ANKARA (Arrahmah.com) – Recep Tayyip Erdogan dan Vladimir Putin, dua pemimpin dengan kemiripan kharisma, yang telah membangun era baru kerjasama antara Turki dan Rusia, telah mengalami perdebatan yang akan merusak hubungan mereka selama bertahun-tahun yang akan datang.
Kedua presiden, yang ditempa persahabatan yang kuat selama lebih dari satu dekade berkuasa, telah terlibat saling kecam sejak Turki menembak jatuh sebuah pesawat tempur Rusia pada 24 November di perbatasan Suriah atas dugaan pelanggaran berulang di wilayah udaranya.
Putin menuduh pimpinan Turki itu mengimpor minyak dari ISIS di Suriah, tuduhan yang ditanggapi oleh Erdogan sebagai fitnah.
Philip Gordon, anggota senior Council on Foreign Relations (CFR) yang berbasis di AS, mengatakan bahwa kedua pemimpin itu cenderung semakin memperparah pertikaian dan tidak ada yang mau mengalah.
Putin, pada Kamis (3/12) menggambarkan kepemimpinan Turki sebagai kelompok penguasa yang kehilangan akal sehat, dan pemimpin Turki menolak untuk minta maaf, dimana hal ini akan semakin sulit untuk memulihkan hubungan mereka kembali.
Fredrik Wesslau, anggota Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR), mengatakan bahwa pertikaian itu telah berubah menjadi lebih pribadi karena legitimasi dari dua laki-laki itu tergantung pada siapa yang akan menjadi pemenang pada akhirnya.
Kredibilitas kedua pemimpin itu akan “rusak” oleh sikap yang menunjukkan “kelemahan”, misal, meminta maaf atau sikap berdamai, lanjut Fredrik, dikutip dari Tribun.
Persabahatan mereka berdua telah ditandai oleh keinginan yang kuat untuk meminimalisir perbedaan terkait isu-isu seperti Suriah atau krisis Ukraina – apalagi perang berabad-abad yang dilancarkan oleh Kesultanan Utsmani dan Kekaisaran Rusia – menghambat kerjasama strategis mereka.
Ikatan pribadi antara kedua laki-laki itu sangat terlihat saat keduanya berhasil membawa bangsa mereka keluar dari krisis ekonomi menuju sebuah stabilitas era baru, Bahkan keduanya dianggap memiliki otoriterisme yang sama seperti Kekaisara Tsar Rusia dan Kesultanan Utsmani.
Hanya sembilan hari menjelang penembakan jatuh pesawat tempur itu, Erdogan menyambut hangat Putin di pertemuan puncak G20 di resor Antalya, Turki, sebagai seorang sahabat lama.
Di bawah kepemimpinan mereka, warga dari kedua negara itu bisa masuk dengan bebas visa, sebuah proyek ambisius untuk pipa gas Laut Hitam telah disepakati, dan Rusia mulai membangun pembangkit listrik tenaga nuklir pertama Turki.
Pada kunjungan ke Rusia pada bulan November tahun 2013, Erdogan bahkan menyarankan agar Turki bisa bergabung dengan kelompok keamanan Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) yang dipimpin oleh Moskow dan Beijing, dan bergabung dengan Persatuan Ekonomi Eurasia-nya Putin, langkah-langkah yang bisa mengacaukan tawaran keanggotaan Turki di Uni Eropa.
Tapi dalam 10 hari terakhir saja, Rusia mengatakan akan memberlakukan kembali visa untuk Turki, menghentikan perundingan tentang jaringan pipa TurkStream dan menolak untuk menjamin bahwa pekerjaan pembangkit listrik tenaga nuklir Akkuyu akan terus berlanjut. Sementara itu, tawaran keanggotaan Turki di Uni Eropa yang selama ini macet, telah kembali menemukan momentumnya.
“Saya sangat menyesal karena saya secara pribadi banyak berinvestasi dalam membangun hubungan ini,” ungkap Putin.
Erdogan menyatakan nostalgia untuk masa masa indah yang telah dilalui bersama ia dan Putin.
“Dia (Putin) selalu berbicara tentang keberanian saya. Dia juga berkomentar banyak tentang kenegarawanan saya yang jujur,” kata Erdogan.
Sebelum insiden pesawat itu, Presiden AS Barack Obama sempat memuji pembicaraan antara kekuatan global dan regional di Wina sebagai kemajuan untuk menuju kepada penemuan solusi.
(ameera/arrahmah.com)