(Arrahmah.id) – Banyak orang yang tidak sadar bahwa era terorisme sebetulnya telah berakhir dengan meletusnya konflik Ukraina vs Rusia. Publik dunia paham, konflik ini meski hanya berkutat di wilayah Ukraina, tapi sejatinya melibatkan banyak negara.
Ukraina didukung negara-negara Barat, terutama yang tergabung dalam NATO. Sementara NATO dipimpin AS dan Inggris. Karenanya, negara-negara yang tunduk pada AS dan Inggris, seperti Jepang, Kores Selatan, Singapura, Australia dan Kanada otomatis berpihak bersama Ukraina. Semua negara ini membentuk satu blok, sebut saja blok Barat.
Rusia didukung oleh Cina, Korea Utara dan negara-negara pro Komunis. Suriah dan Iran juga cenderung memihak Rusia. Blok ini sebut saja blok Timur.
Konflik diperkirakan akan berlangsung panjang. Makin lama makin meningkat eskalasinya. Bahkan banyak pengamat memprediksi, konflik ini berpotensi untuk berkembang menjadi perang Dunia Ketiga.
Pengulangan Sejarah
Perseteruan blok Barat melawan blok Timur hanyalah pengulangan sejarah. Dahulu namanya perang Dingin. Dimulai sejak 1947 dan berakhir pada 1991. Blok Timur diwakili negara-negara berpaham Komunis, dipimpin Uni Sovyet. Blok Barat diwakili negara-negara berpaham Kapitalisme yang dipimpin AS. Ketika tahun 1991 Uni Sovyet bubar, selesailah era Perang Dingin.
NATO dibentuk sebagai pakta pertahanan negara-negara blok Barat. Sementara blok Timur punya pakta pertahanan juga, namanya Pakta Warsawa.
Pada tahun 1979, Uni Sovyet menginvasi Afghanistan, sebagai upaya memperluas paham Komunisme. Harapannya, Afghanistan sepenuhnya menjadi negara Komunis dan bergabung dalam Uni Sovyet.
AS sebagai rival tentu gusar. AS berkepentingan menahan gerak maju Uni Sovyet agak tidak makin meluas. Sebab, jika Afghanistan jatuh, akan merembet ke wilayah-wilayah berikutnya. Ada Pakistan. Ada India. Ada Iran. Dan seterusnya. Artinya, hegemoni AS akan menyempit jika Uni Sovyet terus merangsek.
Penduduk Afghanistan mayoritas muslim. Mereka tidak mau tunduk begitu saja terhadap Uni Sovyet. Mereka melawan. Berawal dari modal beberapa pucuk senapan, para pejuang awal melakukan gerilya. Sedikit demi sedikit mereka mendapat kemajuan. Perang berlangsung selama 10 tahun. Pada tahun 1989, Uni Sovyet menyerah dan pulang kampung. Biaya perang yang mahal membuat ekonomi Uni Sovyet limbung. Perpecahan internal meruncing. Akhirnya pada 1991 Uni Sovyet sebagai sebuah imperium bubar. Wajah barunya bernama Rusia yang lebih sempit wilayahnya dan lemah.
Pada saat itu, AS membonceng perjuangan umat Islam Afghanistan. Dengan kata lain, meminjam tangan untuk melawan musuhnya. Karena itu, AS mendukung dengan mensuplai berbagai senjata dan amunisi. Secara lahir yang berperang adalah umat Islam melawan Uni Sovyet yang komunis, tapi di belakang layar sejatinya terjadi perang Dingin antara AS melawan Uni Sovyet.
Bukan hanya dukungan logistik. AS juga mendukung secara moral dan opini. Para pejuang Afghanistan dipuji dengan istilah mujahidin, sebagaimana istilah dalam Islam. Media-media di Indonesia maupun di seluruh dunia menyematkan gelar mujahidin untuk mereka. Gelar yang positif dan bernada pujian. Seperti gelar pahlawan atau pejuang.
AS juga mendorong umat Islam dari luar Afghanistan untuk hadir membantu para mujahidin. Anak-anak muda heroik yang ingin melawan Komunis berdatangan ke Afghanistan. Berasal dari Arab Saudi, Mesir, Sudan. Libya, Aljazair, Turki, Iran, Iraq, Yaman, Indonesia, Malaysia dan hampir seluruh negeri muslim. AS juga membiarkan umat Islam di luar Afghan untuk menghimpun donasi dari masyarakat lalu mengirimkannya ke sana. Semuanya serba dimudahkan oleh AS sebagai pemegang hegemoni dunia.
AS saat itu bermesraan dengan umat Islam, karena punya kepentingan “meminjam tangan” untuk melawan rivalnya, Uni Sovyet. Perlawanan umat Islam saat itu dengan senjata melawan Komunis tidak diberi gelar Teroris oleh AS, tapi gelar yang heroik seperti pejuang, gerilyawan, dan mujahidin. Era stigma Terorisme belum dimulai.
Era Stigma Terorisme
Perang Afghanistan melawan Uni Sovyet pada 1979 – 1989 agaknya menjadi ajang konsolidasi umat Islam global tanpa direncanakan. Ikhwanul Muslimin di Mesir pada era 40-an hingga 60-an dianggap sebagai bentuk konsolidasi awal umat Islam – dalam bab persaudaraan Islam – setelah runtuhnya Khilafah pada 1924. Sementara perang Afghan 1979-1989 merupakan konsolidasi kedua – dalam bab perlawanan – terhadap musuh Islam.
Mereka sebelumnya buta tentang ilmu jihad. Hanya mengerti samar-samar, itupun dalam hal hukum fiqhnya, bukan prakteknya. Rupanya Allah bermaksud mentarbiyah umat Islam dengan ilmu jihad secara praktek. Didatangkanlah musuh yang terang benderang kekafirannya, yakni Komunis Uni Sovyet. Tentara Komunis didapuk sebagai “murabbi” dalam training jihad ini. Pada sisi lain, Allah taqdirkan AS sebagai pemilik singgasana kerajaan dunia, membiarkan tarbiyah itu terjadi. Seperti Firaun membiarkan Musa as tinggal di istana dan melanjutkan hidup.
Setelah jihad Afghan berakhir, para mujahidin merasa punya kemampuan untuk melawan hegemoni AS. Palestina dijajah Israel, dan itu terjadi atas restu AS. Bagi mereka, biang keroknya adalah AS. Mereka juga mulai berani bermimpi mengembalikan Khilafah yang dahulu menjadi payung pelindung umat Islam. Bagi mereka, jika kepala ular (maksudnya AS) tidak dipukul, belitan terhadap umat Islam tak akan bisa longgar.
Dimulailah era baru. Mengalihkan moncong senapan yang sebelumnya diarahkan untuk Komunis Uni Sovyet, karena bubar, kini diarahkan ke AS – sang kepala ular. Motornya Osama bin Laden dengan organisasi Al-Qaeda-nya. Isinya, para alumni jihad Afghan dari berbagai negara.
Sejak saat itu lahir era baru, era stigma Terorisme. Persisnya sejak 1991 setelah bubarnya Uni Sovyet dan berakhirnya Perang Dingin. AS menjadikan mantan mitranya sebagai musuhnya. Karena mereka tidak berwujud tentara reguler dari sebuah negara adidaya, tapi hanya gerombolan kombatan yang tak tampak wujudnya, maka sebutan yang paling pas menurut AS adalah teroris. Stigmanya menjadi terorisme.
Puncak era stigma Terorisme terjadi pada peristiwa 11 September 2001. AS menjadi target serangan sporadis di empat titik. Lokasi yang paling parah di gedung WTC New York. Dua gedung kembar runtuh. Gambarnya dengan dramatis ditonton mata manusia sejagat.
AS merespon dengan cepat. Afghanistan dibombardir dan diduduki hanya dalam beberapa pekan berikutnya. Persis mengulang apa yang sebelumnya dilakukan Uni Sovyet pada 1979. AS terlibat perang panjang di sana, sejak 2001 hingga 2021. Genap 20 tahun. Dua kali lebih lama dibanding Uni Sovyet yang hanya 10 tahun.
Biaya perang di Afghanistan menguras energi AS. Persis seperti dulu menguras ekonomi Uni Sovyet. Pada sisi lain, Rusia – pewaris Uni Sovyet – berkonsolidasi menjadi lebih kuat. China juga berubah cepat menjadi lebih kuat.
Pada tahun 2022 pecah konflik Ukraina, yang sejatinya mengulang perseteruan AS lawan Uni Sovyet. AS sudah berdamai dengan Afghanistan, yang juga berarti dengan umat Islam. AS kini fokus berseteru dengan Rusia dan China. Karena itu, stigma Terorisme yang selama ini disematkan terhadap umat Islam sudah kehilangan relevansi. Dahulu disematkan kepada umat Islam karena mereka melawan AS dan dijadikan lawan oleh AS. Saat itu rivalnya yaitu blok Timur masih lemah. Kini saat blok Timur sudah berani berulah, kedua kubu membutuhkan kemitraan dengan umat Islam. Jika stigma Terorisme masih dipertahankan, umat Islam tak tertarik bermitra. Dan itu kerugian strategis, baik bagi AS maupun Rusia.
Pada sisi lain, jika kita cermati, Al-Qaeda sebagai motor perlawanan terhadap AS juga agaknya sudah melemah. Setidaknya jika dilihat dari sepinya unggahan-unggahannya di media sosial dan kemunculannya di media massa dunia . Sudah lama sekali tak ada rilis tentang operasi yang dilakukan Al-Qaeda. Tapi bisa jadi sebaliknya, masih solid. Hanya saja tak lagi aktif bermain media. Wallahua’lam. Fakta ini membuat “jualan” Terorisme tak lagi menarik, karena yang menyandang gelar itu tak lagi garang seperti dulu.
Kesimpulannya, sejak Rusia masuk ke wilayah Ukraina dan melakukan invasi di sana, era stigma Terorisme sudah berakhir. Berarti, era stigma Terorisme terjadi sejak 1991 hingga 2022. Kini berganti era baru, entah apa nanti narasinya. Mungkin masih digodog oleh AS atau Rusia. Ketika AS lawan Uni Sovyet, umat Islam bermitra dengan AS, maka gelar yang muncul adalah mujahidin, pejuang dan pahlawan. Ketika AS lawan umat Islam, gelar yang muncul adalah Teroris. Ketika kini AS kembali melawan blok Timur, bisa jadi akan lahir kembali gelar mujahidin, pejuang dan pahlawan.
Tapi kali ini yang akan pertama memberi gelar tersebut adalah Rusia terhadap tentara muslim Cechnya karena mereka loyal membantu Putin. Dan boleh jadi AS juga akan memberi gelar serupa, terhadap umat Islam yang mau berperang melawan Rusia.
Anomali Indonesia
Saat di luar sana stigma Terorisme sudah berakhir, agaknya tidak dengan Indonesia. Justru hari-hari ini sedang panen teroris. Penangkapan terus terjadi. Bahkan tak lagi menyasar pelaku terorisme, tapi siapapun yang punya kaitan dengan teroris sekecil apapun akan ikut digaruk.
Istilah yang sumbernya dari AS sebagai cara untuk memburukkan citra kelompok yang memusuhi AS, diadopsi oleh Indonesia sebagai upaya memburukkan citra siapapun yang memusuhi penguasa. Tak cukup dengan stigma Terorisme, kini melebar kepada stigma radikal. Benar-benar sapu jagat. Semua suara sumbang dibabat.
Jika ini yang terjadi, stigma Terorisme di Indonesia agaknya akan terus dipelihara. Sebagai pasal karet yang akan menjaring umat Islam yang berani kritis kepada penguasa. Jika tak masuk jaring Terorisme, toh masih bisa dijaring dengan istilah Radikal. Gampang.
Nasib negara pengekor memang begitu. Ketika di luar sana sudah diterapkan suatu teknologi yang canggih misalnya, di Indonesia baru akan terjadi sepuluh tahun kemudian. Stigma Terorisme boleh jadi akan bernasib sama. Saat di luar sana sudah berganti, mungkin memerlukan 10 tahun kemudian untuk membuang stigma Terorisme dari pundak umat Islam di negeri ini. Nasib !
Semoga para penguasa dan aparat penegak hukum segera sadar, bahwa stigma Terorisme tak lebih permainan AS yang dipaksakan kepada seluruh dunia. Buktinya, pada saat melawan Uni Sovyet, Osama bin Ladin dan para petempur Afghan diberi gelar mujahidin, pejuang dan pahlawan oleh AS. Giliran orang yang sama melawan AS, gelarnya berubah menjadi Teroris. Kata Cak Lontong: Mikir ! Afala ta’qilun?
Perang Dunia 1 : 1914 – 1918
Perang Dunia 2 : 1939 – 1945
Perang Dingin : 1947 – 1991
Perang Stigma Terorisme : 1992 – 2021
Perang Dunia 3 ? : 2022 – ?
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – 17032022
(*/arrahmah.id)