif. Tidak jarang karakter-karakter itu mengidap juga pada kehidupan para aktifis Islam.
Media massa terutama media audio visual menjadi media pengekspose iklan yang sangat efektif membangun karakter konsumtif. Indikator masifnya propaganda media itu bisa dilihat dari betapa besar belanja iklan media. Tahun 2012 iklan media menghabiskan kurang lebih sejumlah Rp 107 trilliun. Pada tahun 2013 diprediksikan akan naik menjadi Rp 124 trilliun. Dari budget iklan itu, ada sekitar 66 s/d 70 persen diantaranya adalah belanja iklan media TV.
Masifnya kapitalisasi berbagai bidang kehidupan itu tidak bisa dilepaskan dari profilling kebijakan melalui produk aturan atau undang-undang yang dilahirkan oleh penguasa negeri ini. Sebagian produk legislasi negeri ini mengindikasikan pro kepentingan asing. Terutama kepentingan para kapitalis asing. Para kapitalis asing yang bersindikasi dengan para kapitalis domestik. Dan yang berkolaborasi dengan para pengambil kebijakan negeri ini.
Akhirnya lahirlah beragam produk legislasi yang berorientasi pada pemenuhan kepentingan asing. Dan beragam produk legislasi untuk melindungi langgengnya pelaksanaan produk legislasi yang pro asing itu. Produk legislasi pro kepentingan asing itu antara lain : UU Migas, UU SDA, UU Minerba dan lain-lain. Sementara UU yang mengawal pelaksanaan produk legislasi pro asing itu antara lain : UU Intelijen, UU Terorisme, UU Pendanaan Terorisme, UU Ormas dan lain-lain. Kita bisa memahami kemudian bahwa sesungguhnya perayaan Iedul Fithri 1434 H adalah wujud pengokohan kapitalisasi di negeri ini.
Euforia Kapitalisme menjadi fonemena yang menyeruak ke permukaan di setiap momentum Iedul Fithri termasuk pada 1434 H kali ini. Perlu kesadaran mendasar kolektif yang masif berbagai elemen umat untuk merombak keadaan dari yang penuh dengan euforia kapitalisme menuju kepada keadaan yang penuh dengan harapan dan kesan demi tegaknya Islam secara kafah dalam bingkai negara yang mampu mewujudkan rahmatan lil alamin. Wallahu a’lam bis shawab.
(azmuttaqin/arrahmah.com)