KONYA (Arrahmah.com) – Presiden Turki pada hari Jumat (2/10/2020) berjanji akan melanjutkan perjuangan untuk wilayah Azerbaijan di Karabakh Atas sampai bebas dari pendudukan Armenia.
Ketika ketegangan memuncak di tengah gejolak baru-baru ini dalam konflik antara Baku dan Yerevan, Recep Tayyip Erdogan menegaskan kembali dukungan penuh Turki untuk Azerbaijan selama pidato pada peresmian sebuah rumah sakit kota di provinsi Konya Turki tengah.
Armenia sekali lagi menyerang wilayah Azerbaijan sementara masalah Karabakh, yang diduduki Yerevan dengan “pembantaian yang keji”, belum terselesaikan, lanjut Erdogan.
“Tapi, kali ini [Armenia] mengalami akhir yang tidak terduga,” tambahnya.
“Negara persaudaraan Azerbaijan telah memulai operasi besar baik untuk mempertahankan wilayahnya sendiri maupun untuk membebaskan Karabakh yang diduduki.”
Erdogan menggarisbawahi bahwa tentara Azerbaijan, yang sejauh ini maju melawan pasukan Armenia, telah membebaskan banyak wilayah dari pendudukan.
“Turki berdiri bersama dan akan terus berdiri dengan Azerbaijan yang bersahabat dan bersaudara dengan segala cara dan segenap hati kami,” katanya.
Letusan zona krisis di daerah-daerah yang berdekatan dengan Turki dari Suriah hingga Mediterania hingga Kaukasus menunjukkan upaya untuk menahan Turki di bawah pengepungan, tambah Erdogan, dikutip Anadolu Agency.
Bentrokan perbatasan pertama kali terjadi pada hari Minggu (27/9) ketika pasukan Armenia menargetkan pemukiman sipil Azerbaijan dan posisi militer, yang menyebabkan korban jiwa.
Parlemen Azerbaijan menyatakan keadaan perang di beberapa kota dan wilayahnya menyusul pelanggaran perbatasan Armenia dan serangan di Karabakh Atas yang diduduki, juga dikenal sebagai Nagorno-Karabakh.
Pada hari Senin (28/9), Azerbaijan mengumumkan mobilisasi militer parsial di tengah bentrokan.
Hubungan antara kedua negara bekas Soviet itu tegang sejak 1991, ketika militer Armenia menduduki Karabakh Atas, wilayah Azerbaijan yang diakui secara internasional.
Empat Dewan Keamanan PBB dan dua resolusi Majelis Umum PBB, serta banyak organisasi internasional, menuntut penarikan pasukan pendudukan.
OSCE Minsk Group – diketuai bersama oleh Perancis, Rusia, dan AS – dibentuk pada tahun 1992 untuk menemukan solusi damai untuk konflik tersebut, tetapi tidak berhasil. Gencatan senjata, bagaimanapun, disepakati pada tahun 1994.
Perancis, Rusia, dan NATO, antara lain, mendesak penghentian segera bentrokan di wilayah pendudukan. (Althaf/arrahmah.com)