ANKARA (Arrahmah.com) – Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengatakan bukan politisi, melainkan pengadilan Turkilah yang akan memutuskan nasib seorang pastor Amerika yang penahanannya atas tuduhan terorisme telah memukul hubungan antara Ankara dan Washington.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan pada Senin (24/9/2018) dia berharap Turki akan membebaskan pendeta evangelis Andrew Brunson bulan ini. Pengkhotbah ini dipindahkan ke tahanan rumah pada bulan Juli setelah ditahan selama 21 bulan.
Dalam wawancara dengan Reuters pada Selasa malam (25/9) ketika dia berada di New York untuk pertemuan Majelis Umum PBB, Erdogan mengatakan keputusan apapun tentang Brunson akan dibuat oleh pengadilan.
“Ini adalah masalah peradilan. Brunson telah ditahan atas tuduhan terorisme … Pada 12 Oktober akan ada sidang lain dan kami tidak tahu apa yang akan diputuskan pengadilan dan politisi tidak akan mengatakan apapun terkait putusan ini,” kata Erdogan.
Jika terbukti bersalah, Brunson bisa dipenjara hingga 35 tahun.
“Sebagai presiden, saya tidak memiliki hak untuk memerintahkan pembebasannya. Peradilan kami independen. Mari kita tunggu dan lihat apa yang akan diputuskan pengadilan,” lanjut Erdogan.
Presiden AS Donald Trump marah dengan penahanan Brunson. Ia mengesahkan dua kali lipat tarif impor aluminium dan baja dari Turki pada bulan Agustus. Turki membalasnya dengan menaikkan tarif impor mobil, alkohol, dan tembakau dari AS.
“Kasus Brunson bahkan tidak terkait erat dengan ekonomi Turki. Tantangan ekonomi saat ini telah dibesar-besarkan dan Turki akan mengatasi tantangan ini dengan sumber dayanya sendiri,” tambah Erdogan.
“Ini menunjukkan bank sentral bersifat independen. Sebagai presiden, saya menentang suku bunga tinggi dan saya mengulangi pendirian saya di sini lagi,” katanya, menambahkan bahwa tingginya suku bunga “terutama akan menakut-nakuti investor”.
Terkait isu Suriah, Erdogan mengatakan tidak mungkin upaya perdamaian Suriah berlanjut jika tampuk kekuasaan masih ada di tangan Presiden Bashar Asad.
Awal bulan ini, Turki dan Rusia mencapai kesepakatan untuk menegakkan zona demiliterisasi baru di wilayah Idlib Suriah.
“Bagian Suriah ini akan bebas dari senjata yang merupakan harapan masyarakat Idlib … yang menyambut langkah ini,” katanya. Zona demiliterisasi akan dipatroli oleh pasukan Turki dan Rusia.
Hampir 3 juta orang tinggal di Idlib, sekitar setengah dari mereka terlantar akibat perang dari bagian lain Suriah.
Erdogan juga mengatakan Turki akan terus membeli gas alam dari Iran sesuai dengan kontrak suplai jangka panjangnya meski ada ancaman Trump untuk menghukum negara yang berbisnis dengan Iran.
“Kita harus realistis … Apakah saya harus membiarkan orang-orang membeku di musim dingin? … Tidak ada yang harus tersinggung. Bagaimana saya bisa memanaskan rumah rakyat saya jika kami berhenti membeli gas alam Iran,” katanya.
Trump menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan nuklir multinasional 2015 dengan Iran dan pada bulan Agustus Washington memberlakukan kembali sanksi terhadap Teheran, yang dicabut pada tahun 2016 di bawah pakta tersebut. Sanksi AS terhadap sektor energi Iran akan diberlakukan kembali pada bulan November. (Althaf/arrahmah.com)